TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG KE BLOG INSPIRASI HUKUM. KRITIK DAN SARAN AKAN SANGAT MEMBANTU. SEMOGA BERMANFAAT

Sabtu, 23 April 2011

URGENSI ALAT BUKTI PENGAMATAN HAKIM DALAM RUU KUHAP

Urgensi Alat Bukti Pengamatan Hakim dalam RUU KUHAP

Para ahli hukum memiliki banyak pandangan tentang hukum, bahkan sebagian ahli hukum mengatakan, bahwa hukum itu tidak dapat didefinisikan karena luas sekali ruang cakupannya dan meliputi semua bidang kehidupan masyarakat yang selalu mengalami perkembangan dan perubahan. Mochtar Kusumaatmadja memberikan definisi hukum secara luas tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institution) dan proses-proses (process) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan (Mochtar Kusumaatmadja, 1970: 11). Hukum sebagai kaidah sosial tidak lepas dari nilai (value) yang berlaku di suatu masyarakat, bahwa dapat dikaitkan pula hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Abdul Manan, 2005: 22).

Hukum merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, pendapat ini memiliki maksud, bahwa jika nilai-nilai dalam masyarakat berubah, maka selayaknya hukumpun mengikuti perubahan tersebut. Akan tetapi, permasalahan yang muncul adalah, apakah hukum yang senantiasa mengikuti perubahan tersebut dengan konsekuensi hukum akan selalu tertinggal di belakang, ataukah hukum yang memprakarsai perubahan tersebut.

Berbicara tentang perubahan hukum ini, kita mengingat kembali pemeo yang sangat terkenal yaitu Ubi societas Ibi ius yang bermakna dimana ada masyarakat di situ ada hukum, maka perlu digambarkan hubungan antara perubahan sosial dan penemuan hukum. Masyarakat ada dan menciptakan hukum, masyarakat berubah, maka hukumpun berubah. Perubahan hukum melalui dua bentuk, yakni masyarakat berubah terlebih dahulu, baru hukum datang mengesahkan perubahan itu (perubahan pasif) dan bentuk lain yaitu hukum
sebagai alat untuk mengubah ke arah yang lebih baik (law as a tool of sosial engineering).

Terlepas dari pandangan hukum berubah mengikuti perubahan masyarakat atau hukum sebagai alat mengubah masyarakat, para ahli hukum sepakat, bahwa hukum harus bersifat dinamis, tidak boleh statis dan harus dapat dijadikan penjaga ketertiban, ketentraman dan pedoman tingkah laku dalam kehidupan masyarakat. Hukum harus dijadikan pembaru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus dibentuk dengan berorientasi pada masa depan, hukum tidak boleh berorientasi kepada masa lampau.

Menurut Achmad Ali (Achmad Ali, 1996: 215), tidak perlu diperdebatkan bagaimana hukum
menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat dan bagaimana hukum menjadi penggerak ke arah perubahan masyarakat. Kenyataannya, dimanapun dalam kegiatan perubahan hukum, hukum telah berperan dalam perubahan tersebut dan hukum telah berperan dalam mengarahkan masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia.

Perubahan hukum yang terjadi merupakan konsekuensi logis dari hukum yang bersifat dinamis. Perubahan tersebut, baik melalui konsep masyarakat berubah terlebih dahulu maupun konsep law as tool sosial engineering mempunyai tujuan untuk membentuk dan memfungsikan sistem hukum nasional yang bersumber pada dasar negara Pancasila dan konstitusi negara. Perubahan hukum hendaknya dilaksanakan secara komprehensif yang meliputi lembagalembaga hukum, peraturan-peraturan hukum dan juga memperhatikan kesadaran hukum masyarakat.

Peraturan-peraturan yang ada saat ini kadangkala memiliki keterbatasan dalam pengaturan, baik dalam substansi maupun dalam ruang lingkup berlakunya peraturan tersebut. Jika penyusunan peraturan baru merupakan salah satu solusi untuk menutupi keterbatasan peraturan yang ada, maka solusi yang lain untuk menutupi keterbatasan peraturan tersebut yaitu dengan penemuan hukum.

Apabila suatu perkara dibawa ke pengadilan dan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak ada ketentuan yang dapat diterapkan sekalipun ditafsirkan menurut bahasa, sejarah, sistematis dan sosiologis sedangkan di lain pihak hukum kebiasaan atau hukum adatpun tidak ada peraturan yang dapat membawa hakim pada penyelesaian perkara itu, berarti persoalan ini bersangkutan dengan kekosongan hukum dalam sistem formil dari hukum. Untuk memenuhi ruang kosong ini, hakim harus berusaha mengembalikan identitas antara sistem formil hukum dengan sistem materiil dari hukum.

Berdasarkan beberapa ketentuan yang mengandung persamaan, hakim membuat suatu pengertian hukum (rechtsbegrip) dan menurut pendapatnya, pengertian hukum itu adalah asas hukum yang menjadi dasar lembaga yang bersangkutan. Cara kerja atau proses berpikir hakim demikian dalam menentukan hukum disebut konstruksi hukum yang terdiri dari konstruksi analogi, konstruksi penghalusan hukum dan konstruksi argumentum a contrario (Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2008: 13).

Di dalam lapangan hukum pidana, perubahan masyarakat dan teknologi membawa pengaruh yang sangat besar dalam perubahan hukum, baik hukum pidana materiil yang diimplementasikan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana) maupun dalam hukum pidana formilnya yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ketika tulisan ini dibuat sedang disusun dan dibahas draft perubahan baik KUHPidana maupun KUHAP.

Salah satu perubahan yang dirasa cukup mendasar dalam RUU KUHAP tahun 2008 (selanjutnya disebut RUU KUHAP) yaitu dalam hal alat bukti yang dipakai dalam persidangan. Saat ini, pasal 184 KUHAP mengenal 5 macam alat bukti yang dapat dipergunakan di persidangan, yaitu alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Akan tetapi dalam RUU KUHAP alat bukti yang sah di persidangan berubah menjadi alat bukti barang bukti, surat-surat, alat bukti elektronik, keteranangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa dan pengamatan hakim.

Permasalahan alat bukti kerap membawa kesulitan baik lembaga Kepolisian selaku penyidik, lembaga Kejaksaan selaku penuntut maupun lembaga Peradilan dalam memeriksa dan memutus perkara. Alat bukti yang ada sekarang dirasa sangat terbatas mengingat perubahan yang cukup pesat dalam masyarakat. Selain itu, dalam lapangan hukum pidana penafsiran, baik tentang duduk perkara maupun tentang alat bukti hanya terbatas pada penafsiran ekstensif, yaitu memberikan tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu.

Adanya perubahan ini diharapkan memberikan keleluasaan bagi hakim untuk menemukan hukum (rechtsvinding) terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya, sesuai dengan amanat dalam pasal 16 Undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi, ”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.


Permasalahan utama yang akan dibahas pada tulisan ini adalah sejauh mana arti penting alat bukti pengamatan hakim dibandingkan alat bukti lainnya menurut perspektif RUU KUHAP. Pasal 177 RUU KUHAP memformulasikan alat bukti yang sah ke dalam beberapa jenis antara lain barang bukti; surat-surat; bukti elektronik; keterangan seorang ahli; keterangan seorang saksi; keterangan terdakwa dan pengamatan hakim. Hal baru yang sebelumnya tidak ada dalam macam-macam alat bukti yang sah menurut pasal 184 KUHAP adalah barang bukti, bukti elektronik dan pengamatan hakim. Sedangkan alat bukti yang dihilangkan dari pasal 184 KUHAP adalah alat bukti petunjuk.

Pada sub bab terdahulu telah dibahas macam-macam alat bukti menurut pasal 184 KUHAP serta perbedaan mendasar antara alat bukti petunjuk dan alat bukti pengamatan hakim. Pada bagian ini akan coba dibahas macam-macam alat bukti menurut pasal 177 RUU KUHAP.
Alat-alat bukti yang sah menurut pasal 177 RUU KUHAP adalah sebagai berikut:

a. Barang Bukti
Menurut penjelasan pasal 177 ayat (1) huruf a RUU KUHAP yang dimaksud dengan barang bukti adalah barang atau alat yang secara langsung atau tidak langsung untuk melakukan tindak pidana (real evidence atau physical evidence) atau hasil tindak pidana.

b. Surat-surat
Menurut penjelasan pasal 177 ayat (1) huruf b RUU KUHAP yang dimaksud dengan surat adalah segala tanda baca dalam bentuk apapun yang bermaksud menyatakan isi pikiran. Selanjutnya dalam pasal 178 RUU KUHAP dijelaskan secara lebih rinci, bahwa Surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 ayat (1) huruf b, dibuat berdasarkan sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, yakni :
- Berita Acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau dialami sendiri disertai dengan alasan yang tegas dan jelas tentang keterangannya;
- surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam ketatalaksanaan yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal atau suatu keadaan;
- surat keterangan ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi darinya;
- surat lain yang hanya dapat berlaku, jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

c. Bukti Elektronik
Menurut penjelasan pasal 177 ayat (1) huruf c RUU KUHAP Yang dimaksud dengan “bukti elektronik” adalah informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, termasuk setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

d. Keterangan Ahli
Menurut pasal 179 RUU KUHAP Keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam pasal 177 ayat (1) huruf d adalah segala hal yang dinyatakan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus, di sidang pengadilan.

e. Keterangan Saksi
Menurut pasal 180 ayat (1) RUU KUHAP, yang dimaksud dengan keterangan saksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 177 ayat (1) huruf e RUU KUHAP sebagai alat bukti adalah segala hal yang dinyatakan oleh saksi di sidang pengadilan. Sedangkan definisi saksi sendiri menurut pasal 1 angka 25 RUU KUHAP adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu tindak pidana yang dilihat sendiri, dialami sendiri atau didengar sendiri.

f. Keterangan Terdakwa
Menurut pasal 181 ayat (1) RUU KUHAP keterangan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam pasal 177 ayat (1) huruf f adalah segala hal yang dinyatakan oleh terdakwa di dalam sidang pengadilan tentang perbuatan yang dilakukan atau diketahui sendiri atau dialami sendiri.

g. Pengamatan Hakim
Pengamatan hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 177 ayat (1) RUU KUHAP adalah pengamatan yang dilakukan oleh hakim selama sidang yang didasarkan pada perbuatan, kejadian, keadaan atau barang bukti yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri yang menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Alat-alat bukti sebagaimana tercantum dalam pasal 177 RUU KUHAP tersebut tidak semuanya baru, sebagaimana dimensi pembaharuan yang disampaikan oleh Ismail Saleh, tidak perlu membongkar keseluruhan peraturan perundang-undangan, akan tetapi yang tidak sesuai dengan perkembangan itulah yang akan diganti. Diantaranya yang ditambah dan diganti yaitu alat bukti barang bukti, alat bukti elektronik dan alat bukti pengamatan hakim. Sedangkan alat bukti yang dihilangkan atau lebih tepatnya diganti yaitu alat bukti petunjuk.

Diantara beberapa alat bukti tersebut, alat bukti pengamatan hakim dianggap memiliki potensi yang cukup besar untuk membawa perubahan hukum melalui penafsiran dan penemuan hukum.penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit.

Dahulu hakim dianggap sebagai bouche de la loi atau hakim sebagai corong undang-undang. Hakim hanyalah pelaksana undang-undang. Namun dalam perkembangannya hakim memiliki keleluasaan untuk menafsirkan undangundang. Dalam lapangan hukum pidana, hakim diperbolehkan melakukan penafsiran ekstensif atau perluasan makna, dan dilarang melakukan penafsiran analogi.

Alat bukti barang bukti, dan alat bukti elektronik, khusunya alat bukti elektronik merupakan dua alat bukti yang dapat dikatakan cukup berperan dalam proses penegakan hukum. Sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekanto (Soerjono Soekanto, 2007: 8),
penegakan hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain:
1. Faktor hukumnya sendiri;
2. Faktor penegak hukum;
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4. Faktor masyarakat;
5. Faktor budaya.

Alat bukti barang bukti dan alat bukti elektronik merupakan dua unsur baru yang
dimasukkan dalam alat bukti. Dahulu, hakim kesulitan apabila harus menafsirkan beberapa barang bukti yang akan dikualifikasikan sebagai alat bukti, namun dengan adanya dua alat bukti baru tersebut, penegak hukum khususnya hakim sangat terbantu dalam mengkualifikasikan alat bukti.

Tepatlah kiranya jika keberadaan pengamatan hakim dianggap yang paling potensial dalam rangka penemuan hukum untuk perubahan hukum. Dalam KUHAP sekarang, dengan alat bukti petunjuk hakim dapat mendapatkan keyakinan dengan mengubungkan keterangan saksi, surat serta keterangan terdakwa untuk memperoleh persesuaian. Namun dengan alat bukti pengamatan hakim, hakim diberikan keleluasaan untuk mendapatkan persesuaian dari peristiwa pidana, alat bukti dan pelaku melalui pengamatan langsung selama proes persidangan berjalan.

Hakim dapat menafsirkan segala keterangan yang diberikan oleh masingmasing saksi, mengkonfrontasikan dengan keterangan terdakwa serta menyesuaikan dengan alat bukti barang bukti dan alat bukti lainnya yang ada. Namun pengamatan hakim tidak serta merta memberikan keleluasaan hakim untuk mendapatkan keyakinan tentang terjadinya tindak pidana dan menentukan pelaku tindak pidana. Dalam melakukan pengamatan, hakim dituntut untuk mengedepankan hati nuraninya dalam menilai pemeriksaan secara cermat dengan arif dan bijaksana untuk mendapatkan keyakinan tentang jalannya suatu perkara
yang sedang diperiksa.

Keberadaan alat bukti pengamatan hakim dalam menggantikan alat bukti petunjuk dengan segala keterbatasannya dianggap cukup layak. Sebagaimana dibahas juga tentang keutamaan alat bukti pengamatan hakim dibandingkan alat bukti petunjuk, diharapkan alat bukti baru yang ada dalam RUU KUHAP ini membawa banyak perubahan dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Hakim bukanlah corong undang-undang, melainkan sebuah lembaga independen yang dapat membuat hukum melalui penafsiran dan menemukan hukum.

Kegiatan menafsirkan oleh hakim, sebagaimana disampaikan oleh Pitlo (Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993: 80)terdapat unsur menciptakan. Dapat dikatakan, bahwa mereka yang menelanjangi apa yang terdapat dibelakang teks, hanyalah mengkonstantir apa yang ada, tetapi tidak dapat disangkal bahwa pekerjaannya itu sekaligus bersifat mencipta, sebab tanpa kegiatan itu tidak dapat diketahui apa yang ada. Penafsir adalah seperti penggali harta karun, ia tidak menciptakan harta karun, tetapi tanpa kegiatannya menggali harta karun tidak ada artinya. Setiap penemuan adalah penciptaan.

Demikian juga hakim yang menemukan hukum melalui penafsiran, maka ia telah melakukan penemuan hukum. Penemuan hukumpun dapat dikatakan pula sebagai pembaharuan hukum jika orientasi dari penemuan tersebut membawa perubahan.

Peranan Perubahan Sosial dalam Penemuan Hukum

Para ahli hukum memiliki banyak pandangan tentang hukum, bahkan sebagian ahli hukum mengatakan, bahwa hukum itu tidak dapat didefinisikan karena luas sekali ruang cakupannya dan meliputi semua bidang kehidupan masyarakat yang selalu mengalami perkembangan dan perubahan. Mochtar Kusumaatmadja memberikan definisi hukum secara luas tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institution) dan proses-proses (process) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan (Mochtar Kusumaatmadja, 1970: 11).

Bekerjanya hukum dalam masyarakat akan menimbulkan situasi tertentu. Apabila hukum berlaku efektif, maka akan menimbulkan perubahan dan perubahan itu dapat dikategorikan sebagai perubahan sosial. Namun, kenyataan yang terjadi di masyarakat saat ini, perubahan sosial yang terjadi terkadang tidak diiringi dengan perubahan hukum. Perubahan sosial terjadi lebih cepat dibandingkan perubahan hukum yang terjadi.

Soerjono Soekanto (Soerjono Soekanto, 1991: 17) mengemukakan, bahwa perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat mengenai system nilai-nilai, norma-norma sosial, pola-pola perilaku, organisasi kemasyarakatan, susunan lembaga-lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan, interaksi sosial dan sebagainya. Setiap masyarakat mengalami proses perubahan sosial, perbedaannya adalah waktu dari proses tersebut, ada yang cepat dan ada yang lambat dalam proses tersebut. Menurut La Pierre sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan (Abdul Manan, 2005: 11) menyatakan, bahwa ada beberapa factor yang mempengaruhi perubahan sosial (sosial change) yaitu:
1. Bertambahnya penduduk;
2. Perubahan nilai dan ideologi;
3. Penemuan teknologi.

Perubahan sosial merupakan perubahan yang bersifat fundamental, mendasar, menyangkut perubahan nilai sosial, pola perilaku, juga menyangkut perubahan institusi sosial, interaksi sosial dan norma-norma sosial. Adanya perubahan sosial yang cepat tapi hukumnya belum bisa mengikuti disebut hukum sebagai Sosial Lag yaitu hukum tak mampu melayani kebutuhan sosial masyarakat, atau disebut juga disorganisasi, aturan lama sudah pudar tapi aturan pengganti belum ada. Sehubungan dengan hal-hal yang telah diuraikan di atas, bangsa Indonesia juga mengalami proses perubahan sosial yang cepat. Pemicu utama proses itu adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjalin dengan pertumbuhan penduduk, perkembangan ekonomi dan perdagangan. Kenyataan dan perkembangan tersebut secara langsung mempengaruhi hukum dan kebutuhan hukum bangsa Indonesia. Penerapan teknologi dapat diaplikasikan secara langsung dalam setiap proses pemeriksaan, khususnya dalam proses acara pidana. Namun, penerapan tersebut haruslah memiliki payung undang-undang sebagai legitimasi dari aplikasi teknologi tersebut. Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat turut pula mempengaruhi perubahan hukum di Indonesia. Perubahan yang nampak salah satunya adalah dalam proses persidangan kasus korupsi Al Amin. Dalam proses persidangan tersebut, terdapat 2 (dua) hal yang begitu menarik dan tidak lazim dalam proses-proses persidangan pada umumnya, yaitu, hadirnya istri terdakwa sebagai saksi dan
penggunaan rekaman suara sebagai salah satu alat bukti dalam persidangan.

Jika kita amati secara teoritis dan praktis, maka 2 (dua) hal tersebut merupakan penyimpangan dalam teori dan praktik hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. 2 (dua) hal tersebut mungkinkah suatu kelalaian dalam menerapkan hukum acara pidana ataukah justru merupakan terobosan hakim dalam suatu upaya menemukan kebenaran materiil dalam persidangan kasus korupsi dengan terdakwa Al Amin Nasution.

Urutan yang ada dalam pasal 184 KUHAP tentang alat bukti bukanlah letak atau urutan kekuatan pembuktian sebagaimana yang ada dalam hukum acara perdata. Urutan tersebut hanyalah merupakan urutan untuk memudahlan pemeriksaan dipersidangan. Letak kekuatan pembuktian dalam perkara pidana ada pada pasal 183 KUHAP yang menegaskan, bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Jika dihubungkan dengan kasus Al Amin Nasution, apakah penggunaan istri terdakwa dan rekaman suara terdakwa dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah di persidangan perkara pidana? Menjawab pertanyaan tersebut, maka kita harus melihat pasal 168 KUHAP yang menyatakan sebagai berikut:

Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
a. keluarga sedarah atau semanda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
b. saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena parkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
c. suami atau isteri terdakwa maupun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Melihat ketentuan yang ada dalam pasal 168 tersebut, maka istri terdakwa Al Amin Nasution tidak dapat dijadikan saksi dalam persidangan tersebut. Adapun Majelis Hakim mendengarkan keterangan saksi tersebut sebatas dipergunakan untuk pertimbangan saja. Keterangan istri terdakwa tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah, sebagaimana tercantum dalam pasal 184 KUHAP. Penggunaan rekaman suara dalam kasus tindak pidana korupsi dikecualikan dalam undang-undang, yaitu dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal 26 A yang berbunyi:

Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :
a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Pengecualian tersebut berlaku hanya untuk kasus tindak pidana korupsi.Penggunaan rekaman suara terdakwa dalam kasus korupsi Al Amin dibenarkan oleh undang-undang sebagai pengecualian. Penggunaan rekaman suara ini alangkah baiknya jika diberlakukan untuk semua jenis kejahatan, mengingat perubahan sosial yang cepat dimasyarakat termasuk diantaranya perubahan di bidang teknologi membuat segala hal menjadi mudah. Kemudahan tersebut selayaknya dipergunakan untuk membantu proses pemeriksaan persidangan.

Sebagaimana telah disampaikan dalam pemeo Ubi societas Ibi ius yang bermakna dimana ada masyarakat di situ ada hukum, maka perlu digambarkan hubungan antara perubahan sosial dan penemuan hukum. Masyarakat ada dan menciptakan hukum, masyarakat berubah, maka hukumpun berubah. Perubahan hukum melalui dua bentuk, yakni masyarakat berubah terlebih dahulu, baru hukum datang mengesahkan perubahan itu (perubahan pasif) dan bentuk lain yaitu hukum sebagai alat untuk mengubah ke arah yang lebih baik (law as a tool of sosial engineering). Masalah pemenuhan hukum dalam perubahan sosial memunculkan dua pandangan yang berlawanan berkaitan dengan bagaimana seharusnya hukum
berperan. Di satu pihak, pandangan yang mengemukakan bahwa hukum seyogyanya mengikuti, tidak memimpin dan bahwa hal itu harus dilakukan perlahan-lahan sebagai respon terhadap perasaan hukum masyarakat yang sudah terumuskan secara jelas. Pandangan ini diwakili oleh tokoh aliran sejarah, yakni Von Savigny yang berpendapat bahwa, hukum itu ditemukan dan tidak diciptakan. Di lain pihak ada pandangan yang berpendapat, bahwa ”law should be determined agent in the creation of the norms”, pandangan kedua ini dikemukakan oleh Jeremy Bentham yang berkeyakinan, bahwa hukum dapat dikonstruksi secara rasional dan dengan demikian akan mampu berperan dalam mereformasi masyarakat (Bernard Arief Sidharta, 2000: 7).

Pandangan kedua ini secara progresif dikembangkan oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja dengan konsep hukumnya yang memandang hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat di samping sarana untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum. Konsepsi dan definisi hukum yang dikemukakan oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja dalam tataran praktis menghendaki adanya inisiatif dari para pembentuk undang-undang untuk melakukan penemuan hukum dalam rangka mengarahkan dan mengantisipasi dampak negatif dari perubahan sosial yang terjadi di Indonesia.

Menurut Achmad Ali (Achmad Ali, 1996: 216), tidak perlu diperdebatkan bagaimana hukum
menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat dan bagaimana hukum menjadi penggerak ke arah perubahan masyarakat. Kenyataannya, dimanapun dalam kegiatan perubahan hukum, hukum telah berperan dalam perubahan tersebut dan hukum telah berperan dalam mengarahkan masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia.Perubahan hukum yang terjadi merupakan konsekuensi logis dari hukum yang bersifat dinamis. Perubahan tersebut, baik melalui konsep masyarakat berubah terlebih dahulu maupun konsep law as tool sosial engineering mempunyai tujuan untuk membentuk dan memfungsikan sistem hukum nasional yang bersumber pada dasar negara Pancasila dan konstitusi negara. Perubahan hukum hendaknya dilaksanakan secara komprehensif yang meliputi lembaga-lembaga hukum,
peraturan-peraturan hukum dan juga memperhatikan kesadaran hukum masyarakat.

Peraturan-peraturan yang ada saat ini kadangkala memiliki keterbatasan dalam pengaturan, baik dalam substansi maupun dalam ruang lingkup berlakunya peraturan tersebut. Jika penyusunan peraturan baru merupakan salah satu solusi untuk menutupi keterbatasan peraturan yang ada, maka solusi yang lain untuk menutupi keterbatasan peraturan tersebut yaitu dengan penemuan hukum.

Di dalam perubahan sosial yang semakin pesat seperti saat ini, peranan teknologi informasi dan ilmu pengetahuan merambah di semua lini kehidupan, tidak terkecuali di dunia hukum. Pemanfaatan Teknologi Informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.

Hukum siber atau cyber law, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi baik dalam lingkup local maupun global (Internet) dengan memanfaatkan teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.

Sehubungan dengan itu, dunia hukum sebenarnya sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan normanya ketika menghadapi persoalan kebendaan yang tidak berwujud, misalnya dalam kasus pencurian listrik sebagai perbuatan pidana. Dalam kenyataan kegiatan siber tidak lagi sederhana karena kegiatannya tidak lagi dibatasi oleh teritori suatu negara, yang mudah diakses kapan pun dan darimanapun. Kerugian dapat terjadi baik pada pelaku transaksi maupun pada orang lain yang tidak pernah melakukan transaksi, misalnya pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di Internet. Di samping itu, pembuktian merupakan factor yang sangat penting, mengingat informasi elektronik bukan saja belum terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia secara komprehensif, melainkan juga ternyata sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan, dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Dengan demikian, dampak yang diakibatkannya pun bisa demikian kompleks dan rumit.

Berkaitan dengan hal itu, perlu diperhatikan sisi keamanan dan kepastian hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal. Oleh karena itu, terdapat tiga pendekatan untuk menjaga keamanan di cyber space, yaitu pendekatan aspek hukum, aspek teknologi, aspek sosial, budaya, dan etika. Untuk mengatasi gangguan keamanan dalam penyelenggaraan sistem secara elektronik, pendekatan hukum bersifat mutlak karena tanpa kepastian hukum, persoalan pemanfaatan teknologi informasi menjadi tidak optimal.

Perubahan hukum yang diharapkan dalam rangka penerapan teknologi informasi khusunya dalam proses pemeriksaan perkara pidana adalah adanya pengaturan dalam hukum acara tentang penggunaan teknologi informasi, baik sebagai alat bukti maupun sebagai bagian dari proses pembuktian. Inti dari semuanya adalah kepastian hukum. Walaupun hakim memiliki kewajiban untuk menggali dan menemukan hukum yang ada di dalam undang-undang maupuan di masyarakat, namun adanya kepastian hukum akan lebih menjamin ketertiban dalam masyarakat.

Diundangkannya Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan salah satu upaya antisipatif penyalahgunaan teknologi informasi. Namun apabila upaya ini tidak disertai atau diimbangi dengan kepastian hukum dalam hukum acaranya akan membuat hakim membuat interpretasi-interpretasi yang bisa berbeda antara satu dengan yang lainnya sehingga kepastian hukum terasa diabaikan. Perubahan dalam hukum acara khusunya dalam acara pidana adalah kebutuhan utama yang harus segera dipenuhi untuk menyikapi penggunaan teknologi informasi dalam proses peradilan pidana.

1 komentar:

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
    BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus

TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG KE BLOG INSPIRASI HUKUM. SEMOGA BERMANFAAT

Yuk chatting :