TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG KE BLOG INSPIRASI HUKUM. KRITIK DAN SARAN AKAN SANGAT MEMBANTU. SEMOGA BERMANFAAT

Kamis, 29 September 2011

AZAS- AZAS BERLAKUNYA UNDANG- UNDANG

1. Azas Retroaktif, bahwa undang- undang tidak berlaku surut.
2. Lex Posterior Derogate Lex Priori, bahwa undang- undang yang berlaku kemudian membatalkan undang- undang terdahulu sejauh itu mengatur hal yang sama.
3. Lex Superior Derogate Legi Inferior, bahwa undang- undang yang dibuat oleh penguasa tinggi mempunyai derajat yang lebih tinggi.
4. Lex Specialis derogate Legi Generalis, bahwa undang- undang khusus mengalahkan undang- undang umum. Selengkapnya...

PENGGOLONGAN HUKUM

A. Berdasarkan Sumber Hukum Formal
1. Hukum UU, yaitu hukum yang tercantum dalam perundang- undangan.
2. Hukum kebiasaan dan hukum adat.
3. Hukum yurisprudensi.
4. Hukum traktat.
5. Hukum perjanjian.
6. Ilmu/ doktrin.

B. Berdasarkan Isi atau Kepentingan yang diatur.
1. Hukum privat,yaitu hukum yang mengatur antar perorangan. Seperti : jual beli, hukum perdata, hukm dagang, hukum adat.
2. Hukum publik, yaitu mengatur hubungan negara dan warga negara. Seperti : hukum pidana, hukum tata negara, hukum internasional, hukum administrasi negara, hukum pajak.

C. Berdasarkan Bentuk.
1. Hukum tertulis, yaitu hukum yang dikodifikasikan. Seperti: KUHP, KUHAP, KUHD,dll.
2. Hukum tidak tertulis, yaitu hukum yang tidak dikodifikasikan. Seperti : hukum adat.
D. Berdasarkan sifatnya
1. Hukum yang memaksa.
2. Hukum yang mengatur.

E. Berdasarkan Cara Mempertahankannya.
1. Hukum material, yaitu hukum yang menurut peraturan- peraturan yang mengatur kepentinagn yang berwujud perintah dan larangan.
2. Hukum formal, yaitu hukum yang memuat peraturan- peraturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan dan mempertahankan hukum materil.

F. Berdasarkan waktu berlakunya.
1. Hukum positif (Ius Constitium).
2. Hukum yan dicita- citakan (Ius constituendum).


Selengkapnya...

Sistematika BW/ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Sumber Perikatan, dan Hubungan Perikatan dengan PMH

1. Sistematika BW/ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Berikut ini adalah sistematika yang dipakai oleh BW/ Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang terdiri dari empat buku, yaitu:
Buku I yang perkepala “Perihal Orang”, memuat hukum tentang diri seseorang dan Hukum Kekeluargaan;
Buku II yang berkepala “Perihal Benda” , memuat hukum perbendaan serta Hukum warisan;
Buku III yang berkepala “Perihal Perikatan”, memuat hukum kekayaan yang mengenaai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
Buku IV yang berkepala “perihal Pembuktian dan Lewat Waktu (Daluwarsa)”


2. Sumber Perikatan

Sebelum membahas sumber perikatan, terlebih dahulu patut diketahui definisi atau pengertian perikatan. Menurut Pitlo, perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi. Dari pengertian tersebut, maka dapatlah diketahui bahawa peri
katan memiliki unsur-unsur, yaitu terdiri dari dua pihak atau lebih, adanya hubungan hukum, dan dalam lapangan hukum harta kekayaan.
Dalam BW/ Kitab Undang-undang Hukum perdata, sumber perikatan dapat ditemukan dalam pasal 1233 yang berbunyi: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan baik karena undang-undang” dari bunyi pasal tersebut, dapat ketahui bahwa, berdasarkan BW sumber perikatan ada dua, yaitu persetujuan (perjanjian) dan undang-undang.
Perebedaan perikatan yang lahir dari Undang-undang dengan perikatan yang lahir dari perjanjian adalah perikatan yang lahir dari undang-undang perikatan tersebut lahir tanpa dikehendaki oleh para pihak, jadi mereka terikat karena kehendak undang-undang, undang-undanglah yang memberi akibat. Sedangkan perikatan yang lahir dari perjanjian, adanya perikatan tersebut beserta akibatnya dikehendaki atau dianggap dikehendaki oleh para pihak.


Selain perjanjian dan undang-undang yang menjadi sumber perikatan sebagaimana yang diatur dalam BW, terdapat sumber perikatan yang ditemukan dari fakta-fakta hukum lainnya. Berikut adalah beberapa fakta-fakta hukum yang dapat melahirkan perikatan:
1. Apabila seseorang dalam surat wasiat membuat suatu legaat, maka pada waktu orang tersebut meninggal timbul suatu perikatan antara para ahli waris dengan legataris dimana yang pertama berkewajiban dan yang kedua berhak.
2. putusan hakim,dimana hakim membenarkan pengakuan penggugat yang tanpa hak atas suatu tuntutan
3. aanbod (contoh pemawaran)

3. Hubungan Perikatan dengan PMH
Pasal 1352 KUHperdata, membagi perikatan yang lahir dari undang-undang menjadi dua macam, yaitu perikatan yang timbul dari undang-undang saja dan perikatan yang timbul dari undang-undang karena perbuatan manusia. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusannya sebagai berikut “perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-undang, timbul dari undang-undang saja, atau dari undang-undang sebagai akibat dari perbuatan orang”
Perikatan yang timbul dari undang-undang kerana perbuatan manusia, oleh undang-undang dibagi lagi menjadi dua, yaitu perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusan pasal 1353 KUHPerdata yang berbunyi “perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melanggar hukum”
Jadi Perbuatan Melawan Hukum merupakan salah satu jenis perikatan yang timbul dari undang-undang kerena perbuatan manusia.


Selengkapnya...

PENUNTUTAN KARENA PMH

Dalam sebuah pelanggaran hukum akan timbul suatu hal yang ganjil dalam masyarakat, dimana keseimbangan sudah tidak ada lagi. Kelurusan kembali paling mudah dapat tercapai, apabila suatu perbuatan melanggar hukum berupa mendirikan hal sesuatu, yang mudah dapat dilenyapkan.
Menurut ketentuan pasal 1365 BW barang siapa melakukan perbuatan melawan hukum dan menimbulkan kerugian ,ia wajib mengganti kerugian tersebut. Dengan penggantian kerugian diharapkan orang yang dirugikan dapat kembali ke keadaan semula.
Pasal 1365 K.U.H. Perdata memberikan kemungkinan beberapa jenis penuntutan yakni antara lain:
1. Ganti kerugian atas kerugian dalam bentuk uang.
2. Ganti kerugian atas kerugian dalam bentuk natura atau pengembalian keadaan pada keadaan semula .
3. Pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah bersifat melawan hukum.
4. Larangan untuk melakukan suatu perbuatan.
5. Meniadakan sesuatu yang diadakan secara melawan hukum.
6. Pengumuman daripada keputusan atau dari sesuatu yang telah diperbaiki.
Untuk mengganti kerugian tidak harus dalam bentuk uang, yang penting dapat dikembalikan dalam keadaan semula. Dikembalikan dalam keadaan semula dapat juga terjadi dengan dikembalikan dalam keadaan sebenarnya.
Orang mempunyai hak untuk menuntut ganti rugi dan hal itu diakui dalam yurisprudensi. Selain itu ia berhak pula untuk meminta kepada hakim agar dinyatakan bahwa perbuatan tergugat merupakan suatu perbuatan melawan hukum. Selain daripada haknya untuk meminta ganti kerugian atau untuk menuntut pengembalian pada keadaan semula (restitution in integrum), maka penderita berwenang untuk mengajukan lain-lain tuntutan, yakni umpamanya untuk menuntut agar pengadilan menyatakan bahwa perbuatan yang dipersalahkan pada pelaku merupakan perbuatan melawan hukum.
Jika seseorang merasa dirugikan, dan dia mengajukan tuntutan. Tuntutan terebut dapat diajukan secara kumulatif dengan ketentuan pembayaran ganti rugi tidak dapat berupa dua jenis ganti kerugian yaitu penuntutan untuk kembali ke keadaan semula dan ganti rugi sejumlah uang. Menurut Meyers tidaklah dapat dilakukan pemecahan yang sama bagi segala persoalan perbarengan tuntutan, melainkan berdasarkan maksud dari ketentuan khusus harus diputuskan apakah ketentuan khusus tersebut akan meniadakan ketentuan umumnya ataukah ketentuan khusus tersebut disamping ketentuan umum berlaku bersama-sama.


Dalam penuntutan ada kalanya kita tidak biSA memakai pasal 1365 BW sebagai dasar penyelesaian karena tidak patut atau ada aturan khusus yang mengaturnya seperti wanprestasi, penipuan, pembunuhan, melukai dan penghinaan.

Selengkapnya...

Syarat - syarat dan Unsur Perbuatan Melawan Hukum

Dalam KUHperdata pasal 1365 syarat2 ganti rugi dirumuskan sebagai berikut:
“Tiap perbuatan melanggar hukum,yang membawa kerugian kepada seorang lain ,mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantibegian tersebut “menurut J satrio SH syarat2 yang ada dalam pasal tersebut bersifat komulatif (artnya keempat syarat hars terpenuhi)
Perbuatan Melawan Hukum” (PMH). Untuk dapat suatu perbuatan dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum harus terpenuhi empat hal, yakni;
1. Harus ada perbuatan, yang dimaksud dengan perbuatan di sini adalah perbuatan baik bersifat positif maupun negatif (penafsiran pasal 1365 KUH Perdata secara luas, J.Satrio).
2. Perbuatan itu harus melawan hukum, dapat berupa;
a) Bertentangan (melanggar) hak orang lain,
b) Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku,
c) Bertentangan dengan kesusilaan,
d) Bertentangan dengan kepentingan umum.
3. Ada kerugian.
4. Ada hubungan sebab-akibat antara perbutan melawan hukum itu dengan kerugian yang timbul.
(body note nanti di ganti foot note ya vin ! J satio, 1992,Hukum Perikatan Yang Lahir Dari Undang-Undang Bgian Kedua,Pt Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal---)
Perkecualian PMH yang hilang sifat Melawan Hukum nya yaitu ada alasan pembenar dan pemaaf(body note; M.A.Moegni Djojodirjo,1982,Perbuatan Melawan Hukum(Tanggung Gugat/Aansrakelijkheid Untuk Kerugian Yang Disebabkan Perbuatan Melawan Hukum)pradnya paramitha, Jakarta, Hlm.59)
Dasar-dasar pembenar (rechtvaardigingsgroden)dapat dibagi dalam 2 golongan
1. dasar pembenar yang berasal dari Undang –Undang yakni keempat dasar2 peniadaan hukuman tersebut
2. dasar pembenar yang tidak berasal dari UU yang karena nya juga disebut dasar dasar pembenar tidak tertulis
menurut moegni alasan pembenar berupa ;

1. keadaan memaksa(overmacht)
overmacht menurut moeghni adalah suatu paksaan yang tidak dapat dielakan lagi yang datangnya dari luar(body note; M.A.Moegni Djojodirjo,1982,Perbuatan Melawan Hukum(Tanggung Gugat/Aansrakelijkheid Untuk Kerugian Yang Disebabkan Perbuatan Melawan Hukum)pradnya paramitha, Jakarta,hal 61)
2. pembelaan terpaksa (noodwer)
pembelaan terpaksa dan keadaan darurat harus dibedakan karena dalam pembelaan terpaksa serangan dengan sengaja yang tidak dapat dielakan lagi(body note; M.A.Moegni Djojodirjo,1982,Perbuatan Melawan Hukum(Tanggung Gugat/Aansrakelijkheid Untuk Kerugian Yang Disebabkan Perbuatan Melawan Hukum)pradnya paramitha, Jakarta,hal 62)
3.melaksanakan ketentuan UU(weettelijke voorschrift)
Menurut moegni melaksanakan ketentuan UU bukanlah merupakan dasar pembenar yang berasal dari UU (body note; M.A.Moegni Djojodirjo,1982,Perbuatan Melawan Hukum(Tanggung Gugat/Aansrakelijkheid Untuk Kerugian Yang Disebabkan Perbuatan Melawan Hukum)pradnya paramitha, Jakarta,hal 63)
3. Perintah jabatan (ambtelijk bevel)
Menurut rutten setiap orang yang haruskan menaati perintah akan dapat mencari dasar pada sesuatu perintah jabatan dengan pengertian, tidak adanya hubungan atasan dan bawahan. (body note; M.A.Moegni Djojodirjo,1982,Perbuatan Melawan Hukum(Tanggung Gugat/Aansrakelijkheid Untuk Kerugian Yang Disebabkan Perbuatan Melawan Hukum)pradnya paramitha, Jakarta,hal 65)

Selengkapnya...

PERBUATAN MELAWAN HUKUM (Istilah, Pengaturan, Pengertian)

Istilah
• Dalam pergaulan kehidupan sehari- hari di masyarakat, kita sering mendengar kata- kata “ anda telah melakukan perbuatan melawan hukum”. Tetapi pada faktanya banyak orang yang tidak tahu apa arti dari perbuatan melawan hukum itu sendiri. Meskipun istilah " perbuatan melawan hukum " hanya diatur dalam beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (hal demikian terjadi juga di negara-negara yang menganut sistem Eropa Kontinental lainnya), tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan, bahwa gugatan atau tuntutan perkara perdata yang ada di pengadilan di Indonesia didominasi oleh gugatan perbuatan melawan hukum, di samping gugatan atau tuntutan tentang wanprestasi dalam perjanjian kontrak.
• Pasal 1365 KUHPerdata
“ tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

PMH, terjemahan dari onrechtmatige daad, para ahli hukum berbeda istilah “ Perbuatan Melawan Hukum” (Moegni Djojodirjo) dan “Perbuatan Melangggar Hukum” (Wirjono Prodjodikoro). Alasan Moegni istilah Belanda tersebut mempunyai arti sempit karena hanya dipakai dalam pasal 1365 dan penafsirannya. Di dalam kuliah menggunakan istilah Perbuatan Melawab Hukum (PMH).

Pengaturan
• Diatur dalam pasal 1365 s.d. 1380 KUHPerdata.




Pengertian
• Dinamakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada umumnya. Hukum bukan saja berupa ketentuan- ketentuan undang-undang, tetapi juga aturan- aturan hukum tidak tertulis, yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat.
• Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam ps. 1365 sampai dengan pasal 1380 KUHPerdata. Pasal ini tidak mengatur istilah atau urusan PMH, tetapi pasal 1365 ini hanya mengatur syarat- syarat pengajuan tubtutan ganti kerugian karena PMH.
• Dan timbul penafsiran/ ajaran secara sempit dan luas.

Sempit: dianut oleh Land dan Simon, onrechtmatigedaad = onwetmatigedaad, yaitu bertentangan dengan wattelijkrecht / kewajiban hukumnya sendiri.
Luas : perbuatan melawan hukum merupakan suatu perbuatan atau kealpaan, yang atau bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukuim si pelaku atau bertentangan baik dengan kesusilaan baik, maupun dengan sikap hati- hati yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda.


Selengkapnya...

PERBEDAAN PEMANFAATAN ZEE ANTARA NEGARA BERPANTAI DENGAN NEGARA TIDAK BERPANTAI

Perbedaan Pemanfaatan ZEE Antara Negara Berpantai Dengan Negara Tidak Berpantai

Konsep ZEE yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut III/1982 secara keseluruhan telah membentuk hubungan-hubunmgan baru di antara negara-negara dalam pemakaian SDA hayati laut, riset ilmiah dan pencegahan terhadap pencemaran laut. Perubahan yang paling mendasar dari konsep ZEE ini terjadi dalam hal pembagian tradisional antara laut teritorial yang merupakan zona kedaulatan negara pantai dan laut lepas yang terbuka untuk semua bangsa. Perubahan tersebut membawa implikasi tersendiri dalam bidang Hukum Laut Internasional, diantaranya adalah munculnya perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi diantara para penulis dan ahli Hukum Internasional perbedaan- perbedaan tersebut dapat dimaklumi karena konsep ZEE merupakan dasar hukum yang menentukan hubungan antara hak-hak serta kepentingan dari negara pantai dan semua negara dalam pemakaian ZEE.

Pasal 69 KHL III/1982 telah memberikan ketentuan mengenaihak-hak negara tidak berpantai di wilayah ZEE suatu negara. Pengaturan negara tidak berpantai ini dimaksudkan agar negara tersebut meskipun tidak memiliki laut, namun dapat berpatisipasi secara adil mengelola bagian dari surplus perikanan negara pantai. Hak-hak tersebut dilaksanakan dengan mempertimbangkan keadaan ekonomi dan geografi dari negara tidak berpantai dan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konservasi Sumber Kekayaan Hayati (Pasal 61) dan pemanfaatan sumber kekayaan hayati (Pasal 62). Partisipasi iniharus didasarkan pada region atau sub region yang sama, yaitu wilayah yang secara geografis dibagi dibawah Komisi Regional PBB atau wilayah laut menurut FAO.
Secara umum, dalam memberikan kesempatan untuk berpatisipasi kepada negara lain, negara pantai harus mempertimbangkan berbagai faktor, diantaranya adalah arti penting dari sumber kekayaan hayati bagi perekonomian nasionalnya dan ketentuan Pasal 69 tentang hak negara tidak berpantai dan Pasal 70 tentang hak negara secara geografis tidak diuntungkan.

Salah satu perbedaan antara negara tidak berpantai dengan negara lainnya dalam hal pemanfaatan ZEE adalah persoalan prioritas dalam bidang penangkapan ikan, sedang menyangkut hak lain yang dimiliki oleh negara tidak berpantai yaitu penerbangan, pelayaran, pemasangan pipa, dan kabel bawah laut dan riset ilmiah tidak ada perbedaan sepanjang hak-hak tersebut dilakukan dengan cara-cara dan tujuan damai. Artinya selain hak dalam hal penangkapan ikan, negara tidak berpantai memiliki hak yang sama dengan negara-negara lainnya. Perbedaan yang berlaku bagi negara tidak berpantai dalam bidang penangkapan ikan yang dimaksud adalah seperti yang tercantum dalam Pasal 62 Ayat 2 KHL III/1982 :
”.............memberikan kesempatan kepada negara lain untuk memanfaatkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan yang tersisa dengan memperhatikan secara khusus ketentuan Pasal 69 dan Pasal 70, khususnya yang berkaitan dengan negara berkembang.”
Kata khusus yang tertulis dalam pasal tersebut menrut Hanung Kuncoro berarti bahwa negara tidak berpantai memiliki kesempatan lebih besar dibanding dengan negara lainnya. Namun demikian, sebelum hak mengakses ZEE diberikan, terlebih dahului negara pantai harus menetapkan jumlah tangkapanyang diperbolehkan (JTB) seperti yang tercantum dalam pasal 61 ayat 1. penentuan JTB di wilayah ZEE suatu negara dilakukan agar terjadi keseimbangan sumber kekayaan hayati laut dan menghindari punahnya jenis ikan tertentu karena frekuensi penangkapan ikan yang berlebihan.

Setelah JTB ditentukan, selanjutnya negara pantai diharuskan untuk melakukan pemanfaatan secara optimal sesuai dengan Pasal 62 Ayat 1. pelaksanaan sumber kekayaan hayati ZEE ini tentunya diutamakan untuk kepentingan nasionalnya baik yang bersifat ekonomis maupun kepentingan lainnya seperti peningkatan gizi masyarakat dan kepetingan konservasi. Jika dalam pelaksaannya negara pantai tidak dapat memanfaatkan JTB secara optimal, maka sisanya dialokasikan kepada negara lain terutama negara tidak berpantai dan negara yang secara geografis tidak diuntungkan yang sedang berkembang. Adapun negara pantai dapat memanfaatkan seluruh JTB, maka menurut KHL III/1982 harus dibuat suatu peraturan yang adil sehingga negara tidak berpantai tetap dapat memanfaatkan kekayaan hayati ZEE.
Kesempatan untuk mengakses surplus dari JTB bagi negara tifak berpantai tidak diperoleh secara otomatis, namun terkait dengan perjanjian atau suatu peraturan yang dapat dilakukan antara negara pantai dengan negara tidak berpantai di region atau sub-region yang sama seperti Asean Fisheris Federation (AFF) yang merupakan perjanjian yang ditandatangani oleh perusahaan-perusahaan perikanan ASEAN untuk pertukaran informasi tentang masalah perikanan. Ketentuan-ketentuan KHL III/1982 dapat digolongkan sebagai ketentuan dsar bagi negara-negara pantai tentang bagaimana melaksanakan kewajiban pemanfaatan secara optimum dari sumber perikanan ZEE. Dalam kaitan ini dapat disimpulkan bahwa hak berdaulat negara pantai atas sumber perikanan di ZEE harus dikaitkan dengan kewajiban negara pantai untuk melaksanakan konservasi dan pemanfaatan optimum dari sumber perikanan. Meskipun KHL III/1982 merupakan pedoman bagi negara berpantai dalam mengelola ZEE, namun dalam prakteknya akses bagi negara lain terutama negara tidak berpantai sangat bergantung kepda kebijakan nasional negara pantai yang bersangkutan. Negara pantai dapat memberikan akses kepada negara asing jika negara asing tersebut dianggap sesuai dengan kebijakan nasional mereka dalam bidang perikanan yang ditetapkan berdasarkan kepentingan perekonomian negara tersebut.
Kebijakan seperti ini tentunya akan sangat merugikan negara tidak berpantai yang ebagian besar adalah negara berkembang. Dalam kaitannya dengan persoalan ii, Gulland dan Miles berpendapat bahwa praktek dari Pasal 69 ayat 1dan Pasal 70 ayat 1mengalami hambatan disebabkan karena beberapa faktor :
1. kompleksitas perkembangan populasi ikan, perubahan stok yang terjadi secara tiba-tiba tentu mempengaru akurasi bilangan JTB.
2. kepentingan negara Pantai. Tampaknya faktor ini dijadikan senjata ampuh oleh negara pantai untuk menolak pemberian akses, terlebih Pasal 62 ayat 3 dengan tegas meyatakan bahwa faktor kepentingan nasional baik yang bersifat ekonomi maupun yang bersifat non ekonomi dapat dijadikan dasar pertimbangan pemberian akses, jika negara pantai itu sangat bergantung pada potensi ekonomi yang berasal dari sumber daya alam ZEE.
3. kadar hubungan kedekatan bilateral antara negara pantai (pemberi akses) dengan negara penerima akses. Faktor inimenimbulkan subjektivitas yang tidak dapat dihindarkan. Subjektivitas itu muncul tidak hanya dalam pemberian akses tetapi berkaitan juga dengan hal yang melatarbelakangi penentuan adanya surplus. Misalnya negara pantai akan enggan mengajak negara yang hubungannya kurang dekat untuk diajak melakukan riset bersama tentang populasi SDA hayati ZEE. Karena jika negara tersebut diajak riset, maka data kongkrit tentang populasi SDA hayati ZEE nya akan diketahui dan akan dijadikan dasar untuk menuntut pemanfaatan surplus di belakang hari.

Menurut Bmbang Sumantri, Staf Perzinan Kapal Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan, faktor lain yang menyebabkan negara pantai tidak memberikan akses kepada negara tidak berpantai adalah karena negara tidak berpantai yang ada selama ini tidak aktif menuntut hak mereka. Sebagai contoh, dikawasan Asia Tenggara, Laos merupakan satu-satunya negara yang tidak memiliki pantai, namun Laos belum pernah menuntut haknya untuk berpatisipasi memanfaatkan surplus dari negara pant ai tetangganya. Alasan yang dikemukakan oleh pemerintah Laos menyangkut pasifnya negara tersebut dalam kesiatan penangkapan ikan di ZEE adalah karena kebijakan nasionalnya belum memprioritaskan hal tersebut. Akibatnya, kebutuhan terhadap pasokan ikan laut untuk meningkatkan gizi masyarakatnya hanya dilakukan dengan cara impor.
Praktek yang dilakukan negara-negara pantai mengenai prioritas hak yang diberikan negara tidak berpantai tidak dapat berjalan dengan baik bahkan cenderung mengabaikan ketentuan KHL III/1982. kenyataan menunjukan bahwa di kawasan Asia belum ada satupun negara tidak berpantai yang mengambil surplus dari JTB disebuah negara pantai. Sebagian besar negara pantai di Asiabahkan melakukan kebijakan menjual surplus, termasuk Indonesia. Menjual dalam hal ini diartikan memberikan jatah surplus kepada negara yang berani memberi ikan dengan harga tinggi. Jika kenyataan yang terjadi seperti ini, maka hanya negara tertentu saja yang dapat memanfaatkan sisa dari stok perikanan di ZEE negara lain yaitu negara yang statusnya lebih kaya dibanding dengan negara tidak berpantai. Sementara itu negara tidak berpantai tidak dapat bersaing karena sebagian besar adalah negara berkembang, bukan negara kaya.
Selain persoalan prioritas, perbedaan lain yang berkaitan dengan hak negara negara tidak berpantai di ZEE adalah kewajiban untuk menentukan pelabuhan akses tempat bersandarnya kapal melalui sebuah perjanjian. Ketentuan ini dimuat dalam surat perjanjian antara negara pantai dengan negara tidak berpantai. Surat perjanjian itu harus ditunjukan oleh negara tidak berpantai sebelum membuat perjanjian perikanan dengan negara berpantai. Selain dua perbedaan tersebut/prioritas hak dan tempat bersandarnya kapal, tidak ada lagi hal yang bersifat prinsip yang membedakan pelaksanaan hank antara negara tidak berpantai dan negar pantai di ZEE.
Praktek yang dilakukan oleh negara-negara pantai dalam hal pemanfaatan surplus perikanan yang ada di ZEE nya sangat bertolak belakang dengan ketentuan Pasal 69 KHL III/1982. jika mengamati pendapat Gulland dan Miles di atas, maka kesempatan negara tidak berpantai untuk menikmati surplus di ZEE negara pantai sangat dipengaruhi oleh politk ekonomi negara pantai. Dapat dimaklum jika negara berkembang seperti Indonesia lebih memilih negara yang masuk dalam kategori mampu membeli izin penangkapan ikan sesuai dengan harga yang diharapkan. Sedangkan negara tidak berpantai yang sebagian besar pertumbuhan ekonominya di bawah Indonesia (seperti Laos) kemungkinan besar tidak mampu membeli izin penangkapan ikan di Indonesia karena ada negara lain seperti Thailand, Taiwan dan Filipina yang mampu membayar dengan harga lebih tinggi. Tentunya hal ini akan lebih menguntungkan secara ekonomi bagi Indonesia. Selain itu, jika negara pantai menjual surplusnya kepada negara yang mampu, ada kemungkinan mendapat kompensasi lain yang lebih baik melalui perjanjian timbal balik.
Selain itu, proses perjanjian perikanan antara negara tidak berpantai dengan negara pantai lebih rumit karena negara tidak berpantai harus mengawalinya dengan membuat perjanjian pendahuluan dengan negara tetangga, yaitu perjanjian tentang pembuatan pelabuhan akses atau pelabuhan singgah bagi kepalanya, maka perjanjian perikanan dapat dibuat. Proses pembuatan perjanjian ini tentunya lebih rumit dibandingkan dengan perjanjian yang dibuat di antara negara pantai yang satu dengan yang lainnya.
Saat ini pemerintah Indonesia telah memberikan kesempatan kepada pihak asing untuk memanfaatkan sumber daya perikanan di ZEEI. Data yang tercantum pada departemen kelautan dan perikanan menunjukan bahwa tahun 2002 pemerintah Indonesia telah menentukan bahwa jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) dikawasan ZEEI sebanyak 1,5 juta ton dari potensi keseluruhan.

Selengkapnya...

ZONA EKONOMI EKSLUSIF (ZEE)

Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982) memberikan dasar hukum bagi negara-negara pantai untuk menentukan batasan lautan sampai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen. Dengan dasar inilah suatu negara memiliki wewenang untuk mengeksploitasi sumber daya yang ada di zona tersebut, terutama perikanan, gas bumi, minyak dan berbagai bahan tambang lainnya.
Zona ekonomi eksklusif adalah suatu daerah diluar dan berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rezim hukum khusus yang ditetapkan berdasarkan mana hak-hak dan yuridiksi negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan negara lain (Pasal 55 UNCLOS 1982). Lebar zona ekonomi eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur (pasal 57 UNCLOS 1982). Bila negara pantai mempunyai kedaulatan penuh atas laut wilayahnya dan sumber-sumber kekayaan alam yang terkandung didalamnya, terhadap zona ekonomi eksklusif, hanya memberikan hak-hak berdaulat kepada negara pantai untuk keperluan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah dibawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin (Pasal 56, UNCLOS 1982).

Selanjutnya dalam pelaksanaan hak-hak berdaulat tersebut negara-negara pantai juga dapat mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu seperti pemeriksaan, penangkapan kapal-kapal maupun melakukan proses peradilan terhadap kapal-kapal yang melanggar ketentuan-ketentuan yang dibuat negara pantai (Pasal 73 UNCLOS 1982).
Dengan demikian hak-hak berdaulat negara pantai tadi tidak hanya sekedar hak saja tetapi juga dilengkapi dengan ketentuan-ketentuan hukum untuk menjamin pelaksanaan hak-hak tersebut. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa negara pantai dapat berbuat semaunya terhadap zona ekonomi tersebut atau meletakkan zona laut itu dibawah kedaulatannya seperti kedaulatan di atas laut wilayah.

Selengkapnya...

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL

Konsepsi Hukum Laut Internasional pertama kali muncul di Eropa tepatnya ketika Imperium Romawi menguasai seluruh tepian Laut Tengah. Peraturan- peraturan hukum laut yang dikemukakan oleh Rhodes pada abad II atau III sebelum masehi sangat berpengaruh di laut tengah karena prinsip- prinsipnya diterima dengan baik oleh orang Yunani dan Romawi. Kitab undang- undang Rhodes yang dikeluarkan pada abad V sebelum masehi oleh orang- orang Romawi sepenuhnya didasarkan atas peraturan hukum laut yang pernah dibuat Rhodes. Pada abad XIV di kawasan laut tengah terhimpun sekumpulan peraturan hukum laut yang dikenal dengan Consolato Del Mare yang merupakan seperangkat ketentuan hukum laut yang berkaitan dengan perdagangan. Pada bagian dunia lain dikenal kitab undang- undang Asilka sekitar abad VII, kitab undang- undang Orelon di daerah Prancis barat dan kitab undang- undang dari Wisby di wilayah Eropa Utara.

Sejarah telah mencatat bahwa Kerajaan Romawi adalah salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di dunia. Kerajaan ini terkenal memiliki angkatan perang dan barisan pertahanan yang sangat tangguh. Karena itu, penguasaan seluruh tepian laut tengah pada masa itu menjadi wajar. Setelah menguasai laut tengah selanjutnya Romawi mempersilahkan kepada bangsa lain untuk mempergunakan laut tengah secara damai. Karena dipergunakan oleh banyak bangsa di dunia, maka laut tengah pada saat itu menjadi jalur perdagangan yang ramai dan bebas dari bajak- bajak laut karena pengawasan dari angkatan perang Romawi cukup ketat.

Memasuki abad pertengahan, munculah klaim- klaim yang dilakukan oleh negara- negara yang sebelumnya merupakan bagiam dari kekuasaan Romawi. Negara- negara tersebut minuntut penguasaan atas laut yang berbatasan dengan pantainya. Diawali oleh Venetia yang menuntut sebagian besar Laut Adriatik untuk dijadikan daerah kekuasaannya. Tuntutan dari Venetia ini diakui oleh Paus Alexander III pada 1177. Setelah tuntutannya terpenuhi, Venetia memberlakukan pungutan bea terhadap setiap kapal yang berlayar disana. Selanjutnya Genoa melakukan klaim atas kekuasaan Laut Ligunia dan Negara Pisa yang mengklaim dan memberlakukan aturan hukumnya di Laut Thyrrenia. Setelah tuntutan dari ketiga negara tersebut terpenuhi, selanjutnya masing- masing negara tersebut membuat aturan pemungutan bea terhadap setiap kapal yang berlayar disana. Tiga negara diatas hanya sebagai contoh kecil negara- negara di tepian laut setelah runtuhnya Imperium Romawi.

Banyaknya klaim atas kekuasaan laut pada saat itu menimbulkan banyak pertentangan bahkan peperangan yang menyebabkan wilayah laut yang sebelumnya utuh dibawah kekuasaan Romawi terbagi menjadi beberapa bagian yang dimiliki oleh negara- negara tertentu. Fenomena ini menyebabkan laut tidak lagi merupakan Res Communis Omnium ( hak bersama seluruh umat ) namun telah terjadi laut tertutup yang dikuasai oleh suatu negara. Tindakan sepihak dari negara- negara pantai di Laut Tengah untuk menguasai laut ini menimbulkan kebutuhan untuk mencari kejelasan dan kepastian hukum. Kebutuhan untuk menyusun suatu teori hukum tentang status negara pantai terhadap laut menyebabkan para ahli hukum Romawi yang biasa disebut Post Glossator atau komentator mulai bekerja keras mencari penyelesaian hukumnya yang didasarkan atas asas dan konsepsi hukum Romawi. Pada perkembangan selanjutnya muncullah teori pembagian wilayah laut yang dikemukakan oleh Bartolus dan Raldus.

Pada masa pembentukan Hukum Laut Internasional ini terjadi perjuangan untuk menguasai lautan berdasarkan berbagai alas an dan kepentingan seperti karantina ( perlindungan kesehatan terutama terhadap penyakit pes), bea cukai dan pertahanan. Pada waktu yang bersamaan terjadi adu argumentasi diantara para penulis atau ahli hukum yang masing- masing mempertahankan dan membenarkan tindakan- tindakan yamg dilakukan oleh negara atau pemerintahnya masing- masing.

Salah satu perbedaan pendapat yang paling terkenal adalah yang terjadi antara penganut doktrin bebas (Mare Liberium) yang dikemukakan oleh seorang ahli hukum Belanda yaitu Hugo De Groot dan penganut dokrtin laut tertutup (Mare Clausum) yang dikemukakan oleh John Shelden. Hugu De Groot dalam bukunya yang berjudul Mare Liberum mengatakan bahwa laut tidak dapat dimiliki oleh bangsa manapu karena itu semua orang dapat dengan bebas mengakses dan memanfaatkan sumber daya laut. Sedangkan Shelden berpendapat bahwa laut dapat dimiliki. Shelden menunjuk pada praktek negara- negara yang menerapkan kedaulatan perairan mereka seperti Swedia, Rusia, Jerman, Genoa dan Venetina. Periode ini dalam sejarah hukum laut dikenal dengan jaman pertempuran buku- buku. Hal ini desebabkan para pemikir dan ahli hukum saling berlomba untuk mempublikasikan pendapatnya dengan menulis buku. Dalam waktu yang tidak lama muncul pendapat dari Pontanus, seorang sarjana Belanda yang bekerja pada Dinas Diplomatik Denmark yang mengemukakan teori pembagian wilayah laut yaitu laut yang berdekatan dengan panti dan dapat dimiliki dan diluar itu merupakan laut bebas yang tidak dapat dimiliki.

Polemik antara penganut mare liberum dan mare clausum kemudian diakhiri oleh Cornelis Von Bynkershoek dalam karyanya De Dominia Maris Disertasio. Bynkershoek mengadakan asimilasi wilayah daratan dengan laut yang bersambung dengan pantai. Gagasan terkenal Bynkershoek menyatakan bahwa kedaulatan negara berakhir sampai sejauh tembakan meriam yang ketika itu bias mencapai jarak 3 mil laut. Pendapat yng berkembang diantara ahli hukum klasik akhir abad XIX ialah salah satu antara Mare Clausum dan Mare Liberum. Hukum perikanan internasional klasik secar rasional yuridis lebih mendukung gagasan Grotius ( Mare Liberum).

Dengan terbentuknya Liga Bangsa- Bangsa setelah perang dunia I dan dalam tahun- tahun permulaan dari Perserikatan Bansa- Bangsa terjadi perkembangan hukum yang merupakam gabungan antara filsafat klasik dan Neo klasik atau Neo Grotius. Madzhab Neo- Grotius menunjuk pada gabungan antara gagasan klasik dari Hukum Perikanan dan kebutuhan Hukum Internasional untuk melaksanakan diplimasi dan birokasi dari organisasi internasional.. selanjutnya terjadi penambahan lembaga baru di tuguh PBB yaitu International Law Commision yang bertugs untuk mempersiapkan berbagai konsep pembaharuan dan kodifikasi Hukum International. Konferensi Hukum Laut PBB I tahun 1958 (UNCLOS I) adalah produk perkembangan Hkum Internasional Neo- Klasik. Pada tahun 1960 diselenggarakan konferensi Hukum Laut PBB II (UNCLOS II). Dalam UNCLOS I dan II belum ada kesepakatan penting tentang lebar laut teritorial maupun zona perikanan sehingga praktek dari negara- negara pantai pada saat itu masih menggunakan peraturan masing- masing. Ketidakpastian tentang legalitas hukum laut di tahun 1960 dipengaruhi oleh keadaan politik dunia pada waktu itu yang mengakibatkan beberapa Konferensi Jenewa yang mengatur laut tidak lagi sesuai dengan perkembangan keadaan.
Pada tahun 1973 dimulailah Konferensi Hukum Laut III dan ditutup pada 10 Desember 1982 dan menghasilkan beberapa aturan yang sangat substansial dalam bidang Hukum Internasional terutama Hukum Laut diantaranya adalah tentang lebar maksimum laut teritorial sejauh 12 mil laut, Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE).

Selengkapnya...

TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG KE BLOG INSPIRASI HUKUM. SEMOGA BERMANFAAT

Yuk chatting :