Prinsip yang melekat dalam rezim laut lepas adalah ”kebebasan” sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 87 Konvensi Hukum Laut Internasional (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS). Menjadi pertanyaan, apakah di wilayah laut lepas (high seas) benar-benar terjadi ”kebebasan” yang sebebas-bebasnya mengingat untuk kegiatan perikanan tangkap saja misalnya, keberadaan nelayan Indonesia di laut lepas perairan Samudera Hindia mengalami tentangan dari IOTC, dan di laut lepas perairan Samudera Pasifik Selatan mengalami tentangan dari CCSBT. Ini dikarenakan, kita tidak ikut dalam kedua perjanjian dan konvensi perikanan regional tersebut.
Sebenarnya makna ”kebebasan” di laut lepas tidak berarti setiap negara dapat seenaknya saja melakukan aktivitas yang hanya menguntungkannya sendiri tanpa mengindahkan kepen-tingan negara lain (baca: masyarakat dunia). Bila kegiatan suatu negara dapat merugikan negara lain, maka makna ”kebebasan” di laut lepas tidak lagi berlaku. Hal ini dikarenakan ada prasyarat yang harus dipenuhi setiap negara sesuai ketentuan-ketentuan hukum internasional.
Dalam konteks ke-indonesiaan, Pemerintah RI harus lebih cerdas dalam membuat aturan yang akomodatif terhadap kegiatan perikanan tangkap di laut lepas, khususnya terhadap perkembangan ketentuan-ketentuan internasional karena hal ini akan membuktikan Indonesia juga mempunyai kepedulian terhadap pengelolaan sumber daya perikanan.
Juga ada tiga perjanjian perikanan regional yang harus diperhatikan, yakni: Agreement for the Establishment of the Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), Convention for the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean, dan Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT). Apabila hal ini diabaikan, maka dikhawatirkan kegiatan perikanan Indonesia dimasukkan ke dalam Illegal Unreported Unregulated (IUU) fishing.
Apakah perundang-undangan Indonesia telah mampu mengakomodasi dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan internasional tersebut? Dan apa yang harus dilakukan?
Perkembangan Laut Lepas
Dalam Konvensi Jenewa Tahun 1958 tentang Laut Lepas disebutkan bahwa laut lepas adalah semua bagian laut yang tidak termasuk laut teritorial (territorial sea) atau perairan pedalaman (internal water) suatu negara. Sementara itu, meskipun UNCLOS 1982 tidak menyebutkan definisi secara jelas, tetapi UNCLOS 1982 mengatakan ketentuan-ketentuan dari laut lepas diberlakukan terhadap semua bagian dari laut yang tidak termasuk di dalam zona ekonomi eksklusif, laut teritorial, laut pedalaman suatu negara atau di dalam perairan kepulauan suatu negara kepulauan (Pasal 86).
Maraknya keberpihakan negara-negara maritim besar yang umumnya berstatus sebagai negara maju terhadap kelestarian sumber daya perikanan di laut lepas, tidak dapat dilepaskan dari keinginan mereka untuk menguasai laut lepas itu sendiri. Dengan alasan kelestarian sumber daya perikanan itulah, negara-negara maju membuat ”jebakan” paling efektif untuk menguasi laut lepas. Oleh karenanya, dibuatlah berbagai aturan dan organisasi yang dapat mengukuhkan hegemoni mereka di laut lepas. Hegemoni negara maju di laut lepas ini lebih tepat dikatakan sebagai neo-kolonialisasi secara halus.
Meski demikian, mau tidak mau, kelestarian sumber daya perikanan harus selalu menjadi perhatian seluruh stakeholder perikanan Indonesia. Makanya pemerintah harus segera menset-up kebijakan perikanan di wilayah laut lepas yang tentu saja dalam penyusunannya melibatkan para nelayan. Misalnya keterlibatan nelayan dalam pembahasan keterlibatan Indonesia dalam Regional Fisheries Management Organization (RFMOs). Hal ini dikarenakan, para nelayanlah yang dirugikan oleh kebijakan RFMOs tersebut.
Sementara itu, fokus perhatian organisasi perikanan internasional dan RFMOs adalah kelestarian ikan-ikan yang selalu bergerak di dua kawasan dan bermigrasi jauh. Keanggotaan RFMOs tidak terlalu mempertimbangkan kedekatan geografis negara, namun lebih memperhatikan di wilayah perairan mana suatu negara melakukan kegiatan penangkapan ikan. Contoh kasus, keterlibatan Jepang pada CCSBT bersama Australia dan Selandia Baru.
Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). 2
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) pasal 53 menyatakan bahwa sebagai negara kepulauan, Indonesia dapat menentukan alur laut untuk lintas kapal dan pesawat udara negara asing yang terus menerus dan langsung serta secepat mungkin melalui atau diatas perairan kepulauannya dan teritorial yang berdampingan dengannya. Berkaitan dengan pengaturan wilayah perairan Rl telah diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2002, tentang hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara asing dalam melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan melalui alur laut kepulauan yang ditetapkan. Sehubungan dengan pembukaan ALKI, kapal-kapal pelayaran internasional baik kapal niaga maupun kapal perang dapat melintas tanpa harus meminta izin terlebih dulu dan kapal selam dapat melintas tanpa harus muncul dipermukaan laut. ALKI yang telah ditetapkan melalui PP No. 37 tersebut, terdiri dari tiga alur yaitu ALKI I, ALKI II dan ALKI III, konsep ALKI ini telah disampaikan Pemerintah Rl kepada International Maritime Organization (IMO) pada tanggal 18 Mei 1998, ketiga AIKI tersebut adalah : 1
1) ALKI I : Rute untuk pelayaran dari Laut Cina Selatan melintasi Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa dan Selat Sunda ke Samudera Hindia atau sebaliknya.
2) ALKI cabang IA : Rute untuk pelayaran dari Selat Singapura melintasi Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa dan Selat Sunda ke Samudera Hindia atau sebaliknya, atau melintasi Laut Natuna ke Laut Cina Selatan atau sebaliknya.
3) ALKI II : Rute untuk pelayaran dari Laut Sulawesi melintasi Selat Makassar, Laut Flores dan Selat Lombok ke Samudera Hindia atau sebaliknya.
4) ALKI IIIA : Rute untuk pelayaran dari Samudera Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai dan Laut Sawu sebelah Barat Pulau Sawu ke Samudera Hindia atau sebaliknya.
5) ALKI Cabang IIIB : Rute untuk pelayaran dari Samudera Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda dan Selat Leti ke Laut Timor atau sebaliknya.
6) ALKI Cabang IIIC : Rute untuk pelayaran dari Samudera Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram dan Laut Banda ke Laut Arafura atau sebaliknya.
7) ALKI Cabang IIID : Rute untuk pelayaran dari Samudera Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai dan Laut Sawu sebelah Timur Pulau Sawu ke Samudera Hindia atau sebaliknya.
8) ALKI Cabang IIIE : Rute untuk pelayaran dari Sulawesi melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai dan Laut Sawu sebelah Barat Pulau Sawu atau Laut Sawu sebelah Timur Pulau Sawu ke Samudera Hindia atau sebaliknya, atau melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Leti dan Laut Timor ke Samudera Hindia atau sebaliknya, atau Laut Seram dan Laut Banda ke Laut Arafura atau sebaliknya.
Wilayah udara dan rute udara Internasional 3
a. Konvensi Chicago tahun 1944 yang merupakan sumber hukum. wilayah udara Indonesia adalah ruangan udara diatas wilayah teritorial dimana berlaku kedaulatan nasional Indonesia secara lengkap sedangkan batas ketinggiannya hingga saat ini belum ada kepastiannya.
b. Masalah GSO (Geostationer Orbit) Space Treaty tahun 1967 mengatakan bahwa antariksa termasuk semua benda langit dinyatakan sebagai kawasan bebas yang tidak boleh dimiliki oleh suatu negara dimanapun di dunia.
c. Operasi penerbangan komersial telah diatur dengan peraturan penerbangan sipil Internasional yang dikeluarkan oleh ICAO (Internasional Civil Aviation Organization) dimana Indonesia menjadi anggota.
d. Alur Udara Kepulauan Indonesia (AUKI). Terdapat 3 AUKI yang berada di atas ALKI, sehingga pesawat terbang baik sipil maupun militer dapat melintas di atas alur tersebut tanpa harus meminta izin terlebih dahulu. Dengan adanya PP No. 37 tahun 2002 tentang ALKI, maka AUKI ini tentunya menyesuaikan pula terhadap rute ALKI
Perbatasan wilayah negara dan yurisdiksi nasional
Wilayah Darat
Perbatasan Rl - Malaysia. 4
Panjang garis batas : ± 2004 km, terdiri dari sektor barat (Kalimantan Barat - Sarawak) dan sektor timur (Kalimantan Timur - Sabah). Penegasan batas bersama dimulai tahun 1975 selesai tahun 2000.
Dasar hukum :
a) The Boundary Convention antara Belanda dan Inggris yang ditandatangani di London tanggal 20 Juni 1891.
b) The Boundary Agreement antara Belanda dan Inggris yang ditandatangani di London tanggal 28 September 1915.
c) The Boundary Convention antara Belanda dan Inggris yang ditandatangani di Hague, tanggal 26 Maret 1978.
d) Memorandum of Understanding antara Rl - Malaysia yang ditandatangani di Jakarta tanggal 26 Nopember 1973.
e) Minute of the First Meeting of the Joint Indonesia-Malaysia Boundary Committee ditandangani di Kinabalu Sabah, Malaysia tanggal 16 Nopember 1974.
f) Minute of the Second Meeting of the Joint Indonesia -Malaysia Boundary Committee ditandatangani di Denpasar, Bali, Indonesia tanggal 7 Juli 1975.
g) Penentuan batas berdasarkan watershed, yaitu garis pemisah aliran/curah air atau lereng tempat air mengalir, merupakan rangkaian punggung gunung.
Penegasan batas Rl - Malaysia terdapat 10 daerah bermasalah sbb:
a) Tanjung Datu, hasil pengukuran leveling bersama Rl-Malaysia tidak sesuai dengan watershed sebagaimana perjanjian 1891, Indonesia dirugikan.
b) Gunung Raya, garis batas Gunung Raya I dan II tidak diakui Malaysia dan watershed tidak dapat ditentukan bersama.
c) Gunung Jagoi/S. Buan, terdapat ketidak sesuaian konvensi tidak dapat diterima kedua belak pihak.
d) Batu Aum, penetapan geometris arah dan jarak sesuai konvensi tidak dapat diterima kedua belah fihak.
e) Titik D 400, hasil survei Rl - Malaysia tahun 1987/1988 tidak menemukan watershed dititik D 400, terjadi overlap area dengan peta Malaysia.
f) P. Sebatik, tugu di sebelah barat P. Sebatik berada pada bagian selatan posisi yang seharusnya, yaitu 4° 10' sehingga Rl dirugikan sekitar 103 Ha.
g) S. Sinapad, muara S.Sinapan berada di sebelah utara dari lintang menurut perjanjian yaitu 4° 20' LU terdapat perbedaan antara konvensi 1891 dengan konvensi 1915 di daerah ini.
h) S. Semantipal, Pihak Malaysia komplain akibat muara sungai ini terletak diatas 4° 20' LU.
i) Titik C 500 - C 600, Malaysia komplain watershed banyak potong sungai bila dilihat pada peta Malaysia sehingga merugikan fihaknya.
j) B 2700 - B 3100, hasil ukuran bersama menunjukkan penyimpangan sehingga Malaysia merasa dirugikan.
Batas RI-PNG. 5
Panjang garis batas ± 770 km, darat 663 km, S. Fly ±107 km, penegasan batas dimulai tahun 1966.
Dasar Hukum:
a) Deklarasi raja Prusia tanggal 22 Mei 1885 tentang perbatasan antara Jerman, Belanda dan Inggris di Irian.
b) Konvensi antara Inggris dan Belanda tanggal 16 Mei 1895 tentang penentuan garis batas antara Irian Jaya dan Papua New Guinea.
c) Persetujuan hasil observasi dan traverse kegiatan lapangan antara Rl - Australia tanggal 4 Agustus 1964 guna melaksanakan kegiatan lapangan tahun 1966 dan 1967.
d) Penentuan batas berdasarkan koordinat astronomis : 141° 00' 00" BT di utara antara MM1 - MM10, 141° 01’10" BTdi selatan antara MM11-MM14.
Permasalahan batas antara Rl - PNG, yaitu : Wara Smoll wilayah NKRI tetapi telah dihuni, diolah dan dimanfaatkan secara ekonomis, administratif serta sosial oleh warga PNG yang sejak dahulu dilayani oleh pemerintah PNG.
Batas Rl - Timor Leste. 6
Panjang batas ± 268,8 km, terdiri dari sektor Timur ± 149,1 km dan sektor Barat ± 119,7 km. Tugu batas belum ada, karena baru tahap delineasi/pelacakan garis batas.
Dasar Hukum.
a) Colonial Boundary Treaty between the Netherlands and Portugal tanggal 20 April 1859.
b) Convention Between the Netherlands and Portugal Relative to Commerce, Navigation, Boundaries and Mutual Right of Preemption in the Timor nad Solor archipelago, pada tanggal 10 Juni 1893.
c) Portoguese - Dutch Declaration, pada tanggal 1 Juli 1893.
d) Convention Between the Netherland and Portugal for Setlement of the Timor boundary pada tanggal 1 Oktober 1904.
e) Penentuan garis batas mengikuti batas alam sesuai dengan perjanjian antara Belanda - Portugal.
Permasalahan.
a) Noel Besi, pihak Rl menginginkan Noel Besi sebagai batas wilayah sesuai toponimi, sedangkan UNTAETmenginginkan sungai Nono Noemna berdasarkan sudut kompas 32° NW ke arah P. Batek.
b) Manusasi,pihak Rl menginginkan garis batas dipindahkan ke arah utara S. Miomafo ditarik dari pilar yang dibuat tahun 1966, menyusuri punggung bukit.
c) Dilumil/Memo, river Island seluas 58 Ha, pihak Rl menginginkan batas berada di sebelah timur river Island sedangkan RDTL di sebelah barat.
Wilayah Laut.
Batas laut Rl dengan negara tetangga menggunakan dasar hukum sebagai berikut: 7
1) Rl - India. UNCLOS 1982, perjanjian garis batas landas kontinen tahun 1974 dan tahun 1977, Keppres 51/74 tanggal 25 September 1974 dan Keppres 26/77 tanggal 4 April 1977.
2) Rl - Thailand. UNCLOS 1982, perjanjian garis batas landas kontinen tahun 1971, persetujuan garis batas dasar laut tahun 1971, Keppres 21/72 tanggal 11 Maret 1972 dan Keppres 1/77 tanggal 11 Desember 1975.
3) Rl - Malaysia. UNCLOS 1982, perjanjian baris batas landas kontinen tahun 1969 (menggunakan Konvensi Geneva 58) dan penetapan garis laut wilayah diselat Malaka tahun 1970, Keppres 89/69 tanggal 15 November 1969 dan UU No. 2/71 tanggal 10 Maret 1971.
4) Rl - Singapura. UNCLOS 1982, perjanjian garis batas laut wilayah tahun 1973, UU No. 7/73 tanggal 8 Desember 1973 (Lembar Negara Rl No. 3018). Perjanjian ini dilakukan sebelum UNCLOS 82.
5) Rl - Vietnam. UNCLOS 1982, perundingan penetapan batas landas kontinen tahun 2003.
6) Rl - Philipina. UNCLOS 1982, penjajakan perundingan tingkat teknis (1994) dan pertemuan informal (2000), pertemuan teknis lanjutan forum Joint Commision Bordering Committee/JCBC (2001). Treaty Of Paris 1898.
7) Rl - Palau . UNCLOS 82, Konstitusi Palau tahun 1979.
8) Rl - PNG. UNCLOS 1982, perjanjian garis batas tertentu (1973) dan persetujuan batas maritim (1982), UU No. 6/73 dan Keppres No. 21/82.
9) Rl - Timor Leste. UNCLOC 82, pertemuan Bali (Desember 2004).
10) Rl - Australia. UNCLOS 1982, perjanjian garis batas landas kontinen (1971), perjanjian penetapan batas dasar laut tertentu (1971), hak perikanan tradisional nelayan Rl (1974), Keppres No. 42/71 dan Keppres No. 66/72.
Permasalahan batas laut dengan negara tetangga. 8
1) Rl-Thailand.
a) Secara sepihak Thailand mengumumkan ZEE berdasarkan Royal Proclamation tanggal 23 Pebruari 1981 berjarak 200 NM dari baselines Thailand dan mengusulkan landas kontinen dengan ZEE berhimpit.
b) Rl berpendapat ZEE mempunyai rejim hukum yang berbeda dengan landas kontinen sesuai UNCLOS 82.
2) Rl - Malaysia.
a) Malaysia mengklaim Blok Ambalat dilaut Sulawesi, dan tidak konsisten dengan UNCLOS 1982, meskipun ZEE belum ditetapkan.
b) Rl berpendapat Blok Ambalat yang berada di Laut Sulawesi masuk dalam wilayah NKRI.
3) Rl - Singapura. Pasir dari Indonesia telah merubah bentuk asli geografi Singapura. UNCLOS 82 memungkinkan negara memanfaatkan harbour work sebagai titik dasar.
4) Rl - Vietnam. Rl belum meratifikasi perjanjian tahun 2003, perairan Laut Cina Selatan mengandung minyak bumi dan gas.
5) Rl - Philipina. Belum ada ketetapan untuk penentuan batas maritim, dimana Indonesia mengusulkan diterapkannya prinsip proporsionalitas panjang pantai, dan median line bagi kawasan yang sempit. Philipina pertimbangkan masalah perikanan sebagai faktor yang relevan untuk mencari solusi yang equitable.
6) Rl - Palau. Belum pernah melakukan perundingan karena belum ada hubungan diplomatik antar kedua negara. Dalam masalah kedaulatan AS bertanggung jawab atas pertahanan Palau dan kemungkinan Palau dibantu oleh AS dalam perundingan penetapan batas maritim.
7) Rl - PNG. Belum ditetapkan luas daerah hukum tradisional nelayan dan bentuk/sifat kegiatannya
8) Rl - Timor Leste. ALKI yang melintas perairan Timor Leste, akses laut untuk diskusi ke Timor Leste PP dan kemungkinan tumpang tindih batas yuridiksi ke dua negara di laut.
9) Rl - Australia. Australia ingin memberlakukan perundingan anti terorisme baru dengan memeriksa semua kapal sampai jauh dari batas yurisdiksinya.
Tata Ruang Wilayah Pertahanan. 9
a. Perencanaan tata ruang yang berkaitan dengan fungsi pertahanan sebagai sub sistem perencanaan tata ruang nasional penyusunannya diatur dalam UU Nomor 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, pasal 14 ayat 3). Pada saat ini sedang dibahas secara Interdep tentang Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), yang merupakan usulan amandemen terhadap RTRWN yang telah ada (PP No.47 tahun 1997) dan di Dephan sedang ditelaah pula materi yang bisa diterima (disinkronkan) dengan materi yang dimuat dalam RPP RTRWN tersebut.
b. Dalam menyusun RUTR Wilhan diperlukan masukan dari RUTR Kodam, RUTR wilayah laut dan udara. Dari penyusunan RUTR Wilhan ini akan disesuaikan dengan RUTR untuk kepentingan kesejahteraan yang disusun oleh Pemda Tk. I maupun Tk. II serta RUTR skala nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar