TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG KE BLOG INSPIRASI HUKUM. KRITIK DAN SARAN AKAN SANGAT MEMBANTU. SEMOGA BERMANFAAT

Kamis, 29 September 2011

PERBEDAAN PEMANFAATAN ZEE ANTARA NEGARA BERPANTAI DENGAN NEGARA TIDAK BERPANTAI

Perbedaan Pemanfaatan ZEE Antara Negara Berpantai Dengan Negara Tidak Berpantai

Konsep ZEE yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut III/1982 secara keseluruhan telah membentuk hubungan-hubunmgan baru di antara negara-negara dalam pemakaian SDA hayati laut, riset ilmiah dan pencegahan terhadap pencemaran laut. Perubahan yang paling mendasar dari konsep ZEE ini terjadi dalam hal pembagian tradisional antara laut teritorial yang merupakan zona kedaulatan negara pantai dan laut lepas yang terbuka untuk semua bangsa. Perubahan tersebut membawa implikasi tersendiri dalam bidang Hukum Laut Internasional, diantaranya adalah munculnya perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi diantara para penulis dan ahli Hukum Internasional perbedaan- perbedaan tersebut dapat dimaklumi karena konsep ZEE merupakan dasar hukum yang menentukan hubungan antara hak-hak serta kepentingan dari negara pantai dan semua negara dalam pemakaian ZEE.

Pasal 69 KHL III/1982 telah memberikan ketentuan mengenaihak-hak negara tidak berpantai di wilayah ZEE suatu negara. Pengaturan negara tidak berpantai ini dimaksudkan agar negara tersebut meskipun tidak memiliki laut, namun dapat berpatisipasi secara adil mengelola bagian dari surplus perikanan negara pantai. Hak-hak tersebut dilaksanakan dengan mempertimbangkan keadaan ekonomi dan geografi dari negara tidak berpantai dan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konservasi Sumber Kekayaan Hayati (Pasal 61) dan pemanfaatan sumber kekayaan hayati (Pasal 62). Partisipasi iniharus didasarkan pada region atau sub region yang sama, yaitu wilayah yang secara geografis dibagi dibawah Komisi Regional PBB atau wilayah laut menurut FAO.
Secara umum, dalam memberikan kesempatan untuk berpatisipasi kepada negara lain, negara pantai harus mempertimbangkan berbagai faktor, diantaranya adalah arti penting dari sumber kekayaan hayati bagi perekonomian nasionalnya dan ketentuan Pasal 69 tentang hak negara tidak berpantai dan Pasal 70 tentang hak negara secara geografis tidak diuntungkan.

Salah satu perbedaan antara negara tidak berpantai dengan negara lainnya dalam hal pemanfaatan ZEE adalah persoalan prioritas dalam bidang penangkapan ikan, sedang menyangkut hak lain yang dimiliki oleh negara tidak berpantai yaitu penerbangan, pelayaran, pemasangan pipa, dan kabel bawah laut dan riset ilmiah tidak ada perbedaan sepanjang hak-hak tersebut dilakukan dengan cara-cara dan tujuan damai. Artinya selain hak dalam hal penangkapan ikan, negara tidak berpantai memiliki hak yang sama dengan negara-negara lainnya. Perbedaan yang berlaku bagi negara tidak berpantai dalam bidang penangkapan ikan yang dimaksud adalah seperti yang tercantum dalam Pasal 62 Ayat 2 KHL III/1982 :
”.............memberikan kesempatan kepada negara lain untuk memanfaatkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan yang tersisa dengan memperhatikan secara khusus ketentuan Pasal 69 dan Pasal 70, khususnya yang berkaitan dengan negara berkembang.”
Kata khusus yang tertulis dalam pasal tersebut menrut Hanung Kuncoro berarti bahwa negara tidak berpantai memiliki kesempatan lebih besar dibanding dengan negara lainnya. Namun demikian, sebelum hak mengakses ZEE diberikan, terlebih dahului negara pantai harus menetapkan jumlah tangkapanyang diperbolehkan (JTB) seperti yang tercantum dalam pasal 61 ayat 1. penentuan JTB di wilayah ZEE suatu negara dilakukan agar terjadi keseimbangan sumber kekayaan hayati laut dan menghindari punahnya jenis ikan tertentu karena frekuensi penangkapan ikan yang berlebihan.

Setelah JTB ditentukan, selanjutnya negara pantai diharuskan untuk melakukan pemanfaatan secara optimal sesuai dengan Pasal 62 Ayat 1. pelaksanaan sumber kekayaan hayati ZEE ini tentunya diutamakan untuk kepentingan nasionalnya baik yang bersifat ekonomis maupun kepentingan lainnya seperti peningkatan gizi masyarakat dan kepetingan konservasi. Jika dalam pelaksaannya negara pantai tidak dapat memanfaatkan JTB secara optimal, maka sisanya dialokasikan kepada negara lain terutama negara tidak berpantai dan negara yang secara geografis tidak diuntungkan yang sedang berkembang. Adapun negara pantai dapat memanfaatkan seluruh JTB, maka menurut KHL III/1982 harus dibuat suatu peraturan yang adil sehingga negara tidak berpantai tetap dapat memanfaatkan kekayaan hayati ZEE.
Kesempatan untuk mengakses surplus dari JTB bagi negara tifak berpantai tidak diperoleh secara otomatis, namun terkait dengan perjanjian atau suatu peraturan yang dapat dilakukan antara negara pantai dengan negara tidak berpantai di region atau sub-region yang sama seperti Asean Fisheris Federation (AFF) yang merupakan perjanjian yang ditandatangani oleh perusahaan-perusahaan perikanan ASEAN untuk pertukaran informasi tentang masalah perikanan. Ketentuan-ketentuan KHL III/1982 dapat digolongkan sebagai ketentuan dsar bagi negara-negara pantai tentang bagaimana melaksanakan kewajiban pemanfaatan secara optimum dari sumber perikanan ZEE. Dalam kaitan ini dapat disimpulkan bahwa hak berdaulat negara pantai atas sumber perikanan di ZEE harus dikaitkan dengan kewajiban negara pantai untuk melaksanakan konservasi dan pemanfaatan optimum dari sumber perikanan. Meskipun KHL III/1982 merupakan pedoman bagi negara berpantai dalam mengelola ZEE, namun dalam prakteknya akses bagi negara lain terutama negara tidak berpantai sangat bergantung kepda kebijakan nasional negara pantai yang bersangkutan. Negara pantai dapat memberikan akses kepada negara asing jika negara asing tersebut dianggap sesuai dengan kebijakan nasional mereka dalam bidang perikanan yang ditetapkan berdasarkan kepentingan perekonomian negara tersebut.
Kebijakan seperti ini tentunya akan sangat merugikan negara tidak berpantai yang ebagian besar adalah negara berkembang. Dalam kaitannya dengan persoalan ii, Gulland dan Miles berpendapat bahwa praktek dari Pasal 69 ayat 1dan Pasal 70 ayat 1mengalami hambatan disebabkan karena beberapa faktor :
1. kompleksitas perkembangan populasi ikan, perubahan stok yang terjadi secara tiba-tiba tentu mempengaru akurasi bilangan JTB.
2. kepentingan negara Pantai. Tampaknya faktor ini dijadikan senjata ampuh oleh negara pantai untuk menolak pemberian akses, terlebih Pasal 62 ayat 3 dengan tegas meyatakan bahwa faktor kepentingan nasional baik yang bersifat ekonomi maupun yang bersifat non ekonomi dapat dijadikan dasar pertimbangan pemberian akses, jika negara pantai itu sangat bergantung pada potensi ekonomi yang berasal dari sumber daya alam ZEE.
3. kadar hubungan kedekatan bilateral antara negara pantai (pemberi akses) dengan negara penerima akses. Faktor inimenimbulkan subjektivitas yang tidak dapat dihindarkan. Subjektivitas itu muncul tidak hanya dalam pemberian akses tetapi berkaitan juga dengan hal yang melatarbelakangi penentuan adanya surplus. Misalnya negara pantai akan enggan mengajak negara yang hubungannya kurang dekat untuk diajak melakukan riset bersama tentang populasi SDA hayati ZEE. Karena jika negara tersebut diajak riset, maka data kongkrit tentang populasi SDA hayati ZEE nya akan diketahui dan akan dijadikan dasar untuk menuntut pemanfaatan surplus di belakang hari.

Menurut Bmbang Sumantri, Staf Perzinan Kapal Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan, faktor lain yang menyebabkan negara pantai tidak memberikan akses kepada negara tidak berpantai adalah karena negara tidak berpantai yang ada selama ini tidak aktif menuntut hak mereka. Sebagai contoh, dikawasan Asia Tenggara, Laos merupakan satu-satunya negara yang tidak memiliki pantai, namun Laos belum pernah menuntut haknya untuk berpatisipasi memanfaatkan surplus dari negara pant ai tetangganya. Alasan yang dikemukakan oleh pemerintah Laos menyangkut pasifnya negara tersebut dalam kesiatan penangkapan ikan di ZEE adalah karena kebijakan nasionalnya belum memprioritaskan hal tersebut. Akibatnya, kebutuhan terhadap pasokan ikan laut untuk meningkatkan gizi masyarakatnya hanya dilakukan dengan cara impor.
Praktek yang dilakukan negara-negara pantai mengenai prioritas hak yang diberikan negara tidak berpantai tidak dapat berjalan dengan baik bahkan cenderung mengabaikan ketentuan KHL III/1982. kenyataan menunjukan bahwa di kawasan Asia belum ada satupun negara tidak berpantai yang mengambil surplus dari JTB disebuah negara pantai. Sebagian besar negara pantai di Asiabahkan melakukan kebijakan menjual surplus, termasuk Indonesia. Menjual dalam hal ini diartikan memberikan jatah surplus kepada negara yang berani memberi ikan dengan harga tinggi. Jika kenyataan yang terjadi seperti ini, maka hanya negara tertentu saja yang dapat memanfaatkan sisa dari stok perikanan di ZEE negara lain yaitu negara yang statusnya lebih kaya dibanding dengan negara tidak berpantai. Sementara itu negara tidak berpantai tidak dapat bersaing karena sebagian besar adalah negara berkembang, bukan negara kaya.
Selain persoalan prioritas, perbedaan lain yang berkaitan dengan hak negara negara tidak berpantai di ZEE adalah kewajiban untuk menentukan pelabuhan akses tempat bersandarnya kapal melalui sebuah perjanjian. Ketentuan ini dimuat dalam surat perjanjian antara negara pantai dengan negara tidak berpantai. Surat perjanjian itu harus ditunjukan oleh negara tidak berpantai sebelum membuat perjanjian perikanan dengan negara berpantai. Selain dua perbedaan tersebut/prioritas hak dan tempat bersandarnya kapal, tidak ada lagi hal yang bersifat prinsip yang membedakan pelaksanaan hank antara negara tidak berpantai dan negar pantai di ZEE.
Praktek yang dilakukan oleh negara-negara pantai dalam hal pemanfaatan surplus perikanan yang ada di ZEE nya sangat bertolak belakang dengan ketentuan Pasal 69 KHL III/1982. jika mengamati pendapat Gulland dan Miles di atas, maka kesempatan negara tidak berpantai untuk menikmati surplus di ZEE negara pantai sangat dipengaruhi oleh politk ekonomi negara pantai. Dapat dimaklum jika negara berkembang seperti Indonesia lebih memilih negara yang masuk dalam kategori mampu membeli izin penangkapan ikan sesuai dengan harga yang diharapkan. Sedangkan negara tidak berpantai yang sebagian besar pertumbuhan ekonominya di bawah Indonesia (seperti Laos) kemungkinan besar tidak mampu membeli izin penangkapan ikan di Indonesia karena ada negara lain seperti Thailand, Taiwan dan Filipina yang mampu membayar dengan harga lebih tinggi. Tentunya hal ini akan lebih menguntungkan secara ekonomi bagi Indonesia. Selain itu, jika negara pantai menjual surplusnya kepada negara yang mampu, ada kemungkinan mendapat kompensasi lain yang lebih baik melalui perjanjian timbal balik.
Selain itu, proses perjanjian perikanan antara negara tidak berpantai dengan negara pantai lebih rumit karena negara tidak berpantai harus mengawalinya dengan membuat perjanjian pendahuluan dengan negara tetangga, yaitu perjanjian tentang pembuatan pelabuhan akses atau pelabuhan singgah bagi kepalanya, maka perjanjian perikanan dapat dibuat. Proses pembuatan perjanjian ini tentunya lebih rumit dibandingkan dengan perjanjian yang dibuat di antara negara pantai yang satu dengan yang lainnya.
Saat ini pemerintah Indonesia telah memberikan kesempatan kepada pihak asing untuk memanfaatkan sumber daya perikanan di ZEEI. Data yang tercantum pada departemen kelautan dan perikanan menunjukan bahwa tahun 2002 pemerintah Indonesia telah menentukan bahwa jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) dikawasan ZEEI sebanyak 1,5 juta ton dari potensi keseluruhan.

1 komentar:

  1. Mas Vivin, bisa ngak sy di kasih daftar pustaka nya tulisan mas yg di atas dari mana sumbernya seperti : Gulland dan Miles dll,..
    sy tertarik dgn tulisan mas yg mengenai "PERBEDAAN PEMANFAATAN ZEE ANTARA NEGARA BERPANTAI DENGAN NEGARA TIDAK BERPANTAI " sebagai sumber data proposal sy,....
    sy M.tasrih dari palu, fakum, universitas tadulako,...
    Terima KasihBbanyak

    BalasHapus

TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG KE BLOG INSPIRASI HUKUM. SEMOGA BERMANFAAT

Yuk chatting :