TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG KE BLOG INSPIRASI HUKUM. KRITIK DAN SARAN AKAN SANGAT MEMBANTU. SEMOGA BERMANFAAT

Minggu, 20 November 2011

PERAN KORBAN (VIKTIMOLOGI)

Dalam tindak kejahatan, korban dapat berperan dalam terlaksananya kejahatan tersebut. Dalam hal ini berarti ada kesalahan yang terdapat pada korban. Oleh karena itu untuk melihat peran, karateristik pelaku dan korban kejahatan, CARROL mengajukan rumus yang cukup popular dengan pendekatan rasional analitis. Menurutnya kejahatan adalah realisasi keputusan yang diambil dengan turut mempertimbangkan beberapa faktor antara lain:

SU (Subyektife Utility), p(S) (Probability of Success), G (Gain), p(F) (Probability of Fail) dan L (Loss)

Sehingga Carrol Menggambarkan dengan Rumus:

SU= (p(S)xG) – (p(F)xL)


Dari rumus diatas dapat dijelaskan bahwa seseorang yang akan melakukan kejahatan harus mempertimbangkan beberapa hal yang selanjutnya akan menghasilkan keputusan, apakah ia akan melakukan tindak pidana ataukah tidak. Inilah yang dimaksud dengan Subyektive Utility (SU).

Hal-hal yang harus dipertimbangkan adalah:
p(S)/ Probability of Succes = seberapa besar kemungkinan keberhasilan rencana kejahatan.
G (Gain) = seberapa besar keuntungan (materi/kepuasan) yang akan diperoleh.
p(F)/ Probability Of Fail = seberapa besar kemungkinan gagalnya rencana kejahatan.
L (Loss) = seberapa besar kerugian yang akan diderita manakala kejahatan yang dilakukan gagal dan tertangkap.

Jika rumus di atas dianalisis dengan optik korban, akan nampak bahwa faktor p(S)/ Seberapa besar keberhasilan rencana kejahatan, dan p(F) / Seberapa besar kemungkinan rencana kegagalan, sebagian besar terletak pada korban artinya berhasil atau tidaknya rencana kejahatan tergantung pada keadaan diri atau pun tipologi calon korban.

 Dengan meminjam istilah Manheim yang menggambarkan adanya laten Victim (Mereka yang cenderung menjadi korban) dibandingkan orang lain, misalnya wanita, anak-anak dan manula maka pelaku akan merasa optimis akan keberhasilan dari kejahatanya.

Sedangkan factor Gain/seberapa besar keuntungan materi/kepuasan yang diperoleh. Terlihat pada sikap korban yang senang dengan gaya hidup mewah dan pamer materi yang lebih menjurus pada peningkatan daya tarik atau rangsang, sehingga pelaku kejahatan dengan cara dini sudah dapat memperkirakan besarnya keuntungan yang akan diperoleh.
Selengkapnya...

Jumat, 11 November 2011

PERSERIKATAN BANGSA- BANGSA (PBB)

Sejarah Pembentukan PBB

 Setelah LBB berumur 20 tahun sebagai suatu organisasi internasional yang bertujuan untuk mengakhiri perang dan agar masyarakat internasional hidup berdampingan dengan damai, mengalamai kegagalan dengan pecahnya perang dunia II. Liga Bangsa-Bangsa gagal mencegah Perang Dunia II (1939-1945). Karena pengakuan luas bahwa manusia tidak mampu membeli Perang Dunia Ketiga, PBB didirikan untuk menggantikan Liga Bangsa-Bangsa cacat pada tahun 1945 dalam rangka untuk memelihara perdamaian internasional dan meningkatkan kerjasama dalam memecahkan masalah ekonomi, sosial dan kemanusiaan internasional. Rencana awal beton untuk sebuah organisasi dunia baru dimulai di bawah naungan Departemen Luar Negeri AS pada tahun 1939. Franklin D. Roosevelt pertama menciptakan istilah ‘PBB’ sebagai istilah untuk menggambarkan negara-negara Sekutu. Istilah ini pertama kali secara resmi digunakan pada 1 Januari 1942, ketika 26 pemerintah menandatangani Piagam Atlantik, berjanji untuk melanjutkan usaha perang. Pada tanggal 25 April 1945, Konferensi PBB tentang Organisasi Internasional dimulai di San Francisco, dihadiri oleh 50 pemerintah dan sejumlah organisasi non-pemerintah yang terlibat dalam penyusunan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. PBB resmi muncul pada 24 Oktober 1945 atas ratifikasi Piagam oleh lima anggota tetap Dewan Keamanan-Perancis, Republik Cina, Uni Soviet, Inggris dan Amerika Serikat-dan mayoritas lainnya 46 penandatangan. Pertemuan pertama Majelis Umum, dengan 51 negara mewakili, dan Dewan Keamanan, terjadi di Westminster Central Hall di London pada Januari 1946. Organisasi ini berbasis di fasilitas giroskop Sperry Corporation di Lake Success, New York, dari 1946-1952, sebelum pindah ke gedung Markas Besar PBB di Manhattan setelah selesai.

Sejak pendiriannya, ada kontroversi dan kritik dari organisasi PBB. Di Amerika Serikat, lawan awal PBB John Birch Society, yang mulai “mendapatkan US keluar dari PBB” kampanye pada tahun 1959, pengisian bahwa tujuan PBB adalah mendirikan “One World Government.” Setelah Perang Dunia Kedua, Komite Perancis Pembebasan Nasional terlambat harus diakui oleh AS sebagai pemerintah Perancis, dan negara itu awalnya dikeluarkan dari konferensi yang bertujuan menciptakan organisasi baru. Charles de Gaulle mengecam PBB, terkenal menyebutnya le Machin (“yang thingie”), dan tidak yakin bahwa aliansi keamanan global akan membantu menjaga perdamaian dunia, lebih memilih perjanjian pertahanan langsung antara negara.


Isi Mukadimah Piagam PBB

Mukadimah Piagam PBB :
a. Bertekad untuk menyelamatkan generasi yang akan dating dari kesengsaraan yang disebabkan perang. b. Memperteguh kepercayaan pada hak- hak asasi manusia, pada harkat dan derajat manusia, persamaan hak bagi pria mauoun wanita dan bagi segala bangsa besar maupun kecil. c. Menegakan keadaan dimana keadilan dan penghormatan terhadap kewajiban- kewajiban yang timbul dari perjanjian- perjanjian dan lain- lain sumber hukum internasional dapat terpelihara. d. Meningkatkan kemajuan sosial dan memperbaiki tingkat kehidupan dalam alam kebebasan yang lebih luas. Untuk mencapai tekad tersebut maka bangsa- bangsa di dunia akan hidup bersama dengan penuh toleransi dan akan hidup bersama dalam suasana perdamaian seperti halnya dalam bertetangga baik dan mempersatukan kekuatan untuk menegakan perdamaian dan keamanan internasional. Kekutatan senjata tidak akan dipergunakan kecuali untuk kepentingan bersama. Di samping itu, kerjasama internasional diperlukan untuk mencapai kemajuan ekonomi dan sosial semua bangsa. PBB didirikan untuk memperbaiki antar bangsa- bangsa dan memberi hak- hak dan kesempatan yang layak bagi tiap bangsa di dunia untuk maju dan sejahtera dalam suasana kerukunan kerjasama dan perdamaian satu sama lain. Tiap perselisihan bangsa yang dapat mengganggu perdamaian harus di selesaikan secara damai .


Piagam dan Struktur Organisasi PBB

 Setelah Mukadimah Piagam PBB memuat 111 pasal yang merumuskan asas dan tujuan serta cara kerja serta rangka dan susunan tiap- tiap bagian dari organisasi. Pasal 1 Piagam memuat tujuan PBB :
1. Memelihara perdamaian dan keamanan internasional.
2. Mengembangkan hubungan persahabatan antarbangsa berdasarkan prinsip- mprinsip persamaan derajat.
3. Mencapai kerjasama internasional dalam memecahkan persoalan-persoalan internasional di bidang ekonomi, sosial, dan kebudayaan serta masalah kemanusiaan, hak- hak asasi manusia.
4. Menjadi pusat bagi penyelenggaraan segala tindakan- tindakan bangsa-bangsa dalam mencapai tujuan bersama.

Pasal 2 memuat asas- asas PBB yang digunakan sebagai dasar untuk mencapai tujuan tersebut diatas :
1. PBB berdasarkan asas persamaan kedaulatan semua anggotanya.
2. Kewajiban untuk memenuhi kewajiban- kewajiban sesuai dengan apa yang tercantum dalam piagam.
3. Setiap perselisihan harus diselesaikan secara damai agar perdamaian dan keamanan tidak terancam.
4. Mempergunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik suatu negara harus dihindarkan.
5. Kewajiban untuk membantu PBB terhadap tiap kegiatan yang diambil sesuai dengan Piagam dan larangan membantu negara dimaan negara tersebut oleh PBB dikenakan tindakan- tindakan pencegahan dan pemaksaan.
6. Kewajiban bagi negara bukan anggota PBB untuk bertindak sesuai denga piagam apabila dianggap perlu untuk perdamaian dan keamanan internasional.
 7. PBB tidak akan campur tangan dalam masalah persoalan dalam negeri (domestic jurisdiction) dari negara anggotanya.


Oragan/ Alat Perlengkapan Utama PBB

 Untuk mencapai maksud dan tujuan PBB diciptakan alat perlengkapan/ organ utama. Berdasarkan Pasal 7(1) Piagam, maka alat perlengkapan/ organ utama PBB adalah Majelis Umum PBB, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial, Dewan Perwalian, Mahkamah Internasional dan Sekretariat.

1. Majelis Umum
Majelis Umum (General Assembly) merupakan alat perlengkapan/ organ utama dimana semua negara anggotanya mempunyai wakilnya (Pasal 9(1) Piagam PBB), setiap negara angggota dapat mengirimkan wakilnya di Majelis Umum PBB tidak boleh melebihi lima orang (Pasal 9(2) Piagam PBB).

2. Dewan Keamanan
Majelis Umum memilih anggota tidak tetap Dewan Keamanan dengan suara dua pertiga anggota yang hadir dan memberikan suaranya. Syarat yang harus diperhatikan dalam pemilihan anggota tidak tetap Dewan Keamanan itu: sumbangan negara tersebut terhadap perdamaian dan keamanan internasional; demikian juga sumbangan terhadap tercapainya tujuan organisasi PBB; juga harus memperhatikan perwakilan (Geographical Distribution) (Pasal 23(1) Piagam PBB).

3. Dewan Ekonomi dan Sosial
Majelis Umum memilih anggota Dewan Ekonomi dan Sosial (Pasal 6(1) Piagam PBB).

4. Mahkamah Internasional
Majelis Umum dan Dewan Keamanan memilih anggota Hakim Mahkamah Internasional. Jumlah Hakim Mahkamah Internasional sebanyak lima belas orang (Pasal 4(1) Statuta Mahkamah Internasional).

5. Sekretariat Sekretaris
 Jenderal PBB ditunjuk oleh Majelis Umum atas rekomendasi Dewan Keamanan (Pasal 97 Piagam PBB).

6. Dewan Perwalian
Dewan Perwalian akan melaporkan pelaksanaan fungsinya pada Majelis Umum PBB (Pasal 88 Piagam PBB). Dewan Perwalian adalah organ/ alat PBB yang bertanggung jawab atas sistem Perwalian yang ditetapkan dalam Bab 12 dan 13, termasuk persetujuan mengenai perjanjian- perjanjian perwalian bagi daerah yang tidak termasuk daerah strategis.


 Badan- Badan Pembantu Majelis Umum

 Dalam menjalankan tugasnya, Majelis Umum dibantu oleh badan- badan pembantu tujuh Komite utama. Komite tersebut adalah:

1. Komite pelucutan senjata dan masalah keamanan nasional.
2. Komite politik khusus.
3. Komite masalah sosial, kemanusiaan dan kebudayaan.
4. Komite masalah dekolonisasi.
5. Komite masalah- masalah administrasi dan anggaran.
6. Komite masalah hukum.


Badan Tambahan (subsidiary Organs)

Berdasarkan Pasal 22 Piagam PBB Majelis Umum dapat mendirikan organ- organ subsidier yang dianggap perlu untuk membantu Majelis Umum dalam menjalankan fungsinya. Sebagai contoh : UNCTAD (United Conference on Trade and Development), UNEP (United Nations Eenvironmental Programme), UNCITRAL (United Nations Commission on International Trade Law), UNDP (United Nations Development Prodremme), UNITAR (United Nations Institute for Training and Research).

 Dewan Keamanan
 Dewan keamanan anggotanya terdiri lima belas anggota. Dari lima belas tersebut terdiri dari lima anggota tetap tersebut mempunyai hak veto di Dewan Keamanan, kelima negara tersebut adalah Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, Prancis, Cina (Pasal 23(1) Piagam PBB) . Dalam melaksanakan tugasnya Dewan Keamanan dapat bertindak :
1. Atas inisiatif sendiri (Pasal 34 Piagam).
2. Atas permintaan negara anggota (Pasal 35(1) Piagam).
3. Atas permintaan bukan negara anggota (Pasal 35(2) Piagam).
4. Atas permintaan Majelis Umum (Pasal 11 Piagam).
5. Atas permintaan Sekretaris Jenderal (Pasal 99 Piagam).


 Masalah Hak Veto

 Hak veto yang akan dipunyai oleh negara- negara besar dibicarakan secara teratur pada waktu merumuskan Piagam PBB baik di Dumbarton Oaks mauoun di Yalta, dan di San Fransisco. Bahwasanya kepada lima negara yang dianggap sangat bertanggung jawab pada penyelesaian Perang Dunia II akan merupakan negara anggota tetap Dewan Keamanan dan kepada mereka diberikan hak veto, hal ini adalah merupakan imbalan dari tanggungjawab mereka terhadap perdamaian dan keamanan internasional (Primary Responsibilities). Secara hukum kekuasaan yang dipunyai oleh anggota tetap Dewan Keamanan merupakan privileges yang diberikan pada mereka, namun secara hukum mereka tidak mempunyai kewajiban atas tanggung jawab yang berbeda dengan negara anggota PBB lainnya. Piagam hanya menentukan bahwa tanggung jawab utama (primary responsibilities) untuk perdamaian dan keamanan internasional ada pada pihak Dewan Keamanan (Pasal 24(1) Piagam PBB) dan bukan pada anggota tetap Dewan Keamanan .

Sekretariat PBB

 Sekretariat merupakan alat perlengkapan/ organ utama PBB, dikepalai oleh seorang Sekretaris Jenderal. Sekretaris Jenderal PBB bukan hanya sebagai pegawai pelaksana, tetapi mempunyai tanggung jawab atas perdamaian dan keamanan internasional. Menurut Pasal 97, Sekjen PBB diangkat oleh Majelis Umum atas anjuran Dewan Keamanan. Kemudian untuk wewenang dari Sej=kjen PBB tercantum dalam Pasal 97, 98, 100 dan 101 Piagam. Dari ketentuan- ketentuan tersebut jelas bahwa kewenangan sekjen PBB tidak hanya dibidang administrative tetapi juga dalam bidang politik. Peran Sekjen PBB dalam bidang politik termasuk dalam “goog offices” dalam penyelesaian sengketa. Bagaimanapun pengaruh Sekjen PBB dibidang politik internasional tergantung pada orang yang menjabat sekjen.

Dewan Ekonomi Sosial

 Dewan Ekonomi dan Sosial dibentuk karena para pendiri PBB merasa perlu adanya suatu organ /alat perlengkapan utama yang bertanggungjawab pada masalah ekonomi dan sosial. Dewan ini disingkat dengan Dewan ECOSOC. Dengan bertambahnya keanggotaan Dewan ECOSOC, maka pemilihan tiap tahun anggota. Dalam pemungutan suara Pasal 67 Piagam PBB menentukan bahwa setiap anggota mempunyai satu suara terbanyak dari anggota yang hadir dan memberikan suara. Setiap anggota PBB diberi kesempatan untuk menghadiri perundingan yang membicarakan persoalan yang berhubungan dengan masalah negara anggota yang sedang dibicarakan di Dewan ECOSOC tanpa hak suara (Pasal 69 Piagam). Keputusan Dewan diambil dengan suara terbanyakMengenai tugas dewan ini ditentukan dalam pasal 62- 66 Piagam PBB.

 Dewan Perwalian (Trusteeship Council)

 Bahwa sitem perwalian pada sejarah dulu, sistem perwalian itu merupakan kelanjutan dari sistem mandate dibawah LBB. Dewan Perwalian PBB (bahasa Inggris: United Nations Trusteeship Council) adalah suatu sistem perwalian internasional lebih jauh telah didirikan oleh anggota PBB untuk mengatur pemerintah daerah-daerah yang ditempatkan di bawah pengawasan PBB melalui persetujuan-persetujuan perwalian individual. (daerah-daerah yang demikian oleh karena itu disebut “daerah perwalian”). Dewan Perwalian PBB mengatur agar daerah-daerah tanpa pemerintahan sendiri dikelola dengan perhatian kepada penduduk setempat dan keamanan dan perdamaian internasional. Daerah perwalian kebanyakan berasal dari mandat Liga Bangsa-Bangsa atau daerah yang diambil dari negara-negara yang kalah dalam Perang Dunia II, dan semuanya sekarang sudah merdeka atau bergabung dengan negara tetangga. Yang terakhir adalah Palau, yang menjadi bagian dari AS pada Desember 1994. Mengenai susuna Dewan Perwalian ditentukan dalam Pasal 86 Piagam PBB.

 Mahkamah Internasional (International Court of Justice )

 Mahkamah Internasional dalam rangka PBB disebut Mahkamah Internasional (International Court of Justice- ICJ). Menurut Pasal 92 Piagam PBB statuta ICJ didasarkan pada Statuta PCIJ dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Piagam PBB. Hakim Mahkamah Internasional terdiri dari lima belas hakim yang dipilih oleh Majelis Umum dan Dewan Keamanan dan nama- nama mereka diambil dari daftar yang ada pada Mahkamah Tetap Arbitrasi (Permanent Court of Arbitration- PCA) (Pasal 4 Statuta IPJ). Yang memilih hakim ICJ adalah Majelis Umum dan Dewan Keamanan. Kemudian untuk Badan Panitera, Panitera Mahkamah Agung terdiri dari Kepala Panitera, Wakil Panitera dan pejabat lain bila diperlukan (Pasal 21(2) Statuta Mahkamah Internasional).

 Yurisdiksi ICJ

 1. Memberikan keputusan untuk perkara para pihak yang diajukan ke ICJ (Pasal 36(1) Statuta ICJ).
2. Memberikan nasihat hukum (advisory opinion) untuk persoalan hukum atas permintaan badan- badan sesuai dengan pasal 96 Piagam PBB dan Pasal 65 Statuta ICJ.

ICJ tidak mempunyai yurisdiksi untuk mengadili perkara, kecuali para pihak yang bersengketa menyerahkan perkaranya ke ICJ. Dengan perkataan lain bahwa ICJ tidak mempuyai yurisdiksi memaksa (compulsory yurisdiction) atas sengketa yang timbul antarnegara. Di dalam dua hal ICJ mempunyai yurisdiksi memaksa atas sengketa hukum yang timbul antar negara, yaitu: jika para pihak yang bersangkutan terikat dalam suatua perjanjian yang mengatakan bahwa mereka menyetujui bahwa ICJ akan mempunyai yurisdiksi terhadap mereka mengenai berbagai sengketa tertentu (special). Dan jika para pihak terikat pernnyataan sesuai dengan Pasal 36 (2) Statuta ICJ.
Selengkapnya...

PERBEDAAN ANTARA LEMBAGA PRAPERADILAN DAN LEMBAGA KOMISARIS

KONSEP DASAR

 Lembaga Praperadilan

 Lembaga Praperadilan merupakan lembaga yang lahir bersamaan dengan lahirnya KUHAP, dimana lembaga tersebut bukanlah lembaga yang mandiri/berdiri sendiri (terlepas dari Pengadilan Negeri), melainkan merupakan lembaga yang menempel pada Pengadilan Negeri, yang secara kasus demi kasus Ketua Pengadilan Negeri menunjuk seorang hakim Pengadilan Negeri untuk memutus suatu perkara yang diajukan. Jadi, tidak ada sidang Praperadilan tanpa adanya tuntutan dari pihak-pihak yang berhak memohon pemeriksaan Praperadilan.


 Lembaga Hakim Komisaris

 Lembaga Hakim Komisaris merupakan lembaga yang diciptakan bersamaan dengan adanya RUU KUHAP, dimana lembaga tersebut dilepaskan dari Pengadilan Negeri dan bersifat permanen (berdasarkan pasal 211 RUU KUHAP, hakim komisaris berkantor di atau dekat Rumah Tahanan Negara). Hakim Komisaris tersebut dilakukan dengan permohonan atau tanpa permohonan oleh tersangka atau terdakwa, keluarga, atau kuasanya kepada Hakim Komisaris. Dengan demikian, tindakan Hakim Komisaris pada tahap pemeriksaan pendahuluan bersifat aktif.


KEWENANGAN

Wewenang Lembaga Hakim Komisaris yang tercantum dalam pasal 111 ayat (1) RUU KUHAP lebih luas daripada wewenang Lembaga Praperadilan sebagaimana tercantum dalam pasal 77 KUHAP. Wewenang Lembaga Hakim Komisaris lebih lengkap terhadap tindakan-tindakan penegak hukum, tidak hanya terbatas tentang sah tidaknya penangkapan dan penahanan ataupun penghentian penyidikan dan penuntutan, melainkan juga mengenai sah tidaknya penggeledahan, penyitaan atau penyadapan; pembatalan atau penangguhan penahanan; layak tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan; pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap penyidikan. Sedangkan dalam praperadilan, tidak semua upaya paksa dapat diajukan, hanya sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sedangkan mengenai penggeledahan dan penyitaan tidak dapat diajukan ke praperadilan.

 •  Menurut Pasal 111 RUU KUHAP, Hakim Komisaris memiliki wewenang untuk memutuskan: (a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan atau penyadapan; (b) pembatalan atau penangguhan penahanan; (c) bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri; (d) alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat dijadikan alat bukti; (e) ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang disita secara tidak sah; (f) tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi oleh pengacara; (g) bahwa penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah; (h) penghentian penyidikan atau penghentian penyidikan yang tidak berdasarkan asas oportunitas; (i) layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan; dan (j) pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap penyidikan.

•  Sedangkan pasal 77 KUHAP, Lembaga Praperadilan memiliki wewenang praperadilan yaitu untuk memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; juga ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.


 PENGAJUAN PERMOHONAN PEMERIKSAAN

 Lembaga Praperadilan

 Hakim praperadilan bersifat menunggu adanya permohonan dari pemohon yang merasa bahwa haknya telah dilanggar dalam hal pengujian upaya paksa maupun permohonan ganti kerugian dan atau rehabilitasi. Jadi tidak dapat melakukan persidangan tanpa adanya suatu permohonan. Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan praperadilan terkait sah tidaknya suatu penangkapan atau penahanan adalah tersangka, keluarga atau kuasanya (pasal 79 KUHAP) Sedangkan terkait sah tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan,pihak yang berhak mengajukan praperadilan adalah penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan (pasal 80 KUHAP).


 Lembaga Hakim Komisaris

 Hakim komisaris mempunyai tambahan kewenangan inisiatif dimana tanpa perlu adanya permohonan. Pemeriksaan dalam Lembaga Hakim Komisaris dilakukan dengan permohonan atau tanpa permohonan oleh tersangka atau terdakwa, keluarga, atau kuasanya kepada Hakim Komisaris.Permohonan diajukan oleh tersangka atau penasihat hukumnya atau oleh penuntut umum (pengecualiannya: dalam hal layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan, yang dapat mengajukan permohonan hanyalah penuntut umum), diatur dalam pasal 111 ayat (2) RUU KUHAP. Selain itu, hakim komisaris dapat memutuskan hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal 111 RUU KUHAP atas inisiatifnya sendiri, kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i pasal 111 RUU KUHAP, yaitu dalam hal layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan.


 MACAM- MACAM ISI PUTUSAN

 Lembaga Hakim Komisaris ( pasal 113 RUU KUHAP) :
 1.) Dalam hal hakim komisaris menetapkan atau memutuskan penahanan tidak sah, penyidik atau penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus mengeluarkan tersangka dari tahanan.
2.) Dalam hal hakim komisaris menetapkan atau memutuskan penyitaan tidak sah, dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari setelah ditetapkan atau diputuskan, benda yang disita harus dikembalikan kepada yang paling berhak kecuali terhadap benda yang terlarang.
3.) Dalam hal hakim komisaris menetapkan atau memutuskan bahwa penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tidak sah, penyidik atau penuntut umum harus segera melanjutkan penyidikan atau penuntutan.
4.) Dalam hal hakim komisaris menetapkan atau memutuskan bahwa penahanan tidak sah, hakim komisaris menetapkan jumlah pemberian ganti kerugian dan/atau rehabilitasi.

 Lembaga Praperadilan (pasal 82 ayat (3) KUHAP):
 1.) Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka 2.) Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau pentuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan
3.) Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dican tumkan rehabilitasinya.
4.) Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.


 UPAYA HUKUM

 Lembaga Praperadilan
 Dalam lembaga praperadilan, pada dasarnya terhadap putusan praperadilan dalam hal tidak sahnya penangkapan atau penahanan; tidak sahnya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; juga mengenai permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi, tidak dapat dimintakan banding. Hal ini didasarkan pada pasal 83 ayat (1) KUHAP. Namun, hal ini dikecualikan oleh ayat (2) pasal 83 KUHAP, dimana putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan dapat dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi. Untuk putusan praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi, dengan alasan bahwa ada keharusan penyelesaian secara cepat dari perkara-perkara praperadilan, sehingga jika masih dimungkinkan kasasi, maka hal tersebut tidak akan dapat dipenuhi. 

Lembaga Hakim Komisaris
 Sedangkan dalam Lembaga Hakim Komisaris, penetapan atau putusan hakim komisaris tidak dapat diajukan upaya hukum banding atau kasasi. Hal ini didasarakan pada ketentuan pasal 122 RUU KUHAP.


 TATA CARA PEMERIKSAAN

 Lembaga Praperadilan
 - Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang Panitera (pasal 78 ayat (2) KUHAP).
- Dalam waktu 3 (tiga) hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang (pasal 82 ayat (1) huruf a KUHAP)
- Dalam pemeriksaannya, hakim mendengar keterangan, baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang (pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP).
- Praperadilan dilakukan dengan proses pemeriksaan cepat dan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya (pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP ).
 - Jika suatu (pokok) perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan permintaan pemeriksaan praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur (pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP). Atau dengan kata lain apabila pemeriksaan telah melampaui waktu 7 (tujuh) hari, maka pemeriksaan praperadilan tersebut gugur.
- Permintaan praperadilan bisa diajukan lagi terhadap upaya paksa yang lain di tingkat penyidikan maupun di tingkat penuntutan. Atau dengan kata lain, tidak menutup kemungkinan permintaan praperadilan diajukan lagi, lebih dari sekali. Hal ini didasarkan pada pasal 82 ayat (1) huruf e KUHAP.

 Lembaga Hakim Komisaris
 - Hakim komisaris diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul ketua Pengadilan Tinggi yang daerah hukumnya meliputi pengadilan negeri setempat (pasal116 ayat (1) RUU KUHAP) dan hakim komisaris diangkat untuk masa jabatan selama 2 (dua) tahun dan dapat diangkat kembali hanya untuk satu kali masa jabatan (pasal 116 ayat (2) RUU KUHAP).
 - Hakim komisaris memberikan keputusan dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari terhitung sejak menerima permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2).
 - Hakim komisaris memberikan keputusan atas permohonan berdasarkan hasil penelitian salinan dari surat perintah penangkapan, penahanan, penyitaan, atau catatan lainnya yang relevan.
- Hakim komisaris dapat mendengar keterangan dari tersangka atau penasihat hukumnya, penyidik, atau penuntut umum. - Apabila diperlukan, hakim komisaris dapat meminta keterangan dibawah sumpah dari saksi yang relevan dan alat bukti surat yang relevan.
 - Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) tidak menunda proses penyidikan. 


TUJUAN/ FUNGSI

 Pada dasarnya Lembaga Praperadilan dan Lembaga Hakim Komisaris mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama melindungi hak asasi manusia terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum. Lembaga Praperadilan Bahwa keberadaan Lembaga Praperadilan berkaitan langsung dengan perlindungan terhadap hak- hak asasi manusia yang sekaligus berfungsi sebagai sarana pengawasan secara horizontal. Dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap hak- hak asasi manusia terutama hak tersangka dan terdakwa. Lembaga Hakim Komisaris Latar belakang Tujuan dan fungsi diintrodusirnya Hakim Komisaris adalah untuk lebih melindungi jaminan hak asasi manusia dalam proses pidanan dan menghindari terjadinya kemacetan oleh timbulnya selisih antara petugas penyidik dari instansi yang berbeda. Penangkapan dan penahanan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi kemerdekaan dan kebebasan orang. Penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik orang, dan penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap ketentraman rumah tempat kediaman orang.
Selengkapnya...

Sabtu, 01 Oktober 2011

PERBEDAAN SITA JAMINAN DENGAN SITA REVINDIKASI DAN SITA EKSEKUSI

Perbedaan sita jaminan dengan sita revindikasi, yaitu: obyek sita jaminan pada prinsipnya tidak terbatas, sedangkan sita revindikasi terbatas dan dasar alas an permohonan dan pengabulan sita jaminan boleh berdasar sengketa milik dan boleh pula berdasar sengketa hutang piutang atau tuntutan ganti rugi, sedangkan sita revindikasi berdasar sengketa hak milik. Kemudian perbedaan sita jaminan dengan sita eksekusi, yaitu: sita jaminan bertujuan untuk menjamin gugatan penggugat, agar gugatan tidak illusionir saat memperoleh kekutan hukum tetap. Dantujuan sita eksekusi adalah sita untuk melaksanakan lelang eksekusi harta- harta tergugat untuk memenuhi pelaksanaan putusan. Dari segi saat pelaksanaan sita, sita jaminan hanya dapat dilaksanakan sebelum perkara memperoleh kekuatan hukum tetap, sedang sita eksekusi hanya dapat dilaksanakan setelah putusan memperoleh kekuasaan hukum yang tetap. Selengkapnya...

CONSERVATOIR BESLAG

Conservatoir beslag dalam bahasa hukum Indonesia dapat diartikan ke dalam istilah sita pengukuhan dan istilah sita jaminan. Tetapi agar adanya pembakuan keseragaman pengalihan bahasa, maka istilah yang dipilih adalah istilah sita jaminan. Dalam pengerian sita jaminan dari segi yuridis, dimaksudakan memahami sita jaminan sesuai ketentuan undang- undang. Ketentuan sita jaminan ini diatur dalam pasal 227 HIR jo pasal 261 RBG, disini akan dibahas mengenai sita tindakan hukum eksepsional dan juga sita sebagai perampasan. Sita jaminan ini tujuannya adalah agar tergugat tidak memindahkan atau membebankan hartanya kepada pihak ketiga. Selengkapnya...

Kamis, 29 September 2011

AZAS- AZAS BERLAKUNYA UNDANG- UNDANG

1. Azas Retroaktif, bahwa undang- undang tidak berlaku surut.
2. Lex Posterior Derogate Lex Priori, bahwa undang- undang yang berlaku kemudian membatalkan undang- undang terdahulu sejauh itu mengatur hal yang sama.
3. Lex Superior Derogate Legi Inferior, bahwa undang- undang yang dibuat oleh penguasa tinggi mempunyai derajat yang lebih tinggi.
4. Lex Specialis derogate Legi Generalis, bahwa undang- undang khusus mengalahkan undang- undang umum. Selengkapnya...

PENGGOLONGAN HUKUM

A. Berdasarkan Sumber Hukum Formal
1. Hukum UU, yaitu hukum yang tercantum dalam perundang- undangan.
2. Hukum kebiasaan dan hukum adat.
3. Hukum yurisprudensi.
4. Hukum traktat.
5. Hukum perjanjian.
6. Ilmu/ doktrin.

B. Berdasarkan Isi atau Kepentingan yang diatur.
1. Hukum privat,yaitu hukum yang mengatur antar perorangan. Seperti : jual beli, hukum perdata, hukm dagang, hukum adat.
2. Hukum publik, yaitu mengatur hubungan negara dan warga negara. Seperti : hukum pidana, hukum tata negara, hukum internasional, hukum administrasi negara, hukum pajak.

C. Berdasarkan Bentuk.
1. Hukum tertulis, yaitu hukum yang dikodifikasikan. Seperti: KUHP, KUHAP, KUHD,dll.
2. Hukum tidak tertulis, yaitu hukum yang tidak dikodifikasikan. Seperti : hukum adat.
D. Berdasarkan sifatnya
1. Hukum yang memaksa.
2. Hukum yang mengatur.

E. Berdasarkan Cara Mempertahankannya.
1. Hukum material, yaitu hukum yang menurut peraturan- peraturan yang mengatur kepentinagn yang berwujud perintah dan larangan.
2. Hukum formal, yaitu hukum yang memuat peraturan- peraturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan dan mempertahankan hukum materil.

F. Berdasarkan waktu berlakunya.
1. Hukum positif (Ius Constitium).
2. Hukum yan dicita- citakan (Ius constituendum).


Selengkapnya...

Sistematika BW/ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Sumber Perikatan, dan Hubungan Perikatan dengan PMH

1. Sistematika BW/ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Berikut ini adalah sistematika yang dipakai oleh BW/ Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang terdiri dari empat buku, yaitu:
Buku I yang perkepala “Perihal Orang”, memuat hukum tentang diri seseorang dan Hukum Kekeluargaan;
Buku II yang berkepala “Perihal Benda” , memuat hukum perbendaan serta Hukum warisan;
Buku III yang berkepala “Perihal Perikatan”, memuat hukum kekayaan yang mengenaai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
Buku IV yang berkepala “perihal Pembuktian dan Lewat Waktu (Daluwarsa)”


2. Sumber Perikatan

Sebelum membahas sumber perikatan, terlebih dahulu patut diketahui definisi atau pengertian perikatan. Menurut Pitlo, perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi. Dari pengertian tersebut, maka dapatlah diketahui bahawa peri
katan memiliki unsur-unsur, yaitu terdiri dari dua pihak atau lebih, adanya hubungan hukum, dan dalam lapangan hukum harta kekayaan.
Dalam BW/ Kitab Undang-undang Hukum perdata, sumber perikatan dapat ditemukan dalam pasal 1233 yang berbunyi: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan baik karena undang-undang” dari bunyi pasal tersebut, dapat ketahui bahwa, berdasarkan BW sumber perikatan ada dua, yaitu persetujuan (perjanjian) dan undang-undang.
Perebedaan perikatan yang lahir dari Undang-undang dengan perikatan yang lahir dari perjanjian adalah perikatan yang lahir dari undang-undang perikatan tersebut lahir tanpa dikehendaki oleh para pihak, jadi mereka terikat karena kehendak undang-undang, undang-undanglah yang memberi akibat. Sedangkan perikatan yang lahir dari perjanjian, adanya perikatan tersebut beserta akibatnya dikehendaki atau dianggap dikehendaki oleh para pihak.


Selain perjanjian dan undang-undang yang menjadi sumber perikatan sebagaimana yang diatur dalam BW, terdapat sumber perikatan yang ditemukan dari fakta-fakta hukum lainnya. Berikut adalah beberapa fakta-fakta hukum yang dapat melahirkan perikatan:
1. Apabila seseorang dalam surat wasiat membuat suatu legaat, maka pada waktu orang tersebut meninggal timbul suatu perikatan antara para ahli waris dengan legataris dimana yang pertama berkewajiban dan yang kedua berhak.
2. putusan hakim,dimana hakim membenarkan pengakuan penggugat yang tanpa hak atas suatu tuntutan
3. aanbod (contoh pemawaran)

3. Hubungan Perikatan dengan PMH
Pasal 1352 KUHperdata, membagi perikatan yang lahir dari undang-undang menjadi dua macam, yaitu perikatan yang timbul dari undang-undang saja dan perikatan yang timbul dari undang-undang karena perbuatan manusia. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusannya sebagai berikut “perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-undang, timbul dari undang-undang saja, atau dari undang-undang sebagai akibat dari perbuatan orang”
Perikatan yang timbul dari undang-undang kerana perbuatan manusia, oleh undang-undang dibagi lagi menjadi dua, yaitu perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusan pasal 1353 KUHPerdata yang berbunyi “perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melanggar hukum”
Jadi Perbuatan Melawan Hukum merupakan salah satu jenis perikatan yang timbul dari undang-undang kerena perbuatan manusia.


Selengkapnya...

PENUNTUTAN KARENA PMH

Dalam sebuah pelanggaran hukum akan timbul suatu hal yang ganjil dalam masyarakat, dimana keseimbangan sudah tidak ada lagi. Kelurusan kembali paling mudah dapat tercapai, apabila suatu perbuatan melanggar hukum berupa mendirikan hal sesuatu, yang mudah dapat dilenyapkan.
Menurut ketentuan pasal 1365 BW barang siapa melakukan perbuatan melawan hukum dan menimbulkan kerugian ,ia wajib mengganti kerugian tersebut. Dengan penggantian kerugian diharapkan orang yang dirugikan dapat kembali ke keadaan semula.
Pasal 1365 K.U.H. Perdata memberikan kemungkinan beberapa jenis penuntutan yakni antara lain:
1. Ganti kerugian atas kerugian dalam bentuk uang.
2. Ganti kerugian atas kerugian dalam bentuk natura atau pengembalian keadaan pada keadaan semula .
3. Pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah bersifat melawan hukum.
4. Larangan untuk melakukan suatu perbuatan.
5. Meniadakan sesuatu yang diadakan secara melawan hukum.
6. Pengumuman daripada keputusan atau dari sesuatu yang telah diperbaiki.
Untuk mengganti kerugian tidak harus dalam bentuk uang, yang penting dapat dikembalikan dalam keadaan semula. Dikembalikan dalam keadaan semula dapat juga terjadi dengan dikembalikan dalam keadaan sebenarnya.
Orang mempunyai hak untuk menuntut ganti rugi dan hal itu diakui dalam yurisprudensi. Selain itu ia berhak pula untuk meminta kepada hakim agar dinyatakan bahwa perbuatan tergugat merupakan suatu perbuatan melawan hukum. Selain daripada haknya untuk meminta ganti kerugian atau untuk menuntut pengembalian pada keadaan semula (restitution in integrum), maka penderita berwenang untuk mengajukan lain-lain tuntutan, yakni umpamanya untuk menuntut agar pengadilan menyatakan bahwa perbuatan yang dipersalahkan pada pelaku merupakan perbuatan melawan hukum.
Jika seseorang merasa dirugikan, dan dia mengajukan tuntutan. Tuntutan terebut dapat diajukan secara kumulatif dengan ketentuan pembayaran ganti rugi tidak dapat berupa dua jenis ganti kerugian yaitu penuntutan untuk kembali ke keadaan semula dan ganti rugi sejumlah uang. Menurut Meyers tidaklah dapat dilakukan pemecahan yang sama bagi segala persoalan perbarengan tuntutan, melainkan berdasarkan maksud dari ketentuan khusus harus diputuskan apakah ketentuan khusus tersebut akan meniadakan ketentuan umumnya ataukah ketentuan khusus tersebut disamping ketentuan umum berlaku bersama-sama.


Dalam penuntutan ada kalanya kita tidak biSA memakai pasal 1365 BW sebagai dasar penyelesaian karena tidak patut atau ada aturan khusus yang mengaturnya seperti wanprestasi, penipuan, pembunuhan, melukai dan penghinaan.

Selengkapnya...

Syarat - syarat dan Unsur Perbuatan Melawan Hukum

Dalam KUHperdata pasal 1365 syarat2 ganti rugi dirumuskan sebagai berikut:
“Tiap perbuatan melanggar hukum,yang membawa kerugian kepada seorang lain ,mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantibegian tersebut “menurut J satrio SH syarat2 yang ada dalam pasal tersebut bersifat komulatif (artnya keempat syarat hars terpenuhi)
Perbuatan Melawan Hukum” (PMH). Untuk dapat suatu perbuatan dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum harus terpenuhi empat hal, yakni;
1. Harus ada perbuatan, yang dimaksud dengan perbuatan di sini adalah perbuatan baik bersifat positif maupun negatif (penafsiran pasal 1365 KUH Perdata secara luas, J.Satrio).
2. Perbuatan itu harus melawan hukum, dapat berupa;
a) Bertentangan (melanggar) hak orang lain,
b) Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku,
c) Bertentangan dengan kesusilaan,
d) Bertentangan dengan kepentingan umum.
3. Ada kerugian.
4. Ada hubungan sebab-akibat antara perbutan melawan hukum itu dengan kerugian yang timbul.
(body note nanti di ganti foot note ya vin ! J satio, 1992,Hukum Perikatan Yang Lahir Dari Undang-Undang Bgian Kedua,Pt Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal---)
Perkecualian PMH yang hilang sifat Melawan Hukum nya yaitu ada alasan pembenar dan pemaaf(body note; M.A.Moegni Djojodirjo,1982,Perbuatan Melawan Hukum(Tanggung Gugat/Aansrakelijkheid Untuk Kerugian Yang Disebabkan Perbuatan Melawan Hukum)pradnya paramitha, Jakarta, Hlm.59)
Dasar-dasar pembenar (rechtvaardigingsgroden)dapat dibagi dalam 2 golongan
1. dasar pembenar yang berasal dari Undang –Undang yakni keempat dasar2 peniadaan hukuman tersebut
2. dasar pembenar yang tidak berasal dari UU yang karena nya juga disebut dasar dasar pembenar tidak tertulis
menurut moegni alasan pembenar berupa ;

1. keadaan memaksa(overmacht)
overmacht menurut moeghni adalah suatu paksaan yang tidak dapat dielakan lagi yang datangnya dari luar(body note; M.A.Moegni Djojodirjo,1982,Perbuatan Melawan Hukum(Tanggung Gugat/Aansrakelijkheid Untuk Kerugian Yang Disebabkan Perbuatan Melawan Hukum)pradnya paramitha, Jakarta,hal 61)
2. pembelaan terpaksa (noodwer)
pembelaan terpaksa dan keadaan darurat harus dibedakan karena dalam pembelaan terpaksa serangan dengan sengaja yang tidak dapat dielakan lagi(body note; M.A.Moegni Djojodirjo,1982,Perbuatan Melawan Hukum(Tanggung Gugat/Aansrakelijkheid Untuk Kerugian Yang Disebabkan Perbuatan Melawan Hukum)pradnya paramitha, Jakarta,hal 62)
3.melaksanakan ketentuan UU(weettelijke voorschrift)
Menurut moegni melaksanakan ketentuan UU bukanlah merupakan dasar pembenar yang berasal dari UU (body note; M.A.Moegni Djojodirjo,1982,Perbuatan Melawan Hukum(Tanggung Gugat/Aansrakelijkheid Untuk Kerugian Yang Disebabkan Perbuatan Melawan Hukum)pradnya paramitha, Jakarta,hal 63)
3. Perintah jabatan (ambtelijk bevel)
Menurut rutten setiap orang yang haruskan menaati perintah akan dapat mencari dasar pada sesuatu perintah jabatan dengan pengertian, tidak adanya hubungan atasan dan bawahan. (body note; M.A.Moegni Djojodirjo,1982,Perbuatan Melawan Hukum(Tanggung Gugat/Aansrakelijkheid Untuk Kerugian Yang Disebabkan Perbuatan Melawan Hukum)pradnya paramitha, Jakarta,hal 65)

Selengkapnya...

PERBUATAN MELAWAN HUKUM (Istilah, Pengaturan, Pengertian)

Istilah
• Dalam pergaulan kehidupan sehari- hari di masyarakat, kita sering mendengar kata- kata “ anda telah melakukan perbuatan melawan hukum”. Tetapi pada faktanya banyak orang yang tidak tahu apa arti dari perbuatan melawan hukum itu sendiri. Meskipun istilah " perbuatan melawan hukum " hanya diatur dalam beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (hal demikian terjadi juga di negara-negara yang menganut sistem Eropa Kontinental lainnya), tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan, bahwa gugatan atau tuntutan perkara perdata yang ada di pengadilan di Indonesia didominasi oleh gugatan perbuatan melawan hukum, di samping gugatan atau tuntutan tentang wanprestasi dalam perjanjian kontrak.
• Pasal 1365 KUHPerdata
“ tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

PMH, terjemahan dari onrechtmatige daad, para ahli hukum berbeda istilah “ Perbuatan Melawan Hukum” (Moegni Djojodirjo) dan “Perbuatan Melangggar Hukum” (Wirjono Prodjodikoro). Alasan Moegni istilah Belanda tersebut mempunyai arti sempit karena hanya dipakai dalam pasal 1365 dan penafsirannya. Di dalam kuliah menggunakan istilah Perbuatan Melawab Hukum (PMH).

Pengaturan
• Diatur dalam pasal 1365 s.d. 1380 KUHPerdata.




Pengertian
• Dinamakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada umumnya. Hukum bukan saja berupa ketentuan- ketentuan undang-undang, tetapi juga aturan- aturan hukum tidak tertulis, yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat.
• Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam ps. 1365 sampai dengan pasal 1380 KUHPerdata. Pasal ini tidak mengatur istilah atau urusan PMH, tetapi pasal 1365 ini hanya mengatur syarat- syarat pengajuan tubtutan ganti kerugian karena PMH.
• Dan timbul penafsiran/ ajaran secara sempit dan luas.

Sempit: dianut oleh Land dan Simon, onrechtmatigedaad = onwetmatigedaad, yaitu bertentangan dengan wattelijkrecht / kewajiban hukumnya sendiri.
Luas : perbuatan melawan hukum merupakan suatu perbuatan atau kealpaan, yang atau bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukuim si pelaku atau bertentangan baik dengan kesusilaan baik, maupun dengan sikap hati- hati yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda.


Selengkapnya...

PERBEDAAN PEMANFAATAN ZEE ANTARA NEGARA BERPANTAI DENGAN NEGARA TIDAK BERPANTAI

Perbedaan Pemanfaatan ZEE Antara Negara Berpantai Dengan Negara Tidak Berpantai

Konsep ZEE yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut III/1982 secara keseluruhan telah membentuk hubungan-hubunmgan baru di antara negara-negara dalam pemakaian SDA hayati laut, riset ilmiah dan pencegahan terhadap pencemaran laut. Perubahan yang paling mendasar dari konsep ZEE ini terjadi dalam hal pembagian tradisional antara laut teritorial yang merupakan zona kedaulatan negara pantai dan laut lepas yang terbuka untuk semua bangsa. Perubahan tersebut membawa implikasi tersendiri dalam bidang Hukum Laut Internasional, diantaranya adalah munculnya perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi diantara para penulis dan ahli Hukum Internasional perbedaan- perbedaan tersebut dapat dimaklumi karena konsep ZEE merupakan dasar hukum yang menentukan hubungan antara hak-hak serta kepentingan dari negara pantai dan semua negara dalam pemakaian ZEE.

Pasal 69 KHL III/1982 telah memberikan ketentuan mengenaihak-hak negara tidak berpantai di wilayah ZEE suatu negara. Pengaturan negara tidak berpantai ini dimaksudkan agar negara tersebut meskipun tidak memiliki laut, namun dapat berpatisipasi secara adil mengelola bagian dari surplus perikanan negara pantai. Hak-hak tersebut dilaksanakan dengan mempertimbangkan keadaan ekonomi dan geografi dari negara tidak berpantai dan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konservasi Sumber Kekayaan Hayati (Pasal 61) dan pemanfaatan sumber kekayaan hayati (Pasal 62). Partisipasi iniharus didasarkan pada region atau sub region yang sama, yaitu wilayah yang secara geografis dibagi dibawah Komisi Regional PBB atau wilayah laut menurut FAO.
Secara umum, dalam memberikan kesempatan untuk berpatisipasi kepada negara lain, negara pantai harus mempertimbangkan berbagai faktor, diantaranya adalah arti penting dari sumber kekayaan hayati bagi perekonomian nasionalnya dan ketentuan Pasal 69 tentang hak negara tidak berpantai dan Pasal 70 tentang hak negara secara geografis tidak diuntungkan.

Salah satu perbedaan antara negara tidak berpantai dengan negara lainnya dalam hal pemanfaatan ZEE adalah persoalan prioritas dalam bidang penangkapan ikan, sedang menyangkut hak lain yang dimiliki oleh negara tidak berpantai yaitu penerbangan, pelayaran, pemasangan pipa, dan kabel bawah laut dan riset ilmiah tidak ada perbedaan sepanjang hak-hak tersebut dilakukan dengan cara-cara dan tujuan damai. Artinya selain hak dalam hal penangkapan ikan, negara tidak berpantai memiliki hak yang sama dengan negara-negara lainnya. Perbedaan yang berlaku bagi negara tidak berpantai dalam bidang penangkapan ikan yang dimaksud adalah seperti yang tercantum dalam Pasal 62 Ayat 2 KHL III/1982 :
”.............memberikan kesempatan kepada negara lain untuk memanfaatkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan yang tersisa dengan memperhatikan secara khusus ketentuan Pasal 69 dan Pasal 70, khususnya yang berkaitan dengan negara berkembang.”
Kata khusus yang tertulis dalam pasal tersebut menrut Hanung Kuncoro berarti bahwa negara tidak berpantai memiliki kesempatan lebih besar dibanding dengan negara lainnya. Namun demikian, sebelum hak mengakses ZEE diberikan, terlebih dahului negara pantai harus menetapkan jumlah tangkapanyang diperbolehkan (JTB) seperti yang tercantum dalam pasal 61 ayat 1. penentuan JTB di wilayah ZEE suatu negara dilakukan agar terjadi keseimbangan sumber kekayaan hayati laut dan menghindari punahnya jenis ikan tertentu karena frekuensi penangkapan ikan yang berlebihan.

Setelah JTB ditentukan, selanjutnya negara pantai diharuskan untuk melakukan pemanfaatan secara optimal sesuai dengan Pasal 62 Ayat 1. pelaksanaan sumber kekayaan hayati ZEE ini tentunya diutamakan untuk kepentingan nasionalnya baik yang bersifat ekonomis maupun kepentingan lainnya seperti peningkatan gizi masyarakat dan kepetingan konservasi. Jika dalam pelaksaannya negara pantai tidak dapat memanfaatkan JTB secara optimal, maka sisanya dialokasikan kepada negara lain terutama negara tidak berpantai dan negara yang secara geografis tidak diuntungkan yang sedang berkembang. Adapun negara pantai dapat memanfaatkan seluruh JTB, maka menurut KHL III/1982 harus dibuat suatu peraturan yang adil sehingga negara tidak berpantai tetap dapat memanfaatkan kekayaan hayati ZEE.
Kesempatan untuk mengakses surplus dari JTB bagi negara tifak berpantai tidak diperoleh secara otomatis, namun terkait dengan perjanjian atau suatu peraturan yang dapat dilakukan antara negara pantai dengan negara tidak berpantai di region atau sub-region yang sama seperti Asean Fisheris Federation (AFF) yang merupakan perjanjian yang ditandatangani oleh perusahaan-perusahaan perikanan ASEAN untuk pertukaran informasi tentang masalah perikanan. Ketentuan-ketentuan KHL III/1982 dapat digolongkan sebagai ketentuan dsar bagi negara-negara pantai tentang bagaimana melaksanakan kewajiban pemanfaatan secara optimum dari sumber perikanan ZEE. Dalam kaitan ini dapat disimpulkan bahwa hak berdaulat negara pantai atas sumber perikanan di ZEE harus dikaitkan dengan kewajiban negara pantai untuk melaksanakan konservasi dan pemanfaatan optimum dari sumber perikanan. Meskipun KHL III/1982 merupakan pedoman bagi negara berpantai dalam mengelola ZEE, namun dalam prakteknya akses bagi negara lain terutama negara tidak berpantai sangat bergantung kepda kebijakan nasional negara pantai yang bersangkutan. Negara pantai dapat memberikan akses kepada negara asing jika negara asing tersebut dianggap sesuai dengan kebijakan nasional mereka dalam bidang perikanan yang ditetapkan berdasarkan kepentingan perekonomian negara tersebut.
Kebijakan seperti ini tentunya akan sangat merugikan negara tidak berpantai yang ebagian besar adalah negara berkembang. Dalam kaitannya dengan persoalan ii, Gulland dan Miles berpendapat bahwa praktek dari Pasal 69 ayat 1dan Pasal 70 ayat 1mengalami hambatan disebabkan karena beberapa faktor :
1. kompleksitas perkembangan populasi ikan, perubahan stok yang terjadi secara tiba-tiba tentu mempengaru akurasi bilangan JTB.
2. kepentingan negara Pantai. Tampaknya faktor ini dijadikan senjata ampuh oleh negara pantai untuk menolak pemberian akses, terlebih Pasal 62 ayat 3 dengan tegas meyatakan bahwa faktor kepentingan nasional baik yang bersifat ekonomi maupun yang bersifat non ekonomi dapat dijadikan dasar pertimbangan pemberian akses, jika negara pantai itu sangat bergantung pada potensi ekonomi yang berasal dari sumber daya alam ZEE.
3. kadar hubungan kedekatan bilateral antara negara pantai (pemberi akses) dengan negara penerima akses. Faktor inimenimbulkan subjektivitas yang tidak dapat dihindarkan. Subjektivitas itu muncul tidak hanya dalam pemberian akses tetapi berkaitan juga dengan hal yang melatarbelakangi penentuan adanya surplus. Misalnya negara pantai akan enggan mengajak negara yang hubungannya kurang dekat untuk diajak melakukan riset bersama tentang populasi SDA hayati ZEE. Karena jika negara tersebut diajak riset, maka data kongkrit tentang populasi SDA hayati ZEE nya akan diketahui dan akan dijadikan dasar untuk menuntut pemanfaatan surplus di belakang hari.

Menurut Bmbang Sumantri, Staf Perzinan Kapal Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan, faktor lain yang menyebabkan negara pantai tidak memberikan akses kepada negara tidak berpantai adalah karena negara tidak berpantai yang ada selama ini tidak aktif menuntut hak mereka. Sebagai contoh, dikawasan Asia Tenggara, Laos merupakan satu-satunya negara yang tidak memiliki pantai, namun Laos belum pernah menuntut haknya untuk berpatisipasi memanfaatkan surplus dari negara pant ai tetangganya. Alasan yang dikemukakan oleh pemerintah Laos menyangkut pasifnya negara tersebut dalam kesiatan penangkapan ikan di ZEE adalah karena kebijakan nasionalnya belum memprioritaskan hal tersebut. Akibatnya, kebutuhan terhadap pasokan ikan laut untuk meningkatkan gizi masyarakatnya hanya dilakukan dengan cara impor.
Praktek yang dilakukan negara-negara pantai mengenai prioritas hak yang diberikan negara tidak berpantai tidak dapat berjalan dengan baik bahkan cenderung mengabaikan ketentuan KHL III/1982. kenyataan menunjukan bahwa di kawasan Asia belum ada satupun negara tidak berpantai yang mengambil surplus dari JTB disebuah negara pantai. Sebagian besar negara pantai di Asiabahkan melakukan kebijakan menjual surplus, termasuk Indonesia. Menjual dalam hal ini diartikan memberikan jatah surplus kepada negara yang berani memberi ikan dengan harga tinggi. Jika kenyataan yang terjadi seperti ini, maka hanya negara tertentu saja yang dapat memanfaatkan sisa dari stok perikanan di ZEE negara lain yaitu negara yang statusnya lebih kaya dibanding dengan negara tidak berpantai. Sementara itu negara tidak berpantai tidak dapat bersaing karena sebagian besar adalah negara berkembang, bukan negara kaya.
Selain persoalan prioritas, perbedaan lain yang berkaitan dengan hak negara negara tidak berpantai di ZEE adalah kewajiban untuk menentukan pelabuhan akses tempat bersandarnya kapal melalui sebuah perjanjian. Ketentuan ini dimuat dalam surat perjanjian antara negara pantai dengan negara tidak berpantai. Surat perjanjian itu harus ditunjukan oleh negara tidak berpantai sebelum membuat perjanjian perikanan dengan negara berpantai. Selain dua perbedaan tersebut/prioritas hak dan tempat bersandarnya kapal, tidak ada lagi hal yang bersifat prinsip yang membedakan pelaksanaan hank antara negara tidak berpantai dan negar pantai di ZEE.
Praktek yang dilakukan oleh negara-negara pantai dalam hal pemanfaatan surplus perikanan yang ada di ZEE nya sangat bertolak belakang dengan ketentuan Pasal 69 KHL III/1982. jika mengamati pendapat Gulland dan Miles di atas, maka kesempatan negara tidak berpantai untuk menikmati surplus di ZEE negara pantai sangat dipengaruhi oleh politk ekonomi negara pantai. Dapat dimaklum jika negara berkembang seperti Indonesia lebih memilih negara yang masuk dalam kategori mampu membeli izin penangkapan ikan sesuai dengan harga yang diharapkan. Sedangkan negara tidak berpantai yang sebagian besar pertumbuhan ekonominya di bawah Indonesia (seperti Laos) kemungkinan besar tidak mampu membeli izin penangkapan ikan di Indonesia karena ada negara lain seperti Thailand, Taiwan dan Filipina yang mampu membayar dengan harga lebih tinggi. Tentunya hal ini akan lebih menguntungkan secara ekonomi bagi Indonesia. Selain itu, jika negara pantai menjual surplusnya kepada negara yang mampu, ada kemungkinan mendapat kompensasi lain yang lebih baik melalui perjanjian timbal balik.
Selain itu, proses perjanjian perikanan antara negara tidak berpantai dengan negara pantai lebih rumit karena negara tidak berpantai harus mengawalinya dengan membuat perjanjian pendahuluan dengan negara tetangga, yaitu perjanjian tentang pembuatan pelabuhan akses atau pelabuhan singgah bagi kepalanya, maka perjanjian perikanan dapat dibuat. Proses pembuatan perjanjian ini tentunya lebih rumit dibandingkan dengan perjanjian yang dibuat di antara negara pantai yang satu dengan yang lainnya.
Saat ini pemerintah Indonesia telah memberikan kesempatan kepada pihak asing untuk memanfaatkan sumber daya perikanan di ZEEI. Data yang tercantum pada departemen kelautan dan perikanan menunjukan bahwa tahun 2002 pemerintah Indonesia telah menentukan bahwa jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) dikawasan ZEEI sebanyak 1,5 juta ton dari potensi keseluruhan.

Selengkapnya...

ZONA EKONOMI EKSLUSIF (ZEE)

Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982) memberikan dasar hukum bagi negara-negara pantai untuk menentukan batasan lautan sampai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen. Dengan dasar inilah suatu negara memiliki wewenang untuk mengeksploitasi sumber daya yang ada di zona tersebut, terutama perikanan, gas bumi, minyak dan berbagai bahan tambang lainnya.
Zona ekonomi eksklusif adalah suatu daerah diluar dan berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rezim hukum khusus yang ditetapkan berdasarkan mana hak-hak dan yuridiksi negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan negara lain (Pasal 55 UNCLOS 1982). Lebar zona ekonomi eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur (pasal 57 UNCLOS 1982). Bila negara pantai mempunyai kedaulatan penuh atas laut wilayahnya dan sumber-sumber kekayaan alam yang terkandung didalamnya, terhadap zona ekonomi eksklusif, hanya memberikan hak-hak berdaulat kepada negara pantai untuk keperluan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah dibawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin (Pasal 56, UNCLOS 1982).

Selanjutnya dalam pelaksanaan hak-hak berdaulat tersebut negara-negara pantai juga dapat mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu seperti pemeriksaan, penangkapan kapal-kapal maupun melakukan proses peradilan terhadap kapal-kapal yang melanggar ketentuan-ketentuan yang dibuat negara pantai (Pasal 73 UNCLOS 1982).
Dengan demikian hak-hak berdaulat negara pantai tadi tidak hanya sekedar hak saja tetapi juga dilengkapi dengan ketentuan-ketentuan hukum untuk menjamin pelaksanaan hak-hak tersebut. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa negara pantai dapat berbuat semaunya terhadap zona ekonomi tersebut atau meletakkan zona laut itu dibawah kedaulatannya seperti kedaulatan di atas laut wilayah.

Selengkapnya...

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL

Konsepsi Hukum Laut Internasional pertama kali muncul di Eropa tepatnya ketika Imperium Romawi menguasai seluruh tepian Laut Tengah. Peraturan- peraturan hukum laut yang dikemukakan oleh Rhodes pada abad II atau III sebelum masehi sangat berpengaruh di laut tengah karena prinsip- prinsipnya diterima dengan baik oleh orang Yunani dan Romawi. Kitab undang- undang Rhodes yang dikeluarkan pada abad V sebelum masehi oleh orang- orang Romawi sepenuhnya didasarkan atas peraturan hukum laut yang pernah dibuat Rhodes. Pada abad XIV di kawasan laut tengah terhimpun sekumpulan peraturan hukum laut yang dikenal dengan Consolato Del Mare yang merupakan seperangkat ketentuan hukum laut yang berkaitan dengan perdagangan. Pada bagian dunia lain dikenal kitab undang- undang Asilka sekitar abad VII, kitab undang- undang Orelon di daerah Prancis barat dan kitab undang- undang dari Wisby di wilayah Eropa Utara.

Sejarah telah mencatat bahwa Kerajaan Romawi adalah salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di dunia. Kerajaan ini terkenal memiliki angkatan perang dan barisan pertahanan yang sangat tangguh. Karena itu, penguasaan seluruh tepian laut tengah pada masa itu menjadi wajar. Setelah menguasai laut tengah selanjutnya Romawi mempersilahkan kepada bangsa lain untuk mempergunakan laut tengah secara damai. Karena dipergunakan oleh banyak bangsa di dunia, maka laut tengah pada saat itu menjadi jalur perdagangan yang ramai dan bebas dari bajak- bajak laut karena pengawasan dari angkatan perang Romawi cukup ketat.

Memasuki abad pertengahan, munculah klaim- klaim yang dilakukan oleh negara- negara yang sebelumnya merupakan bagiam dari kekuasaan Romawi. Negara- negara tersebut minuntut penguasaan atas laut yang berbatasan dengan pantainya. Diawali oleh Venetia yang menuntut sebagian besar Laut Adriatik untuk dijadikan daerah kekuasaannya. Tuntutan dari Venetia ini diakui oleh Paus Alexander III pada 1177. Setelah tuntutannya terpenuhi, Venetia memberlakukan pungutan bea terhadap setiap kapal yang berlayar disana. Selanjutnya Genoa melakukan klaim atas kekuasaan Laut Ligunia dan Negara Pisa yang mengklaim dan memberlakukan aturan hukumnya di Laut Thyrrenia. Setelah tuntutan dari ketiga negara tersebut terpenuhi, selanjutnya masing- masing negara tersebut membuat aturan pemungutan bea terhadap setiap kapal yang berlayar disana. Tiga negara diatas hanya sebagai contoh kecil negara- negara di tepian laut setelah runtuhnya Imperium Romawi.

Banyaknya klaim atas kekuasaan laut pada saat itu menimbulkan banyak pertentangan bahkan peperangan yang menyebabkan wilayah laut yang sebelumnya utuh dibawah kekuasaan Romawi terbagi menjadi beberapa bagian yang dimiliki oleh negara- negara tertentu. Fenomena ini menyebabkan laut tidak lagi merupakan Res Communis Omnium ( hak bersama seluruh umat ) namun telah terjadi laut tertutup yang dikuasai oleh suatu negara. Tindakan sepihak dari negara- negara pantai di Laut Tengah untuk menguasai laut ini menimbulkan kebutuhan untuk mencari kejelasan dan kepastian hukum. Kebutuhan untuk menyusun suatu teori hukum tentang status negara pantai terhadap laut menyebabkan para ahli hukum Romawi yang biasa disebut Post Glossator atau komentator mulai bekerja keras mencari penyelesaian hukumnya yang didasarkan atas asas dan konsepsi hukum Romawi. Pada perkembangan selanjutnya muncullah teori pembagian wilayah laut yang dikemukakan oleh Bartolus dan Raldus.

Pada masa pembentukan Hukum Laut Internasional ini terjadi perjuangan untuk menguasai lautan berdasarkan berbagai alas an dan kepentingan seperti karantina ( perlindungan kesehatan terutama terhadap penyakit pes), bea cukai dan pertahanan. Pada waktu yang bersamaan terjadi adu argumentasi diantara para penulis atau ahli hukum yang masing- masing mempertahankan dan membenarkan tindakan- tindakan yamg dilakukan oleh negara atau pemerintahnya masing- masing.

Salah satu perbedaan pendapat yang paling terkenal adalah yang terjadi antara penganut doktrin bebas (Mare Liberium) yang dikemukakan oleh seorang ahli hukum Belanda yaitu Hugo De Groot dan penganut dokrtin laut tertutup (Mare Clausum) yang dikemukakan oleh John Shelden. Hugu De Groot dalam bukunya yang berjudul Mare Liberum mengatakan bahwa laut tidak dapat dimiliki oleh bangsa manapu karena itu semua orang dapat dengan bebas mengakses dan memanfaatkan sumber daya laut. Sedangkan Shelden berpendapat bahwa laut dapat dimiliki. Shelden menunjuk pada praktek negara- negara yang menerapkan kedaulatan perairan mereka seperti Swedia, Rusia, Jerman, Genoa dan Venetina. Periode ini dalam sejarah hukum laut dikenal dengan jaman pertempuran buku- buku. Hal ini desebabkan para pemikir dan ahli hukum saling berlomba untuk mempublikasikan pendapatnya dengan menulis buku. Dalam waktu yang tidak lama muncul pendapat dari Pontanus, seorang sarjana Belanda yang bekerja pada Dinas Diplomatik Denmark yang mengemukakan teori pembagian wilayah laut yaitu laut yang berdekatan dengan panti dan dapat dimiliki dan diluar itu merupakan laut bebas yang tidak dapat dimiliki.

Polemik antara penganut mare liberum dan mare clausum kemudian diakhiri oleh Cornelis Von Bynkershoek dalam karyanya De Dominia Maris Disertasio. Bynkershoek mengadakan asimilasi wilayah daratan dengan laut yang bersambung dengan pantai. Gagasan terkenal Bynkershoek menyatakan bahwa kedaulatan negara berakhir sampai sejauh tembakan meriam yang ketika itu bias mencapai jarak 3 mil laut. Pendapat yng berkembang diantara ahli hukum klasik akhir abad XIX ialah salah satu antara Mare Clausum dan Mare Liberum. Hukum perikanan internasional klasik secar rasional yuridis lebih mendukung gagasan Grotius ( Mare Liberum).

Dengan terbentuknya Liga Bangsa- Bangsa setelah perang dunia I dan dalam tahun- tahun permulaan dari Perserikatan Bansa- Bangsa terjadi perkembangan hukum yang merupakam gabungan antara filsafat klasik dan Neo klasik atau Neo Grotius. Madzhab Neo- Grotius menunjuk pada gabungan antara gagasan klasik dari Hukum Perikanan dan kebutuhan Hukum Internasional untuk melaksanakan diplimasi dan birokasi dari organisasi internasional.. selanjutnya terjadi penambahan lembaga baru di tuguh PBB yaitu International Law Commision yang bertugs untuk mempersiapkan berbagai konsep pembaharuan dan kodifikasi Hukum International. Konferensi Hukum Laut PBB I tahun 1958 (UNCLOS I) adalah produk perkembangan Hkum Internasional Neo- Klasik. Pada tahun 1960 diselenggarakan konferensi Hukum Laut PBB II (UNCLOS II). Dalam UNCLOS I dan II belum ada kesepakatan penting tentang lebar laut teritorial maupun zona perikanan sehingga praktek dari negara- negara pantai pada saat itu masih menggunakan peraturan masing- masing. Ketidakpastian tentang legalitas hukum laut di tahun 1960 dipengaruhi oleh keadaan politik dunia pada waktu itu yang mengakibatkan beberapa Konferensi Jenewa yang mengatur laut tidak lagi sesuai dengan perkembangan keadaan.
Pada tahun 1973 dimulailah Konferensi Hukum Laut III dan ditutup pada 10 Desember 1982 dan menghasilkan beberapa aturan yang sangat substansial dalam bidang Hukum Internasional terutama Hukum Laut diantaranya adalah tentang lebar maksimum laut teritorial sejauh 12 mil laut, Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE).

Selengkapnya...

Jumat, 24 Juni 2011

SYARAT ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI (Hukum Acara Perdata)

1. SYARAT FORMIL ALAT BUKTI SAKSI
2. SYARAT MATERIL ALAT BUKTI SAKASI

Antara kedua syarat tersebut bersifat kumulatif, bukan alternatif. Oleh karena itu, apabila salah satu syarat mengandung cacat, mengakibatkan alat bukti itu tidak sah sebagai alat bukti saksi.

SYARAT FORMIL
1. Orang yang cakap menjadi saksi
Pada prinsipnya setiap orang cakap menjadi saksi kecuali undang- undang sendiri menentukan lain.
Orang yang dilarang didenagar sebagai saksi, diatur dalam pasal 145 HIR, pasal 172 RBG maupun 1909 KUH Perdata, yaitu :
a. Kelompok yang tidak cakap secara absolut.
b. Kelompok saksi yang tidak cakap secara relatif.
2. Keterangan disampaikan di sidang pengadilan
Diatur dalam pasal 144 HIR, 171 RBG dan 1905 KUH Peradata.
3. Penegasan mengundurkan diri sebagai saksi.
Diatur dalam pasal 146, pasal 174 RBG.
4. Diperiksa satu per satu
Diatur dalam Pasal 144 ayat (1) HIR, Pasal 171 ayat (1) RBG
5. Mengucapkan sumpah


SYARAT MATERIL
1. Keterangan seorang saksi tidak sah sebagai alat bukti .
ditegaskan dalam pasal 169 HIR, pasal 1905 KUH Perdata yang menyatakan :
Keterangan seorang saksi saja, tidak dapat dipercaya.
Agar sah sebagai alat bukti, harus ditambah dengan suatu alat bukti yang lain.


2. Keterangan berdasarkan alasan dan sumber pengetahuan
diatur dalam pasal 171 ayat (1) HIR dan pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata.
Meskipun rumusannya agak berbeda, namun maksudnya adalah sama yaitu :
a. Keterangan yang diberikan saksi harus memiliki landasan pengetahuan.
b. Landasan pengetahuan merupakan sebab atau alasan pengetahuan yang
diterangkannya.
c. Keterangan yang tidak memiliki sebab alasan yang jelas, tidak memenuhi syarat
syarat materiil sebagai alat bukti saksi.
3. Hal- hal yang tidak sah menjadi alat bukti keterangan
diatur dalam pasal 171 ayat (2) HIR, pasal 308 ayat (2) RBG dan pasal 1907 ayat (2)
KUH Peradata.
4. Saling persesuaian
- Yang dimaksud dengan saling bersesuaian, bukan terbatas pada kesamaan atau keseragaman (uniformity) keterangan yang diberikan para saksi saja yang bernilai sebagai alat bukti. Tetapi meliputi keterangan yang mengandung koneksitas yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain, meskipun keterangan itu tidak sama dan seragam.

Selengkapnya...

Rabu, 15 Juni 2011

Surat, Petunjuk dan Keterangan Terdakwa (Hukum Acara Pidana)

Surat
Surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda- tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Alat bukti surat dasar hukumnya ada pada Pasal 187 KUHAP.
Alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP. Surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah yakni surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau surat yang dikuatkan dengan sumpah. Surat sebgaimana yang disebutkan dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah :
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alas an yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang- undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain (Pasal 187 KUHAP).
Pasal 187 (a) dan (b) tersebut diatas disebut juga akte otentik, berupa berita acara atau surat resmi yang dibuat oleh pejabat umum, seperti notaris, panitera pengadilan, juru sita, surat izin bangunan, surat izin ekspor, paspor, surat izin mengendarai (SIM), kartu tanda penduduk (KTP), akta lahir dan sebagainya. Pasal 187 (c), misalnya keterangan ahli yang berbentuk laporan atau visum et repertum, kematian seseorang karena diracun, dan sebgainya. Pasal 187 (d), ini disebut juga surat atau akte dibawah tangan.

Secara formal, alat bukti surat sebagaimana disebut dalam pasal 187 huruf a, b, c adalah alat bukti sempurna, sebab dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang- undangan, sedangkan surat yang disebut huruf d bukan merupakan alat buti yang sempurna. Dari segi materil, semua bentuk alat bukti surat yang disebut dalam pasal 187 bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Sama seperti keterangan saksi atau keterangan ahli, surat juga mempunyai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas. Alasan ketidakterikatan hakim atas alat bukti surat didasarkan pada beberapa asa antara lain : asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran materil atau kebenaran sejati, bukan mencari keteranghan formil. Lalu asas keyakianan hakim sebagaimana tercantum dalam pasal 183, bahwa hakim baru boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa telah terbukti dengan sekurang- kurangnya 2 alat bukti yang sah dan keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Kemudian asas batas minimum pembuktian.


Petunjuk
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Alat bukti petunjuk dasar hukumnya ada pada Pasal 188 (1) KUHAP.
Alat bukti petunjuk pada umumnya baru diperlukan apabila alat bukti lain belum mencukupi batas minimum pembuktian yang digariskan dalam pasal 183 KUHAP. Alat bukti petunjuk baru bisa digunakan jika telah ada alat bukti lain. Karena petunjuk sebagai alat bukti baru yang mungkin dicari dan ditemukan jika telah ada alat bukti lain. Menurut pasal 188 ayat (2), petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari : a. keterangan saksi; b. surat; c. keterangan terdakwa. Oleh karena itu alat bukti petunjuk bukan merupakan alat bukti langsung/ indirect bewijs.
Syarat-syarat alat bukti petunjuk adalah :
a. Mempunyai persesuaian satu sama lain atas perbuatan yang terjadi.
b. Keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu sama lain dengan kejahatan yang terjadi.
c. Berdasarkan pengamatan hakim baik dari keterangan terdakwa maupun saksi dipersidangan.
Untuk nilai kekuatan pembuktian petunjuk sama dengan alat bukti yang lain, dimana dalam KUHAP tidak diatur tentang nilai kekuatan pembuktiannya, maka dengan demikian, nilai kekuatan pembuktian ptunjuk adalah bebas. Hakim tiodak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Sebagai alat bukti petunjuk tidak berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa. Dia tetap terikat pada prinsip minimum pembuktian. Namun dalam pasal 188 (3), Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bidjaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.


Ketrerangan Terdakwa
Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Dasar hukumnya Pasal 189 ayat (1) KUHAP.
Menurut pasal 189 ayat (1) KUHAP, yang dimaksud keterangan terdakwa itu adalah apa yang telah dinyatakan terdakwa di muka sidang, tentang perbuatan yang dilakukannya atau yang diketahui dan alami sendiri. (2) keterangan terdakwa yang diberikan di luar siodang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. (3) keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. (4) keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain.
Pengertian keterangan terdakwa memiliki aspek yang lebih luas dari pengakuan, karena tidak selalu berisi pengakuan dari terdakwa. Keterangan terdakwa bersifat bebas (tidak dalam tekanan) dan ia memiliki hak untuk tidak menjawab Kekuatan alat bukti keterangan terdakwa, tergantung pada alat bukti lainnya (keterangan terdakwa saja tidak cukup) dan hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
Terhadap pasal 189 ayat (2), M. Yahya Harahap mengatakan, bentuk keterangan yang dapat diklasifikasikan sebagai keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang pengadilan ialah :
- Keterangan yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan;
- Dan keterangan itu dicatat dalam berita acara penyidikan;
- Serta berita acara penyidikan itu ditandatangani oleh pejabat penyidik dan terdakwa (M. Yahya Harahap, 1985: 851). Pada bagian lain dikatakannya, ditinjau dari segi hukum pembuktian, rekonstruksi tersebut termasuk keterangan pengakuan yang diberikan terdakwa diluar sidang (M. Yahya Harahap, 1985: 858- 859).

Selengkapnya...

Studi Komparatif Pemerintahan Desa dan Pemerintahan Kelurahan

Pemerintahan Desa
1. Desa adalah suatau wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat, termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai pemerintahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Kepala desa dan perangkat personal desa bukan pegawai negeri sipil.
3. Pemerintahan desa : terdiri dari kepala desa dan perangkat desa.
4. Diberi hak untuk mengurus rumah tangganya sendiri.
5. Perangkat desa: terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa.
6. Sekretaris desa diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.
7. Kepala desa : dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa, warga negara republic Indonesia yang syarat dan tata cara pemilihanya dengan perda yang berpedoman pada PP.
8. Memiliki kekayaan sendiri dan sumber pendapatan asli desa.
9. Berhak membuat keputusan dan aturan- aturan dalam desa.

Pemerintahan Kelurahan
1. Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat, yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.

2. Dipimpin oleh seorang lurah.
3. Kepala kelurahan tidak dipilih tetapi diangkat.
4. Memperoleh pelimpahan sebagian tugas dari bupati/ walikota.
5. Lurah diangkat oleh bupati/ walikota atas usul camat dari PNS yang menguasai teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan.
6. Lurah bertanggungjawab kepada bupati/ walikota lewat camat.
7. Lurah dibantu oleh perangkat kelurahan yang bertanggung jawab kepada lurah.
8. Baik kepala maupun personal perangkat kelurahan adalah pegawai negeri sipil.
9. Tidak diberi hak mengurus rumah tangga sendiri.
10. Tidak mempunyai kekayaan sendiri hanya ada infentaris kelurahan.


Selengkapnya...

Selasa, 31 Mei 2011

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL DAN STATUS PERSONEL

Pemakaian istilah HPI diberbagai universitas di Indonesia seperti Universitas Gajah Mada adalah menggunakan istilah HATAH yang masuk ke dalam Hukum Tata Negara (HTN). Sedangkan di Universitas Jenderal Soedirman lebih condong menggunakan istilah Hukum Perdata Internasional (HPI) yang masuk ke dalam hukum perdata.
Hukum Perdata Internasional apabila dikaitkan dengan HATAH yaitu bahwa HATAH lebih luas dari HPI karena HATAH meliputi HATAH intern dan HATAH ekstern. Sedangkan HPI hanya sebagai HATAH ekstern.
Para ahli hukum pada dasarnya sama dalam hal memberikan definisinya mengenai Hukum Perdata Indonesia. Salah satunya Van Vollenhoven yang menegaskan :
“(z)oovak het recht buiten de grens Van het nationale gaat op een der beide laatste wijzen – door of aan staten gemeen te zijn of den strikt nationalen kring van den verordenenden staat te overschreiden – pleegt men te sperken van internationaal recht”.
Bila kita perhatikan penegasan Van Vollenhoven tersebut, kita dapati dua macam hukum yaitu : pertama – hukum bersama bagi berbagai Negara dan kedua – hukum suatu negara yang lingkup lakunya melampaui batas lingkungan nasional, kedua- duanya itulah Hukum Internasional.
Kemudian dalam HPI terdapat 2 kaidah, yaitu kaidah mandiri yang secara langsung berisi ketentuan yang berlaku untuk peristiwa atau perkara perdata internasional. Dan kaidah petunjuk yang menunjuk kepada sistem hukum suatu negara sebagai hukum yang dipergunakan dalam menyelesaikan suatu peristiwa atau perkara perdata internasional.
Dalam HPI juga terdapat 2 macam aliran yaitu :
1. Internasionalistis.
Wawasan internasional, HPI di dunia hanya ada 1, agar dapat berkomunikasi antara negara- negara dunia(supra-nasional).
2. Nasionalistis.
Bagi yang bertentangan bahwa HPI tidak 1 di dunia tetapi bermacam- macam. Karena urusan/ masalam masing- masing orang berbeda.
Selain itu Hukum Perdata Internasional mempunyai 2 sumber, yaitu sumber tertulis (peraturan perundang- undangan dan traktat) dan sumber tidak tertulis (kebiasaan, yurisprudensi, doktrin dan prinsip hukum umum).


STATUS PERSONEL/ PERSONAL STATUS
Status personel adalah kondisi atau keadaan suatu pribadi dalam hukum yang diberikan/ diakui oleh negara untuk mengamankan dan melindungi masyarakat dan lembaga- lembaganya.
Status personel ini meliputi hak dan kewajiban, kemampuan dan ketidak emampuan bersikap tindak di bidang hukum, yang unsur- unsurnya tidak dapat diubah atas kemauan pemiliknya.
Dalam status personal terdapat isi dan jangkauan yang dibagi kedalam 3 konsepsi, yaitu sebagai berikut :
Konsepsi luas : status personel meliiputi berbagai hak, permulaan/ lahir dan terhentinya/ mati kepribadian, kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum, perlindungan kepentingan pribadi, soal- soal yang berhubungan dengan hukum keluarga dan pewarisan.
Konsepsi agak sempit : seperti yang dianut di Perancis, tidak menganggap sebagai status personel : hukum harta benda perkawinan, perwarisan dan ketidakmampuan bertindak dibidang hukum dalam hal khusus, misalnya dokter yang tidak diperkenankan memperoleh sesuatu hak yang timbul dari testatemen pasiennya.
Konsepsi lebih sempit : sama sekali tidak memasukanhukum keluarga dan pewarisan dalam jangkauan status personel.
Kemudian dalam menentukan status personel terdapat 2 prinsip yaitu Prinsip personalitas/ kewarganegaraan (lex patriae) dan prinsip teritorialitas/ domisili (lex domocillie).
1. Aliran personalitas : untuk status personel suatu pribadi berlaku hukum personelnya. Sebagaimana berlaku di negara- negara Eropa kontinental (Civi Law).
2. Aliran teritorialitas : status personel suatu pribadi tunduk pada hukum negara dimana ia berdomisilie. Sebagaimana di negara- negara Anglo Saxon (Common Law).

Kewarganegaraan/ nationality
Pembatasan mengenai siapa yang merupakan warga negara dari suatu negara ditetapkan sendiri oleh negara yang bersangkutan. Hal ini adalah hak mutlak suatu negara yang berdaulat.
Mengenai prinsip- prinsip umum kewarganegaraan bahwa kebebasan suatu negara untuk menentukan siapa warganegaranya dibatasi oleh prisip- prinsip umum hukum internasional mengenai kewarganegaraan.
Kemudian untuk pembatasan terhadap kebebasan dalam menentukan warganegara di bagi menjadi 2 yaitu :
1. Orang- orang yang tidak mempunyai hubungan apapun dengan suatu negara tidak boleh dimasukan sebagai warganegara, negara yang bersangkutan.
2. Suatu negara tidak boleh menentukan siapa- siapa yang merupakan warganegara suatu negara lainnya.
Dalam hal menentukan kewarganegaraan terdapat 2 cara yaitu asas tempat kelahiran (ius soli) dan Asas keturunan (ius sanguinis).
Domisili/ domicile
Domisili adalah negara atau tempat menetap yang menurut hukum dianggap sebagai pusat daripada kehidupan seseorang (center of his life).
Terdapat 2 domisili yaitu Domicile of origin sebagai domisili yang diperoleh seseorang pada waktu kelahirannya. Bagi anak yang sah “domicilie of origin” nya adalah negara dimana ayahnya berdomisili pada saat ia dilahirkan. Sedangkan bagi anank tidak sah, domisili ibunyalah yang menjadi “domicilie of origin”. Dan Domicilie of choice yang dimana sistem hukum di Inggris memerlukan 3 syarat bagi seseorang untuk memiliki “domicilie of choice” :
1. Kemampuan/ capacity.
2. Tempat kediaman/ residence.
3. Hasrat atau itikad/ intention.
Alasan yang pro kewarganegaraan
1. Cocok untuk perasaan hukum seseorang.
2. Sifatnya lebih permanen.
3. Lebih membawa kepastian.
Alasan yang pro domisili
1. Hukum dimana yang bersangkutan hidup.
2. Prinsip kewarganegaraan memerlukan bantuan prinsip domisili.
3. Seringkali hukum domisili sama dengan hukum hakim.
4. Cocok dalam negara pluralisme hukum.
5. Menolong dimana prinsip kewarganegaraan tidak dapat dilaksanakan.
6. Demi kepentingan adapatasi dari negara imigran.

Selengkapnya...

Hukum Waris Adat 5

• Konsep harta nilai ekonomis, sosial, magis, materil dan imateril. Kepemilikan komunal dan
Individual, dapat dibagi dan tidak dapat dibagi.
• Harta warisan
1. Harta materil
- Diartikan sebagai dapat dinilai dengan uang/ ekonomis. Berkaitan dengan kebutuhan hidup.
- “Dapat diilai dengan uang” bahwa uang itu ada nilai nominal, dengan arti uang itu punya sifat strategis dalam pewarisan.
- Dapat diwariskan dan dapat dibagi.
2. Harta immateril
- Magis dan sosiologis.
- Homogen = dari kualitas menjadi kuantitas (kwntifikasi).
- Heterogen = dengan metode scoring, seperti : tanah.
- Dapat diwariskan, tidak dapat dibagi.
• Nilai ekonomis menggambarkan berapa besar bagian ahli waris. Mengapa disebut sebgai “bagian” bukan “hak” ?
Kalau “hak” = bersifat kualitas.
Kalau “bagian” = bersifat kuantitas, berapa yang diterima.
• 3 arti penting kualifikasi uang :
1. Mengetahui totalitas harta warisan.
2. Menghitung bagian harta warisan.
3. Dapat dibaginya harta warisan.
• Kepemilikan :
1. Komunal : yang punya hubungan komunal.
2. Individual : yang berkaitan dengan orang- orang lain komunal.
• Harta warisan dapat dilakukan pembagian warisan. Kapan?
- Setelah dibersihkan dari hutang- hutangnya.
- Penentuan kualifikasi HPI, HPS dan HB.
• Struktur harta keluarga masyarakat parental/ bilateral (HAS, HAI dan HB HPS, HPI dan HB konsep harta kekayaan).

Selengkapnya...

Hukum Waris Adat 4

Pewarisan
• Pengertian
Proses penerusan, pengoperan, peralihan harta kekayaan materil dan imateril dari satu generasi ke generasi berikutnya.
• Tujuan
Menyelesaikan perikatan yang dibuat pewaris semasa hidupnya dan mempertahankan eksistensi masyarakat genealogis.
• Konsep harta warisan harus sudah bersih
Harta peninggalan pewaris setelah dibersihkan dari hutang- hutang pewaris semasa hidupnya (termasuk biaya perawatan, selamatan dan biaya kubur), selanjutnya baru dapat dilakukan pembagian warisan (konsep aktiva dan pasiva).
• Harta kekayaan materil dan imateril
1. Materil : dapat dinilai dengan uang, bernilai ekonomis.
Untuk apa? Dalam hal ini ada 3 fungsi, yaitu :
a. Dipakai untuk menghitung nilai warisan.
b. Untuk menentukan hak dan bagian ahli waris.
c. Dapat dibaginya harta warisan.

# untuk warisan seperti rumah atau mobil maka cara pembagian warisannya dengan ditaksir nilainya.
2. Imateril : tidak bernilai uang, tetapi bernilai sosiologis dan magis.
Hukum adat ada harta yang dapat diwariskan tetapi tidak dapat dibagi karena bersifat imateril. Seperti : pusaka, jabatan, gelar, dll.
• Dalam hukum waris adat ada materil dan imateril, karena :
1. Mempertahankan eksistensi masyarakat genealogis.
2. Masyarakat disamping penopangnya juga sebagai struktur masyarakat itu sendiri.
• Tujuan hukum waris adat pada dasarnya sama dengan tujuan hukum pada umumnya, yaitu tertib masyarakat. Oleh karena itu tujuan waris adatpun juga memelihara tertib masyarakat dan mempertahankan eksistensi masyarakat genealogis.


• Secara yuridis yang dimaksud dengan tertib masyarakat adalah adanya proses yang teratur dan lancar dalam pelaksanaan hak dan kewajiban para subyek hukum dalam pergaulan hidup masyarakat. Apabila ada seorang yang melanggar tertib masyarakat akan dikenai sanksi hukum sebagai sarana kontrol sosial, sehingga pulih kembali tertib masyarakat.
• Kwalifikasi dasar subyek hukum :
1. Vertical : aspek hukum publik ( warga negara dengan negara ).
2. Horizontal : harta kekayaan, lapangan keluarga.
• Bagaimana jika subyek hukum mati ?
Maka tidak akan tertib lagi. Untuk menertibkan, untuk menertibkan maka hukum harus menyelesaikan masalah.

• Harta warisan harus sudah bersih?
Sebelum menuntut pembagian warisan, selesaikan dulu kewajiban/ perikatan yang dibuat pewaris. Seperti : hutang, biaya kubur, perawatan, dll.
• Unsur- unsur pewarisan :
1. Pewaris : orang yang meninggal dan meninggalkan harta warisan.
2. Harta warisan : harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris.
3. Ahli waris : orang yang berhak menerima harta kekayaan.
• Sifat komulatif
Berkait dengan konsep peristiwa hukum waris dan apabila salah satu saja dari unsur- unsur pewarisan tidak ada maka tidak akan terjadi pewarisan.
• Siapa yang dimaksud dengan “generasi berikutnya” yang menempati posisi sebagai ahli waris ?
Kata kunci “masyarakat genealogis”. Tidak menempati posisi silsilah/ struktur keluarganya. Contoh : patrinileal, yang dimana perempuan tidak mewaris.
Jadi hanya orang- orang yang mene,pati posisi silsilah/ struktur dalam keluarganya yang berhak mewaris untuk mempertahankan eksistensi genealogis tersebut.

Selengkapnya...

Hukum Waris Adat 3

Istilah Yang Rancu Dalam Praktik Hukum
Rancu :
- Persepsi yang berbeda- beda.
- Mengandung multitafsir ( dalam Bahasa Indonesia ), yang kemudian menimbulkan suatu ketidakpastian dan menyangkut kepada ketertiban umum.
Pewarisan dan pembagian warisan
- Pewarisan yaitu membagi- bagi harta warisan.
- Sedangkan warisan yaitu hanya sebagai metoda saja dalam suatu sistem.
- Pewariasan dalam waris BW/ perdata dan dalam waris islam, terjadi setelah pewaris meninggal dunia. Berbeda halnya, apabila pewarisan dalam waris adat dapat terjadi sebelum dan atau setelah pewaris meninggal dunia.
Harta Warisan dan Harta Peninggalan
Perbedaan :
- Harta warisan yaitu terdiri dari harta peninggalan ditambah dengan segala pemberian orang tua kepada anak- anaknya semasa hidupnya.
- Harta peninggalan yaitu diartikan sebagai harta yang ada dan yang akan ada sejak saat meninggalnya pewaris.

Perbedaan Inbreng BW dan Adat
- Asas : Pada asasnya tiap ahli waris punya hak dan bagian yang sama terhadap harta warisan.
- BW : Schenking dari orang tua kepada salah satu anaknya, mungkin mengakibatkan melebihi hak yng diterima sebagai ahli waris, dan kalau menghasilkan kurang dari bagiannya maka akan ditambahi.
- Adat : setiapn pemberian orang tua kepada anak- anaknya akan diperhitungkan dalam pembagian warisan, sehingga apabila diperhitungkan lebih maka akan dikurangi dan apabila kurang maka akan ditambahi, sehingga hak dan bagiannya masing- masing sama.

Harta Bawaan dan Harta Aasal
- Harta gawan : yaitu harta pemberian orang tua sama dengan harta asal.
- Harta Bawaan : yaitu harta pribadi suami, harta pribadi isteri dan harta pemberian orang tua.
- Harta Asal : yaitu harta yang diperoleh suami atau isteri sebelum dan atau selama perkawinan yang berasal dari pewarisan. Harta asal memunculkan ahli waris asal, tidak ada ahli waris gawan. Dan ahli waris asal muncul ketika ada seseorang yang meninggal tetapi tidak ada ahli waris.
Hibah
- Hibah dalam Hukum Islam memiliki arti sebagai perbuatan hukum sepihak secara Cuma- Cuma, artinya ada prestasi tetapi tidak ada kontraprestasi.
- Hibah tidak boleh merugikan ahli waris. Artinya tetap dilaksanakan tetapi tidak boleh merugikan.


Selengkapnya...

Hukum Waris Adat 2

Pengaruh Undang- Undang No 1 Tahun Tahun 1974 Terhadap Waris BW
Dengan berlakunya Undang- Undang No 1 Tahun 1974, maka dalam hal ini berlaku asas “Lex Posterior Derogate Lex Priori “, yaitu bahwa undang- undang baru membatalkan undang- undang terdahulu sejauh undang- undang tersebut mengatur hal yang sama.
Dan sejak diberlakukannya Undang- Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut maka tidak diberlakukan lagi hukum perkawinan yang diatur dalam KUHPerdata. Dan konsekuensinya adalah bagi orang- orang yang melakukan perkawinan sebelum diberlakukan UU NO 1 Tahun 1974 mereka tunduk pada sistem hukum waris KUHPerdata (BW), dan bagi orang- orang yang melakukan perkawinan setelah adanya UU No 1 Tahun 1974 maka tidak diberlakukan lagi hukum waris menurut KUHPerdata.
Aspek Substansi Perkawinan
Ada hubungan system yang melekat antar sistem antara hukum perkawinan, hukum keluarga dan hukum waris. Hukum kelurga dan hukum waris tidak berlaku lagi dengan diundangkannya UU No 1 Tahuin 1974. Hukum keluarga dan hukum waris tidak berlaku karena apabila parental atau matrinileal, maka hukum waris mengikuti hukum keluarga tersebut.
Secara Normatif
Hukum waris BW tidak bias diperlakukan bagi orang- orang setelah adanya UU no 1 Tahun 1974. Dari sudut pengaruh, yaitu adanya asas retroaktif yaitu undang- undang tidak berlaku surut bahwa apabila peristiwa hukum yang dilakukan sebelum munculnya UU No 1 Tahun 1974 maka masih berlaku ketentuan hukum yang lama.


Point- Point Perkuliahan
• BW dalam perkawianan menganut sistem harta persatuan bulat dalam hal harta kekayaanya. Sedangkan UU No 1 Tahun 1974 dalam perkawinan menganut system harta bersama, harta pribadi suami dan harta pribadi isteri dalam hal harta kekayaannya.
• Dalam hal pewarisan di Indonesia muncul permasalahan, karena hukum waris nasionalnya belum ada. Dengan begitu hukum wari BW yang semula menjadi dasar hukum sehingga menjadi sumber hukum.
• Apakah lahirnya UU No 1 Tahun 1974 menyangkut terhadap hukum waris islam?
1. Dari substasi, akibat perkawinan menyangkut terhadap hubungan suami dan isteri. Dalam hukum islam adanya harta pribadi sedangkan dalam UUP ada harta bersama dan harta pribadi suami dan isteri.
2. Mengenai anak angkat.

UU No 7 Tahun 1989 KHI = Tahun 1991
Tentang PA UU No 1 Tahun 1974


Pasal 49 : Pengadilan agama berwenang memriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara waris bagi orang yang beragama islam.
1. UU ini berorientasi tidak ada penggolongan rakyat.
2. Siapa yang dimaksud dengan mereka yang beragama islam.
3. Dikenalkan opsi hukum/ pilihan hukum.
• Adanya hak memilih, jadi pembentuk undang- undang menitikberatkan pada aspek keadilan bukan pada aspek kepastian.
• Keadilan dipandang adil oleh yang bersangkutan.
• Implementasi opsi hukum, yaitu memilih hukum dari waris islam dan waris adat. Memilih 1 dari 2 opsi hukum, karena historisnya orang Indonesia dahulu ada golongan.
4. Argumentasi opsi hukum itu apa.
5. Permasalahan keadilan.
• Masalah yang timbul dari keadilan, antara lain : ahli waris laki- laki dan perempuan, ahli waris janda dan anak, ahli waris anak dan anak angkat.


Selengkapnya...

Hukum Waris Adat 1

Hukum Waris Adat
Hukum adalah seperangkat peraturan tingkah laku yang berisi perintah/ anjuran, larangan, dan ada sanksi (upaya pemaksa) bagi para pelanggarnya.
Sebelum memasuki pembahasan mengenai hukum waris adat, maka kita harus dapat membedakan antara hukum waris adat dan hukum adat waris. Dalam hal ini bahwa hukum waris adat (Diterangkan – Menerangkan) yaitu dalam fokus hukum waris (hukum positif), sedangkan hukum adat waris (Menerangkan- Diterangkan) yaitu lingkupnya adalah hukum adat dengan kata lain dalam tataran hukum adat (historis/ antropologis).
Hukum waris di Indonesia sejak dahulu sampai saat ini masih beranekaragam bentuknya, masing-masing golongan penduduk tunduk kepada aturan-aturan hukum yang berlaku kepadanya sesuai dengan ketentuan Pasal 163 IS Yo. Pasal 131 IS. Golongan penduduk tersebut terdiri dari :
- Golongan Eropa
- Golongan Timur Asing
- Golongan Bumi Putera.
Dan untuk hukum waris positif atau hukum waris yang sedang berlaku di Indonesia terbagi menjadi 3 macam hukum waris. Hukum waris tersebut adalah :
- Hukum waris adat.
- Hukum waris islam.
- Hukum waris BW/ perdata.

Dengan materi pengantar kuliah tersebut, maka dapat dimengerti dasar hukumnya dan juga dapat diambil beberapa teaching point yaitu :
1. Secara normatif bahwa hukum waris adalah bagian dari tata hukum Hindia Belanda yang berlaku di Indonesia.
2. Adanya ketentuan pasal 163 IS yo pasal 131 IS, yang dimana pasal- pasal tersebut mengatur mengenai pergolongan rakyat dan pluralism hukum. Dan juga dalam pasal- pasal ini politik hukum ikut diberlakukan.

Dalam pemakaian hukum waris di setiap golongan- golongan tersebut diberlakukan berbeda- beda, hal ini dapat dilihat sebagai berikut :
1. Golongan bumi putera : menggunakan hukum waris adat/ hukum waris islam.
2. Golongan Eropa : menggunakan hukum waris BW/ perdata.
3. Golongan Timur Asing :
- Untuk cina menggunakan hukum waris BW/ perdata.
- Untuk bukan Cina menggunakan hukum waris adat.
Kemudian sedikit penjelasan mengenai hukum waris islam, yaitu bahwa hukum waris islam tidak otomatis berjalan di Indonesia. Dan hukum waris islam tersebut ada 2, yaitu yang tertulis seperti undang- undang perbankan syariah dan yang tidak tertulis. Selengkapnya...

ACARA PEMERIKSAAN SINGKAT & ACARA PEMERIKSAAN CEPAT

ACARA PEMERIKSAAN SINGKAT
Acara pemeriksaan singkat ini diatur dalam pasal 203- 204 KUHAP. Dalam hal ini mempunyai ciri- ciri sebagai berikut :
• Bahwa yang diperiksa dalam acara pemeriksaan singkat adalah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk dalam ketentuan pasal 205 KUHAP. (Pasal 203 ayat 1 KUHAP) . Yang dimana dalam pasal 205 KUHAP tersebut mengatur mengenai acara pemeriksaan tindak pidana ringan yaitu perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak- banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan.
• Kejahatan atau pelanggaran tersebut menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana. (Pasal 203 ayat 1 KUHAP).
• Bukan merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau pidana kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak- banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah atau penghinaan ringan.
• Bukan merupakan pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang- undangan lalu lintas. Karena pelanggaran terhadap peraturan perundang- undangan menggunakan acara pemeriksaan cepat.
• Yang harus memberitahukan dengan lisan kepada terdakwa tentang tindak pidana yang didakwakan kepadanya adalah penuntut umum.
• Penuntut Umum menghadapkan terdakwa, saksi, ahli, juru bahasa dan barang bukti.(Pasal 203 ayat 2 KUHAP).
• Waktu, tempat dan keadaan melakukan tindak pidana tersebut dilakukan secara lisan. (Pasal 203 ayat 3).
• Apabila dipandang perlu adanya pemeriksaan tambahan, dapat diadakan pemeriksaan tambahan tersebut paling lama empat belas hari. (Pasal 203 ayat 3 (b) KUHAP).
• Terdakwa dan atau penasehat hukum dapat meminta penundaan (tunda) sidang paling lama tujuh hari. (Pasal 203 ayat 3 (c) KUHAP).
• Putusanya tidak dibuat secraa khusus, tetapi dicatat dalam berita acara sidang. (Pasal 203 ayat 3 (d), (e) dan (f) KUHAP).



ACARA PEMERIKSAAN CEPAT
Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan
Acara pemeriksaan cepat ini diatur dalam pasal 205- 216 KUHP. Dalam hal ini mempunyai ciri- ciri sebagai berikut :
• Yang diperiksa adalah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan atau denda sebanyak- banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan. ( Pasal 205 ayat 1 KUHAP)
• Yang menghadap terdakwa dalam sidang adalah polisi, bukan jaksa penuntut umum.(Pasal 205 ayat 2 KUHAP).
• Mengadili dengan hakim tunggal, tingkat pertama dan terakhir, kecuali divonis penjara dapat banding. (Pasal 205 ayat 3 KUHAP).
• Pemeriksaan pada hari tertentu dalam tujuh hari. (Pasal 206 KUHAP).
• Saksi tidak mengucapkan sumpah atau janji kecuali jika perlu. (Pasal 208 KUHAP).

Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas
• Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan dalam paragraf ini ialah perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang- undangan lalu lintas jalan. (Pasal 211 KUHAP)
• Tidak diperlukan berita acara pemeriksaan. Oleh karena itu, catatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 207 ayat (1) huruf a segera diserahkan kepada pengadilan selambat- lambatnya pada kesempatan hari sidang pertama berikutnya (Pasal 212).
• Dapat menunjuk seorang wakil. Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang (Pasal 213 KUHAP).
• Sesuai dengan makna yang terkandung dalam acara pemeriksaan cepat, segala sesuatu berjalan dengan cepat dan tuntas, maka benda sitaan dikembalikan kepada yang paling berhak pada saat amar putusan telah dipenuhi. (Pasal 215 KUHAP).

Selengkapnya...

TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG KE BLOG INSPIRASI HUKUM. SEMOGA BERMANFAAT

Yuk chatting :