TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG KE BLOG INSPIRASI HUKUM. KRITIK DAN SARAN AKAN SANGAT MEMBANTU. SEMOGA BERMANFAAT

Sabtu, 23 April 2011

GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK MASYARAKAT (CLASS ACTION)

GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK MASYARAKAT (CLASS ACTION)

I. PENDAHULUAN
Konsep gugatan perwakilan masyarakat (Class Action) pada mulanya hanya dikenal di negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon atau Common Law system, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Untuk pertama kali gugatan Class Action diatur dalam Supreme Court Judicature Act pada tahun 1873 di Inggris. Kemudian, konsep tersebut diadopsi oleh Amerika Serikat dan dituangkan dalam United State Federal Rule of Civil Procedure pada tahun 1938. Pada tahun 1966 dinyatakan secara eksplisit dalam Pasal 23 dari US Federal Rule of Civil Procedure tersebut, khususnya yang mengatur tentang prosedur gugatan Class Action.
Istilah gugatan Class Action, selanjutnya disebut gugatan CA, mulai dikenal dalam hukum acara perdata di Indonesia sejak diundangkannya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, kemudian dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan lebih lanjut dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tetapi, apa pengertian, makna dan tujuan serta bagaimana mekanisme gugatan CA tersebut belum banyak dipahami dan dimengerti dengan benar oleh kalangan hukum (para praktisi hukum, akademisi hukum, termasuk para mahasiswa hukum) apalagi oleh masyarakat luas di Indonesia.
Makalah yang bersahaja ini mencoba untuk menjelaskan pengertian, makna dan tujuan, serta mekanisme gugatan CA dalam persepktif teori menurut sistem hukum acara perdata dan implementasinya dalam praktik peradilan, dengan menampilkan kasus-kasus konkrit di Indonesia maupun di negara-negara penganut sistem hukum Anglo-Saxon (Common Law System).II. GUGATAN CLASS ACTION: SEJARAH PERKEMBANGAN DAN KASUS-KASUS DI BEBERAPA NEGARA
Dari perspektif sejarah, konsep gugatan perwakilan kelompok masyarakat (class action) pertama kali dikenal di Inggris yang menganut Common Law System. Sejak diberlakukannya Supreme Court Judicature Act pada tahun 1873 di Inggris, gugatan Class Action (CA) disidangkan pada Supreme Court. Namun, sebelum tahun 1873 gugatan CA hanya dapat disidangkan pada Court of Chancery. Kemudian, gugatan CA diadopsi dan dikembangkan lebih lanjut di Amerika Serikat, Kanada, dan Australia dengan menggunakan konsep dan praktik-praktik peradilan yang berlangsung di Inggris.
Pasal 10 Rule of Procedures gugatan CA dalam Supreme Court of Judicature Act tahun 1873 menyatakan :
Where there are numerous parties having the same interest in one action, one or more of such parties may sue or be sued or may be authorized by the court to defend in such action on behalf of or for the benefit of all parties so interested.
R

umusan gugatan CA seperti di atas kemudian diadopsi ke dalam Rule 23 the United State Federal Rules of Civil Procedures (Amerika Serikat), The Federal Court of Australia Act (Australia), dan The Quebec Law Respecting the Class Actions (Quebec, Kanada), dan juga dalam pengaturan gugatan CA di negara-negara lain seperti : Rule 13 Part 8 The Rules of Supreme Court (New South Wales, Australia), dan Order 1 Rule 8 India Code of Civil Procedure tahun 1908 kemudian direvisi pada tahun 1976 (India).
Mahkamah Agung Filipina pada tahun 1993 juga mengakui prosedur gugatan CA dalam kasus sengketa lingkungan Minor Oposa. Kasus ini melibatkan penggugat yang terdiri dari 14 anak-anak di bawah umur (minor) yang didampingi oleh para orang tua mereka mengajukan gugatan terhadap Menteri Lingkungan Hidup Filipina (Secretary of the Department of Environment and Natural Resources/DENR) mengenai pembatalan ijin penebangan hutan (logging) dengan mengatasnamakan kelompok penggugat dan sekaligus generasi mendatang yang memiliki kepentingan dan kepedulian yang sama bagi kelestarian hutan di Filipina.
Di Amerika Serikat, reformasi hukum untuk memasukkan konsep gugatan CA mulai dilakukan pada tahun 1966, dengan melakukan perubahan dan penambahan Pasal 23 mengenai gugatan CA dalam hukum acara perdata pada tingkat Federal. Pada tahun 1975 prosedur gugatan CA diadopsi dan diatur dalam New York Civil Procedure Law and Rules. Dalam United State Uniform Class Actions Act, sebuah UU mengenai pengaturan gugatan CA yang diadopsi oleh The National Conference of Commissioners on Uniform State Laws mensyaratkan bahwa prosedur sertifikasi awal dan pemberitahuan (notice) merupakan syarat yang wajib dipenuhi untuk menetapkan apakah gugatan yang diajukan kelompok masyarakat menjadi gugatan CA atau hanya gugatan biasa.
Kasus-kasus gugatan CA yang menarik perhatian publik di Amerika Serikat antara lain kasus Agent Orange (1987), kasus Dalkon Shield (1989), dan kasus the Smokers versus Tobacco Companies (1997).
Kasus Agent Orange (1987) adalah gugatan CA yang diajukan oleh lebih dari seribu kaum veteran perang Vietnam terhadap pabrik kimia beracun yang memproduk defoliant sebagai senjata dalam perang Vietnam. Penggugat mendalilkan bahwa bahan kimia beracun defoliant yang disebut agent orange (salah satu jenis dioxin) menimbulkan cacat fisik dan trauma psikologis yang serius bagi para penggugat. Kendati kemudian gugatan ini memerlukan pembuktian yang kompleks, hakim pengadilan pada akhirnya memutuskan untuk memenuhi gugatan CA penggugat dengan pemberian kompensasi sejumlah US $ 250.000.000, yang didistribusikan dalam 2 bentuk, yaitu : (1) pemberian santunan secara tunai dan langsung kepada para penggugat (class members), dan (2) memberi pelayanan rehabilitasi dan perawatan kesehatan bagi para korban perang Vietnam yang telah dikenali maupun yang belum dikenali (future claimants). Sedangkan, kasus
Kasus Dalkon Shield adalah gugatan CA yang diajukan para penggugat terhadap perusahaan yang memproduk kontraseptif (intrautrine contraceptive device). Alat kontraseptif ini ternyata menimbulkan sterilitas para penggunanya dan cacat pada bayi yang dilahirkan para ibu yang menggunakan kontraseptif tersebut. Gugatan CA ini dimenangkan oleh para penggugat dengan pemberian ganti rugi dalam bentuk uang kepada kelompok penggugat.
Sedangkan, kasus Smokers versus Tobacco Companies (1977) adalah gugatan CA Norma Broin (42 tahun) mantan pramugari American Airlaines yang menderita kanker paru-paru karena menjadi perokok pasif (secondhand smoker) selama bertugas sebagai pramugari. Ia mewakili dirinya sendiri dan teman-teman sekerjanya yang menderita maupun belum terkena kanker paru-paru. Pengadilan Negeri Miami, Florida memutuskan kepada perusahaan-perusahaan rokok membayar sebanyak US $ 300.000.000 untuk melakukan studi tentang penyakit-penyakit yang disebabkan oleh rokok (study of tobacco related disseases), sedangkan kompensasi untuk dirinya sendiri (individual compensation) tidak dikabulkan pengadilan.
Gugatan CA juga diimplementasikan dalam kasus Bhopal di India. Pemerintah India mengajukan gugatan CA dengan mengatasnamakan seluruh korban kebocoran gas beracun atas dasar Bhopal Gas Leak Disaster (Processing of Claims) Act 1985. Selain itu, prosedur gugatan CA juga pernah diterapkan dalam kasus Ganga Pollution (Tanneries) yang diajukan seorang penduduk India kepada perusahaan-perusahaan industri yang membuang limbahnya ke sungai Gangga. Dalam kasus Ganga Pollution, pengadilan melalui surat kabar kemudian memanggil seluruh pengusaha industri yang membuang limbahnya ke sungai Gangga untuk menjawab gugatan atas pencemaran sungai yang dilakukan. Instansi pemerintah lokal (wilayah India Utara) dan pengusaha-pengusaha yang digugat kemudian mengajukan counter affidavits di pengadilan untuk menjelaskan bahwa limbah yang dibuang ke sungai telah diolah sebelumnya sehingga tidak mencemari sungai.
Prosedur gugatan CA di Australia lebih banyak diatur dalam Court Rules (yurisprudensi) dari pada dalam peraturan perundang-undangan. Prosedur gugatan CA diatur dalam Federal Court of Australia Act 1976. Di negara bagian New South Wales (NSW) prosedur gugatan CA diatur dalam the NSW Supreme Court Rules 1970. Selain itu, dalam perundang-undangan yang mengatur masalah-masalah lokal prosedur gugatan CA juga dirumuskan dalam the NSW Anti-Discrimination Act 1977. Untuk kasus-kasus lingkungan hidup di wilayah negara bagian NSW, prosedur gugatan CA diatur dalam beberapa undang-undang seperti : Environmental Planning and Assesment Act 1980; the Local Government Act 1993; the Heritage Act; dan the Water Board (Corporatisation) Act 1994.
Bagaimana kasus-kasus gugatan CA yang pernah terjadi dalam praktik peradilan di Indonesia ? Seorang pengacara R.O. Tambunan pernah melakukan gugatan CA terhadap pabrik rokok Bentoel Remaja ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan mengatasnamakan diri sendiri sebagai orang tua dan mewakili seluruh remaja Indonesia, dengan dalil bahwa iklan rokok Bentoel Remaja telah meracuni kalangan remaja, rokok telah menimbulkan gangguan kesehatan dan merusak masa depan generasi muda Indonesia.
Selain itu, seorang Muhtar Pakpahan yang terjangkit penyakit demam berdarah dengan mengatasnamakan seluruh warga Jakarta melakukan gugatan CA ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta dan Kepala Kantor Wilayah Kesehatan DKI Jakarta yang dianggap tidak menjalankan kewajibannya untuk menjaga kebersihan lingkungan Jakarta, sehingga muncul penyakit demam berdarah dan menimbulkan korban seperti yang dialaminya sendiri maupun warga Jakarta yang lain.
Kasus gugatan CA yang lain adalah : (1) Gugatan CA dari 9 buruh PT. Industri Sandang I untuk diri mereka sendiri dan mewakili 1200 buruh yang lain Patal Senayan yang dirugikan oleh perusahaan karena pemutusan hubungan kerja ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan; dan (2) Gugatan CA ke pengadilan negeri Jakarta Pusat yang diajukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) kepada PT. PLN (Persero) dengan mengatasnamakan seluruh konsumen listrik di wilayah DKI Jakarta. karena terjadi pemadaman listrik secara serentak di seluruh wilayah Jakarta, sehingga menimbulkan kerugian materiil maupun moril bagi para pelanggan (konsumen) listrik PLN.
Namun demikian, dalam praktik peradilan yang berlangsung selama ini ternyata tak satu pun dari gugatan CA di atas dikabulkan oleh pengadilan, dengan alasan dasar hukum gugatan CA belum diatur sebagai hak prosedural kelompok masyarakat dalam sistem hukum perdata maupun hukum acara perdata di Indonesia.
Hal ini di kemudian hari menjadi bahan pemikiran dari kalangan akademisi maupun praktisi hukum, seiring dengan perkembangan masalah-masalah hukum dan tuntutan era kesejagatan (globalisasi), untuk memasukkan konsep gugatan CA ke dalam sistem hukum acara perdata di Indonesia. Dengan mengadopsi model yang berkembang di negara-negara penganut Common Law System seperti Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia, maka untuk pertama kali wacana gugatan CA diusulkan dan diskusikan dalam pemdibahasan rancangan undang-undang mengenai pengelolaan lingkungan hidup, yang sekarang menjadi UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan selanjutnya dituangkan dalam ketentuan pasal-pasal UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan..

III. MAKNA, TUJUAN, DAN MEKANISME GUGATAN CLASS ACTION
Mekanisme penyelesaian sengketa melalui gugatan perdata ke pengadilan negeri (litigasi) dalam sistem hukum di Indonesia pada dasarnya diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata (Herziene Indonesisch Reglement/HIR, atau Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Stb. 1848 No. 16 dan Stb. 1941 No. 44) untuk daerah Jawa dan Madura, sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura berlaku Rechtsreglement Buitengewesten/Rbg (Regelemen Daerah Seberang – Stb. 1927 No. 227) untuk daerah luar Jawa dan Madura.
Tetapi, sejak tahun 1997 dalam sistem hukum acara perdata di Indonesia diatur satu mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan yang dikenal sebagai gugatan perwakilan kelompok masyarakat (Class Action).
Dalam Pasal 37 (1) UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) dinyatakan seperti berikut :
Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat.
Penjelasan Pasal 37 (1) UULH menyatakan :
Yang dimaksud hak mengajukan gugatan perwakilan adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Dari rumusan Pasal 37 (1) UULH di atas dapat diartikan bahwa gugatan CA dalam kasus lingkungan hidup merupakan hak prosedural dari kelompok masyarakat (Class Members) dalam bentuk gugatan ke pengadilan melalui perwakilan kelompoknya (Class Representative), atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan untuk memperoleh ganti rugi dan/atau tindakan tertentu akibat dari perbuatan pecemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukan tergugat.
Lebih lanjut, dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK) diatur pula mengenai gugatan CA dalam kaitan dengan kasus perusakan hutan. Dalam Pasal 71 (1) dinyatakan :
Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat.
Selain itu, dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) juga diatur mengenai hak masyarakat untuk mengajukan gugatan CA untuk kasus pelanggaran pelaku usaha terhadap konsumen. Dalam Pasal 46 (1) dinyatakan :
Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh : a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, …… dst.; d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi …. dst.
Penjelasan Pasal 46 (1) hurup b seperti berikut :
Undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau Class Action. Gugatan kelompok atau Class Action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi.
Secara teoritis, makna dan tujuan pokok dari gugatan CA pada dasarnya dapat dijelaskan seperti berikut :
Gugatan CA bermakna untuk menghindari adanya gugatan-gugatan individual yang bersifat pengulangan (repition) terhadap permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan yang sama dari sekelompok orang yang menderita kerugian karena kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Ini berarti gugatan yang diajukan sekelompok orang melalui gugatan CA akan lebih bersifat ekonomis (judicial economic) jika dibanding setiap orang mengajukan gugatan sendiri-sendiri ke pengadilan. Selain itu, waktu dan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengajukan gugatan CA akan menjadi lebih efisien (judicial cost efficiency) apabila dibandingkan dengan mengajukan gugatan secara individual dari masing-masing anggota kelompok.
Gugatan CA memberi akses pada keadilan (access to justice) karena beban yang ditanggung bersama untuk mengajukan gugatan ke pengadilan dalam rangka memperjuangkan hak kelompok masyarakat atas keadilan memperoleh ganti kerugian dan/atau melakukan tindakan tertentu menjadi lebih diperhatikan dan diprioritaskan penanganannya oleh pengadilan.
Gugatan CA juga mempunyai makna penting dalam upaya pendidikan hukum (legal education) dalam masyarakat : (a) di satu sisi gugatan CA dapat mendorong perubahan sikap kelompok masyarakat (class members) untuk memperoleh keadilan dan lebih berani menuntut haknya melalui jalur pengadilan; (b) di sisi lain gugatan CA mendorong perubahan sikap dari mereka yang berpotensi merugikan hak dan kepentingan masyarakat luas dalam pengelolaan lingkungan hidup; dan (c) gugatan CA juga dapat menimbulkan efek jera (deterrent effect) bagi siapa pun yang pernah merugikan hak dan kepentingan kelompok orang dalam masyarakat.
Untuk menjaga makna dan tujuan dari pengajuan gugatan CA seperti diuraikan di atas, maka setiap gugatan CA harus memenuhi persyaratan seperti berikut :
Adanya sejumlah/sekelompok orang (numerousity of class members) dan beberapa orang dari mereka yang diberi kuasa mewakili dirinya sendiri maupun anggota kelompoknya (class representative) untuk mengajukan gugatan perdata ke pengadilan.
Adanya kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan kepentingan dari semua anggota kelompok (commonality of class members), baik yang memberi kuasa maupun yang diberi kuasa, dalam pengajuan gugatan perdata ke pengadilan.
Adanya kesamaan jenis tuntutan (typicality) ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu dari semua anggota kelompok, yang diwakili maupun yang mewakili kelompoknya.
Adanya kelayakan karakter dari para wakil kelompok (class representative) untuk tampil secara jujur, adil, bertanggungjawab dan mampu melindungi kepentingan semua anggota kelompoknya (class members) dalam persidangan di pengadilan (adequacy of representation).
Dari uraian mengenai pengertian, makna dan tujuan pokok gugatan CA seperti di atas dapat diketahui bahwa gugatan CA pada dasarnya merupakan bagian dari mekanisme penyelesaian sengketa perdata melalui jalur pengadilan (in court settlement) oleh sekelompok orang dengan memberi kuasa kepada satu atau lebih orang (yang berasal dari anggota kelompoknya) untuk mewakili mengajukan gugatan ke pengadilan.
Jika dikaitkan dengan ketentuan mengenai hak gugat perwakilan masyarakat (Class Action) dalam Pasal 37 (1) UULH; Pasal 71 (1) UUK; dan Pasal 46 UUPK, maka terdapat perluasan pengertian, makna dan tujuan dari gugatan CA , karena :
Mengenai muatan Haknya : Hak kelompok masyarakat ternyata tidak hanya menyangkut pengajuan gugatan perdata ke pengadilan melalui perwakilannya, tetapi juga mengenai hak untuk melaporkan ke penegak hukum (pidana) mengenai pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup (dalam UULH), atau mengenai kerusakan hutan (dalam UUK) yang merugikan kepentingan masyarakat.
Mengenai Subyek Hukumnya : Subyek hukum yang mempunyai hak mengajukan gugatan CA dalam UULH dan UUK ternyata tidak hanya kelompok masyarakat melalui perwakilannya, tetapi juga dapat dilakukan melalui representative standing oleh :
(a) Instansi Pemerintah yang bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup mewakili kepentingan masyarakat (dalam UULH); atau
(b) Pemerintah dan/atau Instansi terkait mewakili sejumlah konsumen yang menjadi korban pelanggaran pelaku usaha (dalam UUPK).
Selain itu, dalam konteks instrumen hukum yang diperlukan untuk mengajukan gugatan CA ternyata masih belum cukup dengan ketentuan pasal yang diatur dalam undang-undang, karena secara eksplisit dinyatakan lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Sedangkan, sejauh ini PP yang dimaksudkan untuk mengoperasional prosedur gugatan CA belum diwujudkan oleh pemerintah. Hal ini mempunyai implikasi yang signifikan dalam hubungan dengan implementasi dan kinerja hakim ketika memeriksa gugatan CA di pengadilan.

IV. CATATAN PENUTUP
Gugatan CA merupakan hak prosedural dalam bentuk gugatan oleh kelompok masyarakat (Class Members) melalui perwakilannya (Class Representatives), atas dasar kesamaan masalah (commonality of legal problem), fakta hukum (question of law), dan kesamaan kepentingan (common of interest), untuk memperoleh ganti rugi dan/atau tindakan tertentu dari (para) tergugat melalui proses peradilan perdata.
Hak gugat perwakilan kelompok masyarakat (CA) ini memberi akses keadilan (access ti justice) kepada masyarakat dalam penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan (in court settlement). Hak gugat perwakilan kelompok masyarakat ini sesungguhnya seiring dengan prinsip yang tercermin dalam ketentuan Pasal 4 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehakiman yang mengamanatkan : Peradilan harus dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.
Selain itu, juga sejalan dengan amanat Pasal 5 (2) UU Pokok Kehakiman di atas yang menyatakan :
Dalam perkara perdata Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapai peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Namun demikian, ketentuan mengenai gugatan CA dalam praktik peradilan perdata sesungguhnya belum merupakan hak prosedural yang bersifat operasional, karena ketentuan Pasal 37 (1) UULH; Pasal 71 (1) UUK; dan Pasal 46 (1) hurup b UUPK secara eksplisit dinyatakan masih membutuhkan aturan pelaksanaan lebih lanjut dalam bentuk peraturan pemerintah (yang sampai sekarang belum diterbitkan oleh pemerintah). Sejak tahun 2002 dasar hukum yang dapat digunakan untuk mengajukan gugatan CA sejauh ini bukan diatur dalam Peraturan Pemerintah, tetapi dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Tatacara Pengajuan Hak Gugat Perwakilan Masyarakat (Class Action).

DAFTAR PUSTAKAAlder, John & David Wilkinson (1998), Environmental Law & Ethics, Macmillan Inc. New York.
Revesz, Richard L. (1997), Foundations of Environmental Law and Policy, Oxford University Press, New York.
Santosa, Mas Achmad et.al. (1999), Pedoman Penggunaan Gugatan Perwakilan (Class Action), ICEL, PIAC, dan YLBHI, Jakarta.
Santosa, Mas Achmad (2001), Good Governance & Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta.

kata-kata adalah pedang, diasah oleh nurani, dipertajam oleh pikiran, ditebaskan oleh mereka yang berani.












CLASS ACTION, LEGAL STANDING, PRA PERADILAN, DAN JUDICIAL REVIEW
Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action)
Definisi Class Action

PERMA No 1 Tahun 2002 merumuskan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) sebagai suatu prosedur pengajuan gugatan , dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak , yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.

Unsur-Unsur Class Action
a. gugatan secara perdata
gugatan dalam class action masuk dalam lapangan hukum perdata. Istilah gugatan dikenal dalam hukum acara perdata sebagai suatu tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk menghindari adanya upaya main hakim sendiri (eigenechting) . Gugatan yang merupakan bentuk tuntutan hak yang mengandung sengketa, pihak-pihaknya adalah pengugat dan tergugat Pihak disini dapat berupa orang perseorangan maupun badan hukum. Umumnya tuntutan dalam gugatan perdata adalah ganti rugi berupa uang.

b. Wakil Kelompok (Class Representatif)
Adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya. Untuk menjadi wakil kelompok tidak disyaratkan adanya suatu surat kuasa khusus dari anggota Kelompok. Saat gugatan class action diajukan ke pengadilan maka kedudukan dari wakil Kelompok sebagai penggugat aktif.
Anggota Kelompok (Class members)
Adalah sekelompok orang dalam jumlah yang banyak yang menderita kerugian yang kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok di pengadilan. Apabila class action diajukan ke pengadilan maka kedudukan dari anggota kelompok adalah sebagai penggugat pasif.

Adanya Kerugian yang nyata-nyata diderita
Untuk dapat mengajukan class action Baik pihak wakil kelompok (class repesentatif ) maupun anggota kelompok (class members) harus benar-benar atau secara nyata mengalami kerugian atau diistilahkan concrete injured parties. Pihak-pihak yang tidak mengalami kerugian secara nyata tidak dapat memiliki kewenangan untuk mengajukan Class Action.

Kesamaan peristiwa atau fakta dan dasar hukum
Terdapat kesamaan fakta (peristiwa) dan kesamaan dasar hukum (question of law) antara pihak yang mewakilili (class representative) dan pihak yang diwakili (class members). Wakil Kelompok dituntut untuk menjelaskan adanya kesamaan ini. Namun bukan berarti tidak diperkenankan adanya perbedaan, hal ini masih dapat diterima sepanjang perbedaan yang subtansial atau prinsip.
Manfaat Class Action
- Proses berperkara menjadi sangat ekonomis (Judicial Economy)
- Mencegah pengulangan proses perkara dan mencegah putusan-putusan yang berbeda atau putusan yang tidak konsisten
- Akses terhadap Keadilan (Access to Justice)
- Mendorong Bersikap Hati-Hati (Behaviour Modification) dan merubah sikap pelaku pelanggaran.

Persyaratan mengajukan Class Action
- jumlah anggota kelompok yang besar (Numerousity)
- Jumlah anggota kelompok (class members) harus sedemikan besar sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-diri (individual) .
- adanya kesamaan fakta dan dasar hukum (Commonality) Terdapat kesamaan fakta (peristiwa) dan kesamaan dasar hukum (question of law) antara pihak yang mewakilili (class representative) dan pihak yang diwakili (class members). Wakil Kelompok ditubtut untuk menjelaskan adanya kesamaan ini. Namun bukan berarti tidak diperkenankan adanya perbedaan, hal ini masih dapat diterima sepanjang perbedaan yang subtansial atau prinsip.
Tuntutan sejenis (Typicality)
Tuntutan (bagi plaintif Class Action) maupun pembelaan (bagi defedant Class Action ) dari seluruh anggota yang diwakili (class members) haruslah sejenis. Pada umumnya dalam class action, jenis tuntutan yang dituntut adalah pembayaran ganti kerugian.

Kelayakan wakil kelompok (Adequacy of Repesentation)
Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakili. Untuk menentukan apakah wakil kelompok memiliki kriteria Adequacy of Repesentation tidakalah mudah, hal ini sangat tergantung dari penilaian hakim. Untuk mewakili kepentingan hokum anggota kelompok, wakil kelompok tidak diperyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari anggota kelompok

Class Action Dalam Aturan Hukum Indonesia
1. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam pasal 37 ayat 1 berbunyi : "Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau
melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat".
2. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 46 ayat 1 huruf b berbunyi : "Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama"
3. UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi Pasal 38 ayat 1
Masyarakat yang dirugikan akibat pekerjaan konstruksi berhak mengajukan gugatan ke pengadilan secara :
a. orang peroranagan
b. Kelompok orang dengan pemberi kuasa
c. Kelompok orang dengan tidak dengan kuasa melalui gugatan perwakilan
4.UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 71 ayat 1 berbunyi
"Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau
melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan
kehidupan masyarakat"
5. PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok
Pembahasan mengenai prosedur atau tata cara gugatan perwakilan kelompok
(Class Action) yang diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 secara garis besar
terdiri dari ketentuan umum, tata cara dan persyaratan gugatan perwakilan
kelompok, pemberitahuan, pernyataan keluar, putusan dan ketentuan umum.

Tahap-tahap class action
- Pengajuan gugatan
- Sebelum proses pemeriksaan perkara
- Saat proses pemeriksaan perkara
- Putusan Hakim
- Distribusi kerugian
- Pengajuan surat gugatan Class Action
Selain harus memenuhi persyaratan- persyaratan formal surat gugatan yang diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku seperti mencantumkan identitas dari pada para pihak, dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari pada tuntutan (fundamentum petendi) dan tuntutan. Surat gugatan perwakilan kelompok (class action ) harus memuat hal-hal sebagai berikut:
- Identitis lengkap dan jelas wakil kelompok
- Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu
- Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban melakukan pemberitahuan
- Posita dari seluruh kelompok yang dikemukakan secra jelas dan terperinci
- Tuntutan atau petitum tentang Ganti Rugi harus dikemukaakn secra jelas dan rinci memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok.
Sebelum proses pemeriksaan perkara
Hakim memeriksa dan mempertimbangakan kriteria gugatan Class Action. Apabila hakim memutuskan bahwa penggunaan tatacara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan tidak sah maka pemeriksaan gugatan dihentikan dengan suatu putusan hakim.

Apabila hakim menyatakan sah maka gugatan Class Action tersebut dituangkan dalam penetapan pengadilan kemudian hakim memerintahkan penggugat mengajukan usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan hakim. setelah model pemberitahuaan memperoleh persetujuan hakim pihak penggugamelakukan pemberitahuan kepada anggota kelompok sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan oleh hakim.
Saat proses pemeriksaan perkara
Proses pemeriksaan sama seperti dalam perkara perdata pada umumnya yaitu :
- Pembacaan surat gugatan oleh penggugat
- Jawaban dari tergugat
- Replik(tangkisan Penggugat atas jawaban yang telah disamapaikan oleh
Tergugat)
- Duplik(jawaban Tergugat atas tanggapan penggugat dalam replik)
- Pembuktian
Untuk memberikan kepastian kepada hakim tentang apa yang telah didalilkan oleh para pihak, maka kedua belah pihak menyampaikan bukti-bukti dan
saksi-saksi
- Kesimpulan
merupakan resume dan secara serentak dibacakan oleh kedua belah pihak

Putusan hakim
Putusan hakim dapat berupa dikabulkannya gugatan penggugat atau gugatan penggugat tidak dapat diterima (ditolak). Terhadap putusan ini pihak yang dikalahkan dapat mengajukan upaya hukum banding
Apabila hakim mengabulkan gugatan Ganti rugi penggugat maka hakim juga memutuskan jumlah ganti rugi , penentuan kelompok dan/atau sub kelompok yang berhak , mekanisme pendistribusian ganti rugi dan langkah-langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelimpok dalam penetapan dan pendistribusian seperti halnya kewajibnan kelompok.

Pemberitahuan (Notifikasi)
Pemberitahuan kepada anggota kelompok adalah mekanisme yang diperlukan untuk memberikan kesempatan bagi anggota kelompok untuk menentukan apakah mereka menginginkan untuk ikut serta dan terikat dengan putusan dalam perkara tersebut atau tidak menginginkan yaitu dengan cara menyatakan keluar (opt out) dari keanggotaan kelompok.
Pemberitahuan wajib dilakukan oleh penggugat atau para penggugat sebagai wakil kelompok kepada anggota kelompok pada tahap-tahap:
Segera setelah hakim memutuskan bahwa pengajuan tata cara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah (pada tahap ini harus juga memuat mekanisme pernyataan keluar) Pada tahap penyelesaian dan pendistribusian ganti kerugian ketika gugatan dikabulkan

Perkembangan Class Action Di Indonesia
Perkembangan class action di Indonesia dibagi menjadi 2 periode:
- Sebelum adanya pengakuan class action
- Setelah adanya pengakuan class action

Yang menjadi tolak ukur dari pengakuan class action adalah dengan dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.


Sebelum adanya pengakuan class action
- Kasus RO Tambunan Vs Bentoel Remaja, Perusahaan Iklan, dan Radio Swasta Niaga Prambors (1987)
- Kasus Muchtar Pakpahan Vs Gubernur DKI Jakarta & Kakanwil Kesehatan DKI tahun 1988 (kasus Endemi demam Berdarah) di PN Jakarta Pusat
- Kasus YLKI Vs PT. PLN Persero (Perkara no. 134/PDT.G./PN. Jkt. Sel). Kasus pemadaman listrik se-Jawa Bali tanggal 13 April 1997) pada tahun 1997 di PN Jakarta Selatan

Setelah adanya pengakuan class action
- Gugatan 27 nelayan mewakili 1145 kepala keluarga VS 3 perusahaan badan hukum di Metro Lampung ( perkara No. 134/PDT.G/1997/ PN. Jkt Sel)
- Gugatan Yulia Erika Sipayung mwewakili 1.016.929 penduduk kabupaten Tuban Vs Komisi A DPRD Tuban (Perkara No. 55/PDT.G/200/ PN. Tuban)
- Gugatan yayasan LBH Riau (Firdaus Basyir) Vs 4 Perusahaan Perkebunan di Riau ( kasus asap akibat kebakaran hutan dan lahan) (No. 32/PDT/G/200/ PN/PBR).
- Gugatan 139 penarik becak mewakili juga 5000 orang penarik becak di Jakarata Vs Pemerintahan RI cq. Menteri Dalam Negericq. Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Perkara No. 50/PDT.G/2000/ PN.JKT.PST)
- Gugatan 37 warga Deli Serdang Vs DPRD Kabupaten Deli Serdang dan Bupati Deli Serdang (Perkara No. 134/PDT.G/2001/ PN.LP)
- Gugatan Ali Sugondo Cs (10 orang) mewakili 34 juta penduduk Jawa Timur Vs 18 Anggota Komisi B DPRD Propinsi Jawa Timur (kasus perjalanan studi banding para anggota DPRD Jawea Timur) (perkara No. 593/Pdt.G/2000/ PN.SBY).
- Gugatan Didik Hadiyanto cs Vs Saleh Ismailo Iskandar SH (anggota DPRD Jawa Timur) dalkanm kasus "Pernyataan Surabaya Kota Pelacur, Kota Sampah, dan Kota Banjir" (perkara No. 210/pdt.G/2001/ PN. SBY).
- Gugatan class action Perwakilan korban kecelakaan kereta api di Brebes Vs PT. Kereta Api Indonesia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 13 Mei 2002

- Gugatan SPI (Serikat Pengacara Indonesia) Vs. Ketua Badan Pengawas Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Bambang Sungkono sebagai tergugat I, 14 orang anggota Komisi D DPRD DKI sebagai tergugat II, Kepala Dinas Tata Kota DKI Ahmadin Ahmad sebagai tergugat III dan PT pembangunan Jaya Ancol (PT PJA) sebagai tergugat IV. Di PN Jakarta Pusat pada bulan Mei 2001
- Gugatan 9 konsumen (class representatif) gas elpiji sebagai perwakilan konsumen elpiji se-Jabotabek (class members) Vs Pertamina atas kenaikan harga gas elpiji di PN Jakarta Pusat bulan Oktober 2001
- Gugatan pengungsi Timor-Timur Vs Pemerintah RI di PN Jakarta Pusat bulan November 2001
- Gugatan pedagang kaki lima (PKL) yang menjadi korban gusuruan di Karang Anyer Jakarta Pusat Vs Gubernur DKI Jakarta , di PN Jakarta Pusat tahun 2001
- Gugatan 15 warga DKI Jakarta Vs Presiden Megawati Soekarnoputri, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso dan Gubernur Jabar R Nuriana atas peristiwa banjir yang terjadi pada akhir Januari hingga awal Februari 2002 ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 13 Maret 2002.
Selengkapnya...

HARTA BERSAMA

Harta Bersama: Antara Konsepsi dan Tuntutan Keadilan
Oleh:
Muhamad Isna Wahyudi, SHI, MSI

A. Pendahuluan
Di antara hukum adat yang berlaku di dalam masyarakat Indonesia, yang kemudian diadopsi oleh pemerintah sebagai hukum positif adalah hukum tentang harta bersama. Penyebutan harta bersama dan tata cara pembagian harta bersama di berbagai daerah sebenarnya berbeda-beda. Namun demikian, dalam perkembangannya, seperti yang terdapat dalam Burgelijk Wetboek (BW)/KUH Perdata maupun Kompilasi Hukum Islam, konsep pembagian harta bersama adalah bahwa masing-masing suami istri berhak atas separoh dari harta bersama ketika terjadi perceraian atau kematian salah satu pasangan. Penyeragaman hukum dalam masalah pembagian harta bersama tersebut memang merupakan sebuah komitmen dari upaya unifikasi hukum untuk mengatasi konflik yang mungkin muncul antara para pihak karena adanya pluralisme hukum. Namun demikian, muncul pertanyaan yaitu sejauh manakah konsepsi pembagian harta bersama tersebut dapat memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat yang heterogen? Terlebih lagi, apakah konsepsi pembagian harta bersama tersebut juga dapat memenuhi rasa keadilan dalam hal hanya salah satu pasangan yang berjasa atau memiliki kontribusi dalam memperoleh harta bersama tersebut?
Tulisan ini akan mencoba untuk mengkaji berbagai pertanyaan di atas meskipun tidak menjanjikan memberikan sebuah kajian yang mendalam dan
 Cakim MARI tahun anggaran 2006, saat ini bertugas di PA Yogyakarta.
2
menyeluruh. Secara garis besar, tulisan ini akan mendiskripsikan tentang konsepsi harta bersama, baik dalam hukum adat maupun hukum positif dan kemudian memberikan sebuah analisis terhadap konsepsi pembagian harta bersama tersebut.

B. Konsepsi Harta Bersama
Sebelum menjelaskan lebih jauh tentang konsepsi harta bersama, perlu dijelaskan perbedaan antara konsep dan kosepsi. Konsepsi adalah pengertian yang meliputi hal-hal yang parsial, tidak mendasar, aplikatif, empiris, dan praktis. Sedangkan konsep merupakan pengertian abstrak yang meliputi hal-hal yang bersifat universal, mendasar, filosofis, dan teoritis. Sebuah konsep dibangun atas seperangkat konsepsi. Dalam tulisan ini, konsepsi harta bersama akan dibagi menjadi menurut hukum adat dan hukum positif.
I. Hukum Adat
Dalam hukum adat, harta bersama merupakan bagian dari harta perkawinan. Harta perkawinan adalah harta benda yang dapat digunakan oleh suami-isteri untuk membiayai biaya hidup mereka sehari-hari beserta anak-anaknya. Suami dan isteri sebagai suatu kesatuan bersama anak-anaknya dalam masyarakat adat disebut somah atau serumah. Dengan demikian, harta perkawinan pada umumnya diperuntukkan bagi keperluan somah. Harta perkawinan dalam hukum adat, menurut Ter Haar, dapat dipisah menjadi empat macam sebagai berikut:
a. Harta yang diperoleh suami atau isteri sebagai warisan atau hibah dari kerabat masing-masing dan dibawa ke dalam perkawinan.
3
b. Harta yang diperoleh suami atau isteri untuk diri sendiri serta atas jasa diri sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan.
c. Harta yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan isteri sebagai milik bersama.
d. Harta yang dihadiahkan kepada suami dan istri bersama pada waktu pernikahan.
Menurut Prof. Djodjodigoeno dan Tirtawinata, SH dalam bukunya ”Adatprivaatrecht van Middel-Java”, masyarakat Jawa Tengah membagi harta perkawinan menjadi dua macam, yaitu:
a. Harta asal atau harta yang dibawa ke dalam perkawinan.
b. Harta milik bersama atau harta perkawinan.
Sementara menurut Wirjono Prodjodikoro, SH dalam bukunya ”Hukum Perkawinan di Indonesia”, menjelaskan bahwa harta perkawinan menurut hukum adat terbagi menjadi harta milik masing-masing suami atau istri dan harta bersama. Adapun harta perkawinan yang menjadi harta milik masing-masing suami atau istri mencakup:
a. Harta yang diperoleh masing-masing suami-isteri sebagai warisan dari orang tua atau nenek-moyang.
b. Harta yang diperoleh masing-masing suami-isteri sebagai hibah atau hasil usaha sendiri.
Penyebutan harta bersama suami-isteri berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Di Minangkabau harta bersama disebut dengan ”harta suarang”, di Kalimantan disebut ”barang perpantangan”, di Bugis disebut dengan
4
”cakkara”, di Bali disebut dengan ”druwe gabro”, di Jawa disebut dengan ”barang gini” atau ”gono-gini”, dan di Pasundan disebut dengan ”guna kaya”, ”barang sekaya”, ”campur kaya”, atau ”kaya reujeung” . Di beberapa daerah terdapat pengecualian terhadap harta bersama tersebut. Di Aceh, penghasilan suami menjadi milik pribadinya sendiri, apabila isterinya tidak memberikan suatu dasar materiil –yang berbentuk suatu kebun atau suatu pekarangan kediaman- bagi keluarga atau tidak memberi bekal kepada suaminya yang mengadakan suatu perjalanan. Sementara di Jawa Barat, apabila pada saat perkawinan isteri kaya sedangkan suami miskin (perkawinan nyalindung kagelung), maka penghasilan yang diperoleh semasa perkawinannya menjadi milik isteri sendiri. Di Kudus-Kulon (Jawa Tengah) dalam lingkungan para pedagang, maka suami dan isteri masing-masing tetap memiliki barang-barang yang mereka bawa ke dalam perkawinan dan juga barang-barang yang mereka peroleh masing-masing selama selama perkawinan. Adanya harta bersama dalam perkawinan merupakan gejala umum dan telah menjadi azas umum dalam hukum adat seiring dengan pertumbuhan somah yang semakin kuat di dalam masyarakat yang menggeser kedudukan dan pengaruh keluarga besar atau kerabat dalam masalah harta perkawinan.
Di daerah-daerah lain yang mengakui adanya harta bersama memiliki konsepsi bahwa segala kekayaan yang diperoleh suami atau isteri selama perkawinan berlangsung termasuk harta bersama, selama suami isteri tersebut sama-sama bekerja untuk keperluan somah. Dan pengertian bekerja itu sendiri lama-kelamaan menjadi semakin luas dan kabur, sehingga seorang isteri yang
5
bekerja di rumah saja untuk memelihara anak-anak dan mengurus rumah tangga, sudah dianggap bekerja juga, sehingga dalam hal ini semua kekayaan yang in concreto diperoleh suami menjadi harta bersama. Ini adalah sesuatu yang wajar, sebab meskipun pihak isteri tidak bekerja sendiri untuk memperoleh harta tersebut, namun dengan memelihara anak-anak dan membereskan urusan rumah tangga itu, pihak suami telah menerima bantuan yang sangat berharga dan sangat mempengaruhi kelancaran pekerjaannya sehari-hari, sehingga secara tidak langsung juga mempengaruhi jumlah harta yang diperoleh. Selain itu, apabila dalam mengurus rumah tangga sehari-hari, isteri mampu melakukan penghematan yang pantas, maka secara langsung isteri juga membantu dalam memelihara dan memperbesar harta milik bersama suami isteri. Oleh karena itu, anggapan umum yang saat ini berlaku adalah bahwa harta yang diperoleh selama dalam perkawinan selalu menjadi milik bersama suami isteri, tanpa mempersoalkan siapakah yang sesungguhnya berjerih payah memperoleh harta tersebut. Hukum adat juga mengatur pembagian harta bersama ketika perkawinan berakhir akibat kematian salah satu pihak atau akibat perceraian. Tidak ada keseragaman dalam hukum adat mengenai tata cara pembagian harta bersama. Namun demikian yang menjadi arus utama dalam pembagian harta bersama adalah bahwa suami atau isteri masing-masing mendapat separoh dari harta bersama.
Beberapa daerah di Jawa Tengah memiliki kebiasaan pembagian harta bersama yaitu suami mendapatkan dua-pertiga dan isteri mendapat sepertiga. Azas pembagian tersebut di Jawa Tengah disebut azas ”sakgendong sakpikul.” Tata
6
cara pembagian seperti ini juga dikenal di pulau Bali berdasarkan azas “sasuhun-sarembat.” Begitu juga di kepulauan Banggai, terdapat azas dua-pertiga dan sepertiga tersebut. Akan tetapi, dalam perkembangannya, azas ”sagendong sapikul,” atau “sasuhun-sarembat,” dalam pembagian harta bersama makin lama makin lenyap. Kemudian dalam hal salah satu pihak meninggal dunia, maka lazimnya semua harta bersama tetap berada di bawah kekuasaan pihak yang masih hidup dan dia berhak untuk menggunakan harta bersama tersebut untuk keperluan hidupnya. Tetapi, dalam hal sudah tersedia secara pantas sejumlah harta yang diambilkan dari harta bersama tersebut untuk keperluan hidupnya, maka kelebihannya dapat dibagi oleh para ahli waris. Kalau terdapat anak, maka anak itulah yang menerima bagiannya sebagai barang asal. Sedangkan kalau tidak ada anak, maka sesudah kematian suami atau isteri yang hidup lebih lama, harta bersama tersebut harus dibagi antara kerabat suami dan kerabat isteri menurut ukuran pembagian yang sama dengan ukuran pembagian yang digunakan suami isteri seandainya mereka masih hidup serta membagi harta bersama tersebut.
II. Hukum Positif
a. Undang-undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974)
Masalah harta bersama dalam Undang-undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) diatur dalam Pasal 35-37. Pasal 35 (1) menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sementara Pasal 35 (2) menjelaskan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah
7
dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Selanjutnya Pasal 36 (1) mengatur bahwa mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedangkan Pasal 36 (2) mengatur bahwa mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Kemudian Pasal 37 menjelaskan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Pasal 37 ini mengindikasikan bahwa ketika terjadi perceraian, harta bersama yang diperoleh oleh pasangan suami isteri selama perkawinan dapat diatur dengan menggunakan aturan yang berbeda-beda tergantung pada variasi hukum adat atau hukum lain di luar hukum adat. Perlu diketahui bahwa Pasal 35-37 di atas disusun berdasarkan pada nilai-nilai umum yang muncul dalam aturan adat tentang harta bersama, yaitu: (1) masing-masing pihak dalam perkawinan memiliki hak untuk mengambil keputusan terhadap harta yang mereka peroleh sebelum nikah, dan (2) dengan ikatan perkawinan, isteri maupun suami secara intrinsik memiliki posisi yang setara terkait dengan kekayaan keluarga terlepas pihak mana yang sebenarnya mengusahakan aset tersebut.
b. Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991)
Dalam Bab XIII, Kompilasi Hukum Islam mengatur masalah harta bersama dalam perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 85-97. Pasal 85 menjelaskan bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Pasal 86 (1)
8
menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan isteri karena perkawinan, sementara Pasal 86 (2) mengatur bahwa harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Pasal 87 (1) mengatur bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan, sedangkan Pasal 87 (2) menyatakan bahwa suami dan isteri mempunyai hak sepenuhya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqoh, atau lainnya. Pasal 88 menjelaskan bahwa apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama. Pasal 89 menyatakan bahwa suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya sendiri, sementara Pasal 90 menyatakan bahwa isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta suami yang ada padanya. Pasal 91 terdiri dari empat ayat: (1) harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak beruwujud; (2) harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharda; (3) harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak dan kewajiban; dan (4) harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lain. Pasal 92 menyatakan bahwa suami isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.
9
Pasal 93 terdiri dari 4 ayat: (1) pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing; (2) pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama; (3) bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami; (4) bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta isteri. Pasal 94 terdiri dari dua ayat: (1) harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri; (2) pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau yang keempat. Pasal 95 tediri dari dua ayat: (1) dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat 2 huruf c Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 136 ayat (2), suami atau isteri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya; (2) Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.
Pasal 96 terdiri dari dua ayat: (1) apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama; (2) pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara
10
hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama. Dan terakhir, Pasal 97 mengatur bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dari pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam di atas dapat dipahami bahwa hukum Islam Indonesia pada dasarnya menerima ketentuan-ketentuan adat tentang harta bersama dalam perkawinan, bahkan menerima gagasan tentang kesetaraan suami dan isteri dalam masalah harta bersama tersebut.
c. Burgelijk Wetboek (BW)
Burgelijk Wetboek juga mengatur masalah harta bersama dalam perkawinan. Pasal 119 BW menyatakan bahwa mulai sejak terjadinya ikatan perkawinan, harta kekayaan yang dimiliki suami secara otomatis disatukan dengan yang dimiliki isteri. Penyatuan harta ini sah dan tidak bisa diganggu gugat selama perkawinan tidak berakhir akibat perceraian atau kematian. Namun, kalau pasangan suami isteri sepakat untuk tidak menyatukan harta kekayaan mereka, mereka dapat membuat perjanjian di depan notaris sebelum perkawinan dilangsungkan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 139-154 BW. Adapun berkaitan dengan pembagian harta bersama, Pasal 128 BW menetapkan bahwa kekayaan-bersama mereka dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak mana asal barang-barang itu.

C. Pembagian Harta Bersama: sebuah catatan kritis
Seperti telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa secara umum pembagian harta bersama ketika perkawinan berakhir akibat perceraian atau kematian salah seorang pasangan - baik menurut hukum adat maupun hukum
11
positif – adalah bahwa masing-masing suami isteri memiliki hak yang sama terhadap harta bersama, yaitu separoh dari harta bersama. Pembagian seperti ini berlaku tanpa harus mempersoalkan siapakah yang berjerih payah untuk mendapatkan harta kekayaan selama dalam perkawinan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah ketentuan tersebut dapat berlaku secara universal untuk semua kasus, ataukah hanya dalam kasus tertentu yang memang dapat mewujudkan rasa keadilan bagi para pihak. Sejauh pemahaman penulis ketentuan pembagian harta bersama separoh bagi suami dan separoh bagi isteri hanya sesuai dengan rasa keadilan dalam hal baik suami maupun isteri sama-sama melakukan peran yang dapat menjaga keutuhan dan kelangsungan hidup keluarga. Dalam hal ini, pertimbangan bahwa suami atau isteri berhak atas separoh harta bersama adalah berdasarkan peran yang dimainkan baik oleh suami atau isteri, sebagai patner yang saling melengkapi dalam upaya membina keutuhan dan kelestarian keluarga.
Pengertian peran di sini pun tidak didasarkan pada jenis kelamin dan pembakuan peran, bahwa suami sebagai pencari nafkah sedangkan isteri sebagai ibu rumah tangga. Dalam hal suami memang tidak bekerja, tetapi dia masih memiliki peran besar dalam menjaga keutuhan dan kelangsungan keluarga, seperti mengurusi urusan rumah tangga, mengantar dan menjemput anak maupun isteri, bahkan berbelanja dan menyediakan kebutuhan makan dan minum, ketika isteri bekerja, maka suami tersebut masih layak untuk mendapatkan hak separoh harta bersama. Sebab meskipun pihak suami tidak bekerja sendiri untuk memperoleh harta, namun dengan memelihara anak-anak dan membereskan urusan rumah
12
tangga itu, pihak isteri telah menerima bantuan yang sangat berharga dan sangat mempengaruhi kelancaran pekerjaannya sehari-hari, sehingga secara tidak langsung juga mempengaruhi jumlah harta yang diperoleh. Sebaliknya, ketika isteri bekerja, sedangkan pihak suami tidak menjalankan peran yang semestinya sebagai patner isteri untuk menjaga keutuhan dan kelangsungan keluarga, pembagian harta bersama separoh bagi isteri dan separoh bagi suami tersebut tidak sesuai dengan rasa keadilan. Dalam hal ini bagian isteri harus lebih banyak dari pihak suami. Dalam kasus ini mungkin azas ”sakgendong sakpikul” dapat diadopsi sebagai salah satu pilihan, tetapi penerapannya dibalik, dalam arti bahwa pihak isteri mendapatkan dua-pertiga dari harta bersama dan pihak suami hanya sepertiga harta bersama. Bahkan ketika ternyata pihak suami selama dalam perkawinan justru boros, sering judi maupun mabuk, maka tidak sepantasnya suami tersebut mendapatkan hak dalam pembagian harta bersama.
D. PENUTUP
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa meskipun hukum positif (BW/KHI) secara tegas mengatur bahwa pembagian harta bersama antara suami isteri pasca perceraian atau kematian salah satu pihak adalah masing-masing mendapat separoh dari harta bersama, ketentuan tersebut bukanlah sebuah ketentuan yang dapat diterapkan secara universal untuk semua kasus pembagian harta bersama. Dalam hal ini, semangat atau tujuan di balik hukum pembagian harta bersama harus diutamakan, yaitu untuk mewujudkan keadilan. Oleh karena itu, dalam penerapan hukum
13
positif tersebut harus tetap mempertimbangkan bagaimana peran yang dimainkan oleh masing-masing pihak dalam upaya menjaga keutuhan dan kelestarian keluarga, dan bukan semata-mata membagi harta bersama separoh bagi suami dan separoh bagi isteri. Selain itu, pertimbangan juga tidak didasarkan semata-mata pada siapa yang berjerih payah memperoleh harta kekayaan. Karena jika hanya didasarkan pada siapa yang lebih banyak memperoleh harta kekayaan, secara tidak sadar kita telah terjebak pada pola pikir positifisme yang cenderung matematis dan materialis, sehingga peran dalam mengurus rumah tangga seringkali tidak dihargai. Demikianlah ijtihad yang dapat ditawarkan oleh penulis dalam masalah pembagian harta bersama. Semoga apa yang penulis tawarkan dapat lebih memenuhi rasa keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Amin. Wallahu A’lam Bish-Shawab.
14
Daftar Pustaka Wignjodipuro, Surojo, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Edisi II, (t.tp: t.n.p, 1973). Lukito, Ratno, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi Tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia, terj. Inyiak Ridwan Muzir, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2008). Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974). Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991).
15
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS Identitas diri Nama : Muhamad Isna Wahyudi, S.H.I, M.S.I Tempat, tanggal lahir : Semarang, 2 Mei 1981 Alamat : Jl. Bandeng Raya I/7, Minomartani, Ngaglik, Sleman Yogyakarta, 55581 Nomor Telepon/Hp : (0274) 882464/ 081575096119 Nama Ayah : Ichsan Sugiyanto Nama Ibu : Siti Khusnurriyah Isteri : Enki Fitriastuti, S.Pd.I Riwayat Pendidikan
1. Pendidikan Formal
a. SD Negeri Ngempon I, lulus 1993.
b. SMP Negeri Karangjati, lulus 1996.
c. Takhasus Pondok Pesantren Modern Islam (PPMI) Assalaam Sukoharjo, lulus 1997.
d. MA Pondok Pesantren Modern Islam (PPMI) Assalaam Sukoharjo, lulus 2000.
e. Fakultas Syari’ah, Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhshiyyah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, lulus 2004.
f. Program Studi Hukum Islam, Konsentrasi Hukum Keluarga, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, lulus 2006.
2. Pendidikan Non-Formal
a. Peserta Temu Karya Perkampungan Pelajar Program Bimbingan Tingkat Lanjut Siswa Aliyah Berprestasi, 25 Februari - 7 Maret 1999, Pondok Pesantren At-Taqwa, Ujung Harapan, Bekasi, Jawa Barat. Diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan Perguruan Islam Departemen Agama bekerja sama dengan Yayasan Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Insani.
b. Kursus Komputer, Lembaga Teknik Informatika Al-Matiin, Yogyakarta, 2001.
c. Kursus Bahasa Inggris, Reading and Translation, Pusat Bahasa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2002.
d. Pelatihan HI (Heart Intelligence Training) “Membangun Kecerdasan Hati” Mensinergikan Kecerdasan Intelektual, Emosi, dan Spiritual, 25 Desember 2006, di Multi Media Training Center (MMTC) Yogyakarta. Diselenggarakan oleh Pengurus Wilayah Ikatan Da’i Indonesia (IKADI) DIY dengan SINERGY Leadership Center Yogyakarta.
e. Seminar Masa Depan Filsafat Islam bersama Ayatullah Taqi Misbah Yazdi, 18 Mei 2006, di Auditorium Filsafat UGM. Diselenggarakan oleh CRCS (Center for Religious & Cross-cultural Studies, Graduate Program, Gadjah Mada University), Fakultas Filsafat UGM, dan ICC (Islamic Cultural Center).
f. Religious and Civilization in Indonesia, International Conference The Problem and Promise of Inter-Religious Studies in Indonesia, Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta, January 15, 2007. Organized by ICRS Yogya, UGM, UIN Sunan Kalijaga, Universitas Kristen Duta Wacana, and Ford Foundation (FF).
Riwayat Organisasi
1. Bagian Penggerak Bahasa Organisasi Pelajar Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam, Sukoharjo, Surakarta periode 1998/1999.
2. Editor Majalah KARNISA (Karya Opini Intelegensi Santri Assalaam) periode 1999/2000.
16
Prestasi Akademik
1. Juara II Cedas Cermat Bahasa, diselenggarakan oleh Bagian Penggerak Bahasa Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam Sukoharjo 1997/1998
2. Wisudawan tercepat Fakultas Syari’ah, Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhshiyyah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, angkatan 2000.
Karya Tulis/Publikasi
1. Muhamad Isna Wahyudi, “’Iddah: Sebuah Pembacaan Baru,” dalam Jurnal Ilmu Syari'ah, Asy-Syir’ah, Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga. Vol. 39. No. 1 (2005), 135-55.
2. -------------, “SLANK: Santri Lupa Akan Nilai Keislaman,” dalam majalah KARNISA, edisi ke-24, Jumadil Akhir, 1420 H/ 2000 M, 14-15.
3. -------------, Buku Fikih Praktis Salat, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2007.
4. -------------, 'Iddah Perempuan Hamil Karena Zina: Studi Pasal 53 KHI, Skripsi, Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004.
5. -------------, 'Iddah dalam al-Qur'an, Tesis, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Program Studi Hukum Islam, Konsentrasi Hukum Keluarga, 2006, akan diterbitkan oleh penerbit LkiS Yogyakarta.
6. -------------, “Membaca Ulang Konsep Perwalian dalam Perspektif Mohammed Arkoun,” dalam Jurnal Studi Gender dan Islam, Musawa, Vol. 5, No. 2 (2007), 259-77.
7. -------------, Hendak Ke Mana Negara Islam: Studi Pemikiran Politik Fazlur Rahman, makalah, dipresentasikan dalam kuliah Islam dan Politik.
8. -------------, Pemikiran Isma'il Raji al-Faruqi tentang Keluarga dan Relevansinya Bagi Problematika Lembaga Keluarga di Era Modern, makalah, dipresentasikan dalam kuliah Filsafat Hukum Islam dalam Keluarga.
9. -------------, Prahara di Laut Tengah Abad X: Perebutan Wilayah Kekuasaan dan Otoritas Keagamaan, makalah, dipresentasikan dalam kuliah Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Klasik, Tengah, Modern).
10. -------------, Membuka Celah-Celah Sosiologi Hukum Islam, makalah, dipresentasikan dalam kuliah Sisiologi Hukum Islam.
11. -------------, Kawin Hamil: Sudahkah Menjadi Bagian dari Budaya Kita?, makalah, tugas akhir dalam kuliah Sosiologi Hukum Islam.
12. -------------, Metode-Metode Penemuan Hukum Islam, makalah, dipresetasikan dalam kuliah Usul Fikih: Teori dan Metodologi.
13. -------------, Pembaruan Hukum Waris di Mesir, makalah, dipresentasikan dalam kuliah Hukum Waris dan Wakaf di Dunia Islam.
14. -------------, Pembaharuan Hukum Keluarga Islam: Akar Konflik dan Prospek, makalah, tugas akhir dalam kuliah Hukum Perkawinan di Dunia Islam.
15. -------------, Sunnah dalam Perdebatan Modern: Polemik Seputar Sunnah antara Orientalis dan Sarjana Muslim, makalah, dipresentasikan dalam kuliah Studi al-Qur'an dan Hadis: Teori dan Metodologi.
16. -------------, Asbab an-Nuzul: Sebuah Perangkat Penafsiran al-Qur'an, makalah, dipresentasikan dalam kuliah Studi al-Qur'an dan Hadis: Teori dan Metodologi.
17. -------------, Membendung Arus Perceraian, makalah, tugas akhir dalam kuliah Psikologi Keluarga.
Selengkapnya...

HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA

HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA
PASCA PERUBAHAN UUD 1945

Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.


UUD 1945 adalah konstitusi negara Indonesia yang merupakan hasil kesepakatan seluruh rakyat Indonesia. Keberlakuan UUD 1945 berlandaskan pada legitimasi kedaulatan rakyat sehingga UUD 1945 merupakan hukum tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, hasil-hasil perubahan UUD 1945 berimplikasi terhadap seluruh lapangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi perubahan tersebut meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan materi muatan UUD 1945 mencakup 199 butir ketentuan.
UUD 1945 memuat baik cita-cita, dasar-dasar, serta prinsip-prinsip penyelenggaraan negara. Cita-cita pembentukan negara kita kenal dengan istilah tujuan nasional yang tertuang dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu (a) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (b) memajukan kesejahteraan umum; (c) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (d) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Untuk mencapai cita-cita tersebut, UUD 1945 telah memberikan kerangka susunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Norma-norma dalam UUD 1945 tidak hanya mengatur kehidupan politik tetapi juga kehidupan ekonomi dan sosial. Hal itu karena para pendiri bangsa menghendaki bahwa rakyat Indonesia berdaulat secara penuh, bukan hanya kedaulatan politik. Maka UUD 1945 merupakan konstitusi politik, konstitusi ekonomi, konstitusi budaya, dan konstitusi sosial yang harus menjadi acuan dan landasan secara politik, ekonomi, dan sosial, baik oleh negara (state), masyarakat (civil society), ataupun pasar (market).

Keseluruhan kesepakatan yang menjadi materi konstitusi pada intinya me-nyang¬kut prinsip pengaturan dan pembatasan kekuasaan negara guna mewujudkan tujuan nasional. Karena itu, menurut William G. Andrews, “Under consti¬tutionalism, two types of limitations impinge on govern¬ment. Power proscribe and procedures prescribed” . Konstitu¬sio¬nalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu: Pertama, hubungan antara pemerintahan dengan warga negara; dan Kedua, hubungan antara lem¬baga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Karena itu, biasanya, isi konstitusi dimak¬sudkan untuk mengatur mengenai tiga hal penting, yaitu: (a) me¬nen¬¬tukan pembatasan kekuasaan organ-organ negara, (b) meng¬atur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain, dan (c) mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara.
Dengan demikian, salah satu materi penting dan selalu ada dalam konstitusi adalah pengaturan tentang lembaga negara. Hal itu dapat dimengerti karena kekuasaan negara pada akhirnya diterjemahkan ke dalam tugas dan wewenang lembaga negara. Tercapai tidaknya tujuan bernegara berujung pada bagaimana lembaga-lembaga negara tersebut melaksanakan tugas dan wewenang konstitusionalnya serta hubungan antarlembaga negara. Pengaturan lembaga negara dan hubungan antarlembaga negara merefleksikan pilihan dasar-dasar kenegaraan yang dianut.

Trend Perubahan Kelembagaan Negara
Sejak dasawarsa 70-an abad ke-XX, muncul ge¬lombang liberalisasi politik, ekonomi dan kebudayaan besar-besaran di seluruh penjuru dunia. Di bidang politik, muncul gerakan demokratisasi dan hak asasi manusia yang sangat kuat di hampir seluruh dunia. Penggambaran yang menyeluruh dan komprehensif me¬ngenai hal ini dapat dibaca dalam tulisan Samuel Huntington dalam tulisannya “Will More Countries Become Democratic?” (1984). Dalam tulisan ini, Huntington menggambarkan adanya tiga gelombang besar demokrasi sejak revolusi Amerika Serikat tahun 1776. Gelombang pertama berlangsung sampai dengan tahun 1922 yang ditandai oleh peristiwa-peristiwa besar di Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, dan Italia. Setelah itu, gerakan demokratisasi meng¬alami backlash dengan munculnya fasisme, totali¬tarianisme, dan stalinisme terutama di Jerman (Hitler), Italia (Musolini), dan Rusia (Stalin).
Gelombang kedua terjadi sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua, fasisme dan totalitarianisme berhasil dihancurkan, pada saat yang sama muncul pula gelombang dekolonisasi besar-besaran, menumbang imperialisme dan kolonialisme. Karena itu, di¬katakan bahwa Perang Dunia II berakhir bukan hanya dengan kemenangan negara pemenangnya sendiri, melainkan dimenangkan oleh ide demokrasi, baik di negara-negara pemenang Perang Dunia Kedua itu sen¬diri maupun di negara-negara yang kalah perang dan semua negara bekas jajahan di seluruh dunia, terutama di benua Asia dan Afrika. Namun, gelombang kedua ini mulai terhambat laju perkembangannya sejak tahun 1958 dengan munculnya fenomena rezim bureaucratic authoritarianism di mana-mana di seluruh dunia. Backlash kedua ini timbul karena dinamika internal yang terjadi di masing-masing negara yang baru mer¬de¬ka yang memerlukan konsolidasi kekuasaan yang ter¬sentralisasi dan terkonsentrasi di pusat-pusat ke¬kua¬saan negara.
Gejala otoritarianisme itu berlangsung beberapa dasawarsa, sebelum akhirnya ditembus oleh munculnya gelombang demokrasi ketiga, terutama sejak tahun 1974, yaitu dengan munculnya gelombang gerakan pro demokrasi di Eropa Selatan seperti di Yunani, Spanyol, dan Portugal, dilanjutkan oleh negara-negara Amerika Latin seperti di Brazil dan Argentina. Gelombang ketiga ini berlangsung pula di Asia, seperti di Filipina, Korea Selatan, Thailand, Burma, dan Indonesia. Terakhir, puncaknya gelombang demokrasi melanda pula negara-negara Eropa Timur dan Uni Soviet yang kemudian ber¬ubah dari rezim komunis menjadi demokrasi.
Sementara itu, gelombang perubahan di bidang ekonomi juga berlangsung sangat cepat sejak tahun 1970-an. Penggambaran mengenai terjadinya Mega Trends seperti yang ditulis oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene memperlihatkan dengan jelas bagaimana di seluruh dunia, negara-negara inter¬ven¬sionist di seluruh dunia dipaksa oleh keadaan untuk mengurangi campur tangannya dalam urusan-urusan bisnis. Sejak tahun 1970, terjadi gelombang privatisasi, deregulasi, dan debirokratisasi besar-besaran di Ing¬gris, di Perancis, di Jerman, di Jepang, dan di Amerika Serikat. Bahkan hampir semua negara di dunia dipaksa oleh keadaan untuk mengadakan privatisasi terhadap badan usaha yang sebelumnya dimiliki dan dikelola oleh negara.
Di bidang kebudayaan, yang terjadi juga serupa dengan gelombang perubahan di bidang politik dan ekonomi. Dengan semakin meningkatnya perkem¬bangan teknologi transportasi, komunikasi, tele¬ko¬mu¬ni¬¬kasi, dan informasi, dunia semakin berubah menjadi satu, dan semua aspek kehidupan mengalami proses globalisasi. Cara berpikir umat manusia dipaksa oleh ke¬adaan mengarah kepada sistem nilai yang serupa. Bahkan, dalam persoalan selera musik, selera, ma¬kanan, dan selera berpakaianpun terjadi proses penye¬ra¬gaman dan hubungan saling pengaruh mem-penga¬ruhi antar negara. Sementara itu, sebagai respons ter¬hadap gejala penyeragaman itu, timbul pula fenomea perlawanan budaya dari berbagai tradisi lokal di setiap negara, sehingga muncul gelombang yang saling ber¬sitegang satu sama lain, antara globalisasi versus lokalisasi, sehingga secara berseloroh melahirkan istilah baru yang dikenal dengan glokalisasi.
Perubahan-perubahan itu, pada pokoknya, me¬nun¬tut respons yang lebih adaptif dari organisasi negara dan pemerintahan. Semakin demokratis dan berorientasi pasar suatu negara, semakin organisasi ne¬gara itu harus mengurangi perannya dan membatasi diri untuk tidak mencampuri dinamika urusan masya¬rakat dan pasar yang mempunyai mekanisme kerjanya sendiri. Dengan perkataan lain, konsepsi negara kese¬jah¬teraan (welfare state) yang sebelumnya meng¬ideal¬kan perluasan tanggungjawab negara ke dalam urusan-urusan masyarakat dan pasar, pada masa kini dituntut untuk melakukan liberalisasi dengan mengurangi peran un¬tuk menjamin efisiensi dan efektifitas pelayanan umum yang lebih memenuhi harapan rakyat.
Jika dibandingkan dengan kecenderungan se¬lama abad ke-20, dan terutama sesudah Perang Dunia Kedua, ketika gagasan welfare state atau negara kesejahteraan sedang tumbuh sangat populer di dunia, hal ini jelas bertolak belakang. Sebagai akibat kelemahan-kelemahan paham liberalisme dan kapi¬talis¬me klasik, pada abad ke-19 muncul paham sosialisme yang sangat populer dan melahirkan doktrin welfare state sebagai reaksi terhadap doktrin nach¬wach¬taersstaat yang mendalilkan doktrin the best government is the least government. Dalam paham negara kesejahteraan, adalah tanggungjawab sosial negara untuk mengurusi nasib orang miskin dan yang tak berpunya. Karena itu, negara dituntut berperan lebih, sehingga format kelembagaan orga¬ni¬sasi birokrasinya juga menjangkau kebutuhan yang lebih luas. Saking luasnya bidang-bidang yang mesti ditangani oleh pemerintahan welfare state, maka dalam perkembangannya kemudian muncul sebutan intervensionist state.
Dalam bentuknya yang paling ekstrim muncul pula rezim negara-negara komunis pada kutub yang sangat kiri. Semua urusan ditangani sendiri oleh biro¬krasi negara sehingga ruang kebebasan dalam kehidupan masyarakat (civil society) menjadi sangat sempit. Akibatnya, birokrasi negara-negara kesejah¬teraan itu di hampir seluruh dunia mengalami in¬efisiensi. Di satu sisi, bentuknya terus berkembang menjadi sangat besar, dan cara kerjanyapun menjadi sangat lamban dan sangat tidak efisien. Di pihak lain, kebebasan warga negara menjadi terkungkung dan ketakutan terus menghantui kehidupan warga negara. Sementara itu, karena perkembangan ilmu penge¬tahuan dan teknologi serta dinamika kehidupan nasio¬nal, regional, dan internasional yang cenderung berubah sangat dinamis, aneka aspirasi ke arah per¬ubahan meluas pula di setiap negara di dunia, baik di bidang ekonomi maupun politik. Tuntutan aspirasi itu pada pokoknya mengarah kepada aspirasi demokra¬tisasi dan pengurangan peranan negara di semua bi¬dang kehidupan, seperti yang tercermin dalam gelombang ketiga demokratisasi yang digambarkan oleh Samuel P. Huntington tersebut di atas.
Dengan adanya tuntutan perkembangan yang demikian itu, negara modern dewasa ini seakan dituntut untuk berpaling kembali ke doktrin lama seperti dalam paham nachwachtersstaat abad ke-18 dengan mengidealkan prinsip the best government is the least government. Tentu saja, negara modern sekarang tidak mungkin kembali ke masa lalu begitu saja. Dunia terus berkembang. Jarum jam tidak mungkin kembali ke masa lalu. Namun demikian, meskipun negara modern sekarang tidak mungkin lagi kembali ke doktrin abad ke-18, keadaan obyektif yang harus dihadapi dewasa ini memang mengharuskan semua pemerintahan negara-negara di dunia melaku¬kan perubahan besar-besaran terhadap format kelem¬ba¬gaan yang diwarisi dari masa lalu. Perubahan dimaksud harus dilakukan untuk merspons kebutuhan nyata secara tepat. Semua negara modern sekarang ini tidak dapat lagi mempertahankan format lama kelem¬bagaan negara dan birokrasi pemerintahannya yang ma¬kin dirasakan tidak efisien dalam memenuhi tun¬tutan aspirasi rakyat yang terus meningkat.
Semua negara dituntut untuk mengadakan pem¬baruan di sektor birokrasi dan administrasi publik. Sebagai gambaran, setelah masing-masing melakukan pembaruan tersebut secara besar-besaran sejak dasawarsa 1970-an dan 1980-an, hampir semua negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), mengembangkan kebijakan yang sama. Alice Rivlin, dalam laporannya pada tahun 1996 ketika menjabat Director of the U.S. Office of Management and Budget menyatakan bahwa sebagian terbesar dari 24 negara anggota OECD sama-sama menghadapi tekanan fundamental untuk melakukan perubahan, yaitu karena faktor ekonomi global, ketidakpuasan warganegara, dan krisis fiskal. Dalam laporan itu, Alice Rivlin menyatakan bahwa respons yang diberikan oleh hampir semua negara relatif sama, yaitu dengan melakukan tujuh agenda sebagai berikut:
1) decentralisation of authority within governmental units and devolution of responsibilities to lower levels of government;
2) a re-examination of what government should both do and pay for, what it should pay for but not do, and what it should neither do nor pay for;
3) downsizing the public service and the privati¬sation and corporatisation of activities;
4) consideration of more cost-effective ways of delivering services, such as contracting out, market mechanisms, and users charges;
5) “customer orientation, including explicit quality standards for public services”;
6) benchmarking and measuring performance; and
7) reforms designed to simplify regulation and reduce its costs.

Menurut Laporan OECD yang dikemukakan oleh Alice Rivlin tersebut, untuk menghadapi tantangan ekonomi global dan ketidakpuasan warganegara yang tuntutan kepentingannya terus meningkat, semua negara OECD dipaksa oleh keadaan untuk melakukan serangkaian agenda pembaruan yang bersifat sangat mendasar. Pertama, unit-unit pemerintahan harus mendesentralisasikan kewenangan dan devolusi per¬tang-gung-jawaban ke lapisan pemerintahan yang lebih rendah; Kedua, semua pemerintahan perlu meng¬adakan penilaian kembali mengenai (i) apa yang peme¬rintah harus dibiayai dan lakukan oleh pemerintah, (ii) apa yang harus dibiayai tetapi tidak perlu dilakukan sendiri, dan (iii) apa yang tidak perlu dibiayai sendiri dan sekaligus tidak perlu dilakukan sendiri; Ketiga, semua pemerintah perlu memperkecil unit-unit organisasi pelayanan umum, dan memprivatisasikan serta mengkorporatisasikan kegiatan-kegiatan yang sebelumnya ditangani pemerintah. Keempat, semua pemerintahan dianjurkan untuk mengembangkan kebijakan yang pelayanan yang lebih cost-effective, seperti kontrak out-sourcing, mekanisme percaya, dan biaya konsumen (users charges); Kelima, semua pemerintahan berorientasi kepada konsumen, ter¬ma¬suk dalam mengembangkan pelayanan umum dengan kualitas yang pasti; Keenam, melakukan bench¬marking dan penilaian kinerja yang terukur; dan Ketujuh, mengadakan reformasi atau pembaruan yang didesain untuk menyederhanakan regulasi dan mengu¬rangi biaya-biaya yang tidak efisien .
Semua kebijakan tersebut penting dilakukan un¬tuk maksud mengadakan apa yang oleh David Osborne dan Ted Gaebler disebut reinventing government. Buku terakhir ini malah sangat terkenal di Indonesia. Sejak pertama diterbitkan, langsung mendapat perhatian masyarakat luas, termasuk di Indonesia. Bahkan sejak tahun 1990-an, buku ini dijadikan standar dalam rangka pendidikan dan pelatihan pejabat tinggi pemerintahan untuk menduduki jabatan eselon 3, eselon 2, dan bahkan eselon 1 yang diselenggarakan oleh Lembaga Admi¬nistrasi Negara (LAN). Ide pokoknya adalah untuk menyadarkan penentu kebijakan mengenai bobroknya birokrasi negara yang diwarisi dari masa lalu, dan memperkenalkan ke dalam dunia birokrasi itu sistem nilai dan kultur kerja yang lebih efisien, seperti yang lazim dipraktekkan di dunia usaha dan di kalangan para enterpreneurs.
Mengiringi, melanjutkan, dan bahkan men¬da¬hului buku David Osborne dan Ted Gaebler ini bahkan banyak lagi buku-buku lain yang mengkritik kinerja birokrasi negara modern yang dianggap tidak efisien. Misalnya, seorang psikolog sosial, Warren G. Bennis, menggambarkan dalam tulisannya “The Coming Death of Bureaucracy” (1966) bahwa bureaucracy has become obsolete. Untuk mengatasi gejala the death of bureaucracy tersebut, baik di tingkat pusat maupun di daerah di berbagai negara dibentuk banyak lembaga baru yang diharapkan dapat bekerja lebih efisien. Da¬lam studi yang dilakukan Gerry Stoker terhadap pe¬merintah lokal Inggris, misalnya, ditemukan kenyataan bahwa:
“Prior to the reorganisation in 1972-4, local authorities worked through a variety of joint committees and boards to achieve economies of scale in service provision (for example in bus operation); to undertake the joint management of a shared facility (for example, a crematorium); or to plan transport and land-use policies across a number of authorities (Flynn and Leach, 1984) . Central government too created a number of powerful single-purpose agencies including Regio¬nal Hospital Boards (and later in 1974, Area and Regional Health Authorities);”

Di Inggris, gejala perkembangan organisasi non-elected agencies ini telah muncul sejak sebelum diperkenalkannya kebijakan reorganisasi antara tahun 1972-1974. Pemerintahan lokal di Inggris sudah biasa bekerja dengan menggunakan banyak ragam dan bentuk organisasi yang disebut joint committees, boards, dan sebagainya untuk tujuan mencapai prinsip economies of scale dalam rangka peningkatan pelayanan umum. Misalnya, dalam pengoperasian transportasi bus umum, dibentuk kelembagaan tersendiri yang disebut board atau authority.
Pemerintah Inggris menciptakan beraneka ragam lembaga baru yang sangat kuat kekuasaannya dalam urusan-urusan yang sangat spesifik. Misalnya, pada mulanya dibentuk Regional Hospital Board dan kemudian pada tahun 1974 menjadi Area and Regio¬nal Health Authorities. New Town Develop¬ment Corporation juga dibentuk untuk maksud me¬nyukseskan program yang diharapkan akan meng¬hubung-kan kota-kota satelit di sekitar kota-kota metoropolitan seperti London dan lain-lain. Demikian pula untuk program pembangunan perdesaan, di¬bentuk pula badan-badan otoritas yang khusus me¬nangani Rural Development Agencies di daerah-daerah Mid-Wales dan the Scottish Highlands.
Perkembangan yang terjadi di negara-negara lain kurang lebih juga sama dengan apa yang terjadi di Inggris. Sebabnya ialah karena berbagai kesulitan ekonomi dan ketidakstablan akibat terjadinya berbagai perubahan sosial dan ekonomi memaksa banyak negara melakukan eksperimentasi kelembagaan (institutional experimentation) melalui berbagai bentuk organ pemerintahan yang dinilai lebih efektif dan efisien, baik di tingkat nasional atau pusat maupun di tingkat daerah atau lokal. Perubahan-perubahan itu, terutama terjadi pada non-elected agencies yang dapat dilakukan secara lebih fleksibel dibandingkan dengan elected agencies seperti parlemen. Tujuannya tidak lain adalah untuk menerapkan prinsip efisiensi agar pelayanan umum (public services) dapat benar-benar efektif. Untuk itu, birokrasi dituntut berubah menjadi slimming down bureaucracies yang pada intinya diliberalisasikan sedemikian rupa untuk memenuhi tuntutan perkembangan di era liberalisme baru.
Di berbagai negara juga terbentuk berbagai organisasi atau lembaga yang disebut dengan rupa-rupa istilah seperti dewan, komisi, badan, otorita, lembaga, agencies, dan sebagainya. Namun, dalam pengalaman di banyak negara, tujuan yang mulia untuk efisiensi dan efektifitas pelayanan umum (public services) tidak selalu belangsung mulus sesuai dengan yang diharap¬kan. Karena itu, kita perlu belajar dari kekurangan dan kelemahan yang dialami oleh berbagai negara, sehingga kecenderungan untuk latah di negara-negara sedang ber¬kembang untuk meniru negara maju dalam me¬lakukan pembaharuan di berbagai sektor publik dapat meminimalisasi potensi kegagalan yang tidak perlu. Bentuk-bentuk organisasi, dewan, badan, atau komisi-komisi yang dibentuk itu, menurut Gerry Stoker dapat dibagi ke dalam enam tipe organisasi, yaitu:
1. Tipe pertama adalah organ yang bersifat central government’s arm’s length agency;
2. Tipe kedua, organ yang merupakan local authority implementation agency;
3. Tipe ketiga, organ atau institusi sebagai public/private partnership organisation;
4. Tipe keempat, organ sebagai user-organisation.
5. Tipe kelima, organ yang merupakan inter-governmental forum;
6. Tipe Keenam, organ yang merupakan Joint Boards.

Ragam bentuk organ pemerintahan mencakup struktur yang sangat bervariasi, meliputi pemerintah pusat, kementerian-kementerian yang bersifat teritorial (territorial ministeries), ataupun intermediate insti¬tutions. Organ-organ tersebut pada umumnya berfungsi sebagai a quasi-governmental world of appoin¬ted bodies, dan bersifat non-departmental agencies, single purpose authorities, dan mixed public-private institutions. Sifatnya quasi atau semi pemerintahan, dan diberi fungsi tunggal ataupun kadang-kadang fungsi campuran seperti di satu pihak sebagai pengatur (regulator), tetapi juga menghukum seperti yudikatif yang dicampur dengan legislatif.
Di negara-negara demokrasi yang telah mapan, seperti di Amerika Serikat dan Perancis, pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-20, juga banyak ber¬tum¬buhan lembaga-lembaga negara baru. Lembaga-lem¬baga baru tersebut biasa disebut sebagai state auxiliary organs, atau auxiliary institutions sebagai lembaga negara yang bersifat penunjang. Di antara lembaga-lembaga itu kadang-kadang ada juga yang disebut sebagai self regulatory agencies, independent supervisory bodies, atau lembaga-lembaga yang men¬jalankan fungsi campuran (mix-function) antara fungsi-fungsi regulatif, administratif, dan fungsi peng¬hukum¬an yang biasanya dipisahkan tetapi justru dilakukan secara bersamaan oleh lembaga-lembaga baru tersebut.
Di antaranya, ada pula lembaga-lembaga yang hanya bersifat ad hoc atau tidak permanen. Badan-badan atau lembaga-lembaga yang bersifat ad hoc itu, betapapun, menurut John Alder, tetap dapat disebut memiliki alasan pembenaran konstitusionalnya sendiri (constitutional justification). Menurutnya ,
“Ad hoc bodies can equally be used as a method of dispersing power or as a method of concentrating power in the hands of central government nominees without the safeguard of parliamentary or democratic accountability. The extent of governmental control can be manipulated according to the particular circumstances.”

Lembaga-lembaga negara yang bersifat ad hoc itu di Inggris, menurut Sir Ivor Jennings, biasanya dibentuk karena salah satu dari lima alasan utama (five main reaons), yaitu:
1. The need to provide cultural or personal services supposedly free from the risk of political interference. Berkembangnya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budaya atau pelayanan yang bersifat personal yang diidealkan bebas dari risiko campur tangan politik, seperti misalnya the BBC (British Broadcasting Corporation);
2. The desirability of non-political regulation of markets. Adanya keinginan untuk mengatur dinamika pasar yang sama sekali bersifat non-politik, seperti misalnya Milk Marketing Boards;
3. The regulation of independent professions such as medicine and the law. Keperluan mengatur profesi-profesi yang bersifat independen seperti di bidang hukum kedokteran;
4. The provisions of technical services. Kebutuhan untuk mengadakan aturan mengenai pelayanan-pelayanan yang bersifat teknis (technical services) seperti antara lain dengan dibentuknya komisi, the Forestry Commission;
5. The creation of informal judicial machinery for settling disputes. Terbentuknya berbagai institusi yang berfungsi sebagai alat perlengkapan yang bersifat semi-judisial untuk menyelesaikan berbagai sengketa di luar peradilan sebagai ‘alternative dispute resolution’ (ADR).

Kelima alasan tersebut ditambah oleh John Alder dengan alasan keenam, yaitu adanya ide bahwa public ownership of key sectors of the economy is desirable in itself. Pemilikan oleh publik di bidang-bidang ekonomi atau sektor-sektor tertentu dianggap lebih tepat diorganisasikan dalam wadah organisasi tersendiri, seperti yang banyak dikembangkan akhir-akhir ini, misalnya dengan ide Badan Hukum Milik Negara (BHMN).
Karena demikian banyak jumlah dan ragam corak lembaga-lembaga ini, oleh para sarjana biasa dibedakan antara sebutan agencies, institutions atau establishment, dan quango’s (quasi autonomous NGO’s). Dari segi tipe dan fungsi administrasinya, oleh Yves Meny dan Andrew Knapp, secara sederhana juga dibedakan adanya tiga tipe utama lembaga-lembaga pemerintahan yang bersifat khusus tersebut (three main types of specialized administration), yaitu: (i) regulatory and monitoring bodies (badan-badan yang melakukan fungsi regulasi dan pemantuan); (ii) those responsible for the management of public services (badan-badan yang bertanggungjawab melakukan pengelolaan pelayanan umum); and (iii) those engaged in productive activities (badan-badan yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan produksi).
Dari pengalaman di berbagai negara, dapat diketahui bahwa semua bentuk organisasi, badan, dewan, komisi, otorita, dan agencies yang dikemukakan di atas tumbuh begitu saja bagaikan cendawan di musim hujan. Ketika ide pembaruan kelembagaan diterima sebagai pendapat umum, maka dimana di semua lini dan semua bidang, orang berusaha untuk menerapkan ide pembentukan lembaga dan organisasi-organisasi baru itu dengan idealisme, yaitu untuk modernisasi dan pembaruan menuju efisiensi dan efektifitas pelayanan. Akan tetapi, yang menjadi masalah ialah, proses pembentukan lembaga-lembaga baru itu tumbuh cepat tanpa didasarkan atas desain yang matang dan komprehensif.
Timbulnya ide demi ide bersifat sangat reaktif, sektoral, dan bersifat dadakan, tetapi dibungkus oleh idealisme dan heroisme yang tinggi. Ide pembaruan yang menyertai pembentukan lembaga-lembaga baru itu pada umumnya didasarkan atas dorongan untuk mewujudkan idenya sesegera mungkin karena adanya momentum politik yang lebih memberi kesempatan untuk dilakukannya demokratisasi di segala bidang. Oleh karena itu, trend pembentukan lembaga-lembaga baru itu tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan, sehingga jumlahnya banyak sekali, tanpa disertai oleh penciutan peran birokrasi yang besar.
Upaya untuk melakukan slimming down bureaucracies seperti yang dikemukakan oleh Stephen P. Robbins, belum lagi berhasil dilakukan, lembaga-lembaga baru yang demikian banyak malah sudah dibentuk di mana-mana. Akibatnya, bukan efisiensi yang dihasilkan, melainkan justru menambah in¬efisien¬si karena meningkatkan beban anggaran negara dan menambah jumlah personil pemerintah menjadi semakin banyak. Kadang-kadang ada pula lembaga yang dibentuk dengan maksud hanya bersifat ad hoc untuk masa waktu tertentu. Akan tetapi, karena banyak jumlahnya, sampai waktunya habis, lembaganya tidak atau belum juga dibubarkan, sementara para peng¬urusnya terus menerus digaji dari anggaran pen¬dapatan dan belanja negara ataupun anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Dengan perkataan lain, pengalaman praktek di banyak negara menunjukkan bahwa tanpa adanya desain yang mencakup dan menyeluruh mengenai kebutuhan akan pembentukan lembaga-lembaga negara tersebut, yang akan dihasilkan bukanlah efisiensi, tetapi malah semakin inefisien dan menga¬caukan fungsi-fungsi antar lembaga-lembaga negara itu sendiri dalam mengefektifkan dan mengefisienkan pelayanan umum (public services). Apalagi, jika ne¬gara-negara yang sedang berkembang dipimpin oleh mereka yang mengidap penyakit inferiority complex yang mudah kagum untuk meniru begitu saja apa yang dipraktekkan di negara maju tanpa kesiapan sosial-budaya dan kerangka kelembagaan dari masyarakatnya untuk menerapkan ide-ide mulia yang datang dari dunia lain itu.
Perubahan-perubahan dalam bentuk perombak¬an mendasar terhadap struktur kelembagaan negara dan birokrasi pemerintahan di semua lapisan dan di semua sektor, selama sepeuluh tahun terakhir dapat dikatakan sangat luas dan mendasar. Apalagi, dengan adanya perubahan UUD 1945, maka desain makro kerangka kelembagaan negara kita juga harus ditata kembali sesuai dengan cetak biru yang diamanatkan oleh UUD 1945 hasil empat rangkaian perubahan pertama dalam sejarah republik kita. Kalau dalam praktek, kita mendapati bahwa ide-ide dan rancangan-rancangan perubahan kelembagaan datang begitu saja pada setiap waktu dan pada setiap sektor, maka dapat dikatakan bahwa perombakan struktural yang sedang terjadi berlangsung tanpa desain yang menyeluruh, persis seperti pengalaman yang terjadi di banyak negara lain yang justru terbukti tidak menghasilkan efisiensi seperti yang diharapkan. Karena itu, di masa transisi sejak tahun 1998, sebaiknya bangsa kita melakukan konsolidasi kelembagaan besar-besaran dalam rangka menata kembali sistem kelembagaan negara kita sesuai dengan amanat UUD 1945.
Hubungan AntarLembaga Negara Berdasarkan UUD 1945
1. Pengertian Lembaga Negara
Untuk memahami pengertian lembaga atau organ negara se¬ca¬ra lebih dalam, kita dapat mendekatinya dari pan¬dang¬an Hans Kelsen mengenai the concept of the State-Organ da¬lam bukunya General Theory of Law and State. Hans Kel¬sen menguraikan bahwa “Whoever fulfills a func¬tion determined by the legal order is an organ”. Siapa sa¬ja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh su¬a¬tu tata-hukum (legal order) adalah suatu organ.
Artinya, organ negara itu tidak selalu berbentuk or¬ga¬¬nik. Di samping organ yang berbentuk organik, lebih lu¬¬¬as lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pu¬¬la disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat men¬¬¬cipta¬kan norma (normcreating) dan/atau bersifat men¬¬¬¬jalan¬kan norma (norm applying). “These functions, be they of a norm-creating or of a norm-applying charac¬ter, are all ultimately aimed at the execution of a legal sanc¬tion”.
Menurut Kelsen, parlemen yang menetapkan un¬dang-undang dan warga negara yang memilih para wakil¬nya melalui pemilihan umum sama-sama merupakan or¬gan negara dalam arti luas. Demikian pula hakim yang meng¬¬adili dan menghukum penjahat dan terpidana yang men¬jalan¬kan hukuman tersebut di lembaga pemasyara-kat¬¬an, adalah juga merupakan organ negara. Pendek kata, da¬lam pengertian yang luas ini, organ negara itu identik dengan individu yang menjalankan fungsi atau jabatan ter¬tentu dalam konteks kegiatan bernegara. Inilah yang di¬¬sebut sebagai jabatan publik atau jabatan umum (public offi¬ces) dan pejabat publik atau pejabat umum (public offi¬cials).
Di samping pengertian luas itu, Hans Kelsen juga meng¬urai¬kan adanya pengertian organ negara dalam arti yang sempit, yaitu pengertian organ dalam arti materiil. In¬¬dividu dikatakan organ negara hanya apabila ia secara pri¬¬¬badi memiliki kedudukan hukum yang tertentu (...he per¬¬¬sonally has a specific legal position). Suatu transaksi hukum perdata, misalnya, kontrak, adalah merupakan tin¬dak¬an atau perbuatan yang menciptakan hukum seperti halnya suatu putusan pengadilan.
Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan non-departemen, atau lembaga negara saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh UUD, ada pula yang di-bentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari UU, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasar¬kan Ke¬pu¬tusan Presiden. Hirarki atau ranking kedudukan¬nya tentu saja tergantung pada derajat pengaturannya me¬nu¬rut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD me¬rupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk ber¬dasarkan UU merupakan organ UU, sementara yang hanya dibentuk karena keputusan presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum ter¬ha¬dap pejabat yang duduk di dalamnya. Demikian pula jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan ber¬da¬sarkan Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi ting¬katan¬nya.
Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara, ada dua unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya; organ adalah status bentuknya (Inggris: form, Jerman: vorm) , sedangkan functie adalah gerakan wadah itu sesuai maksud pembentukannya. Dalam naskah Un¬dang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, organ-organ yang dimaksud, ada yang disebut secara eksplisit namanya, dan ada pula yang disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ yang disebut bahwa baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah.

2. Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945
Jika dikaitkan dengan hal tersebut di atas, maka dapat dikemukakan bahwa dalam UUD 1945, terdapat tidak kurang dari 34 organ yang disebut keberadaannya dalam UUD 1945. Ke-34 organ atau lembaga tersebut adalah:
1) Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR) diatur dalam Bab III UUD 1945 yang juga diberi judul "Majelis permusyawaratan Rakyat". Bab III ini berisi dua pasal, yaitu Pasal 2 yang terdiri atas tiga ayat, Pasal 3 yang juga terdiri atas tiga ayat;
2) Presiden yang diatur keberadaannya dalam Bab III UUD 1945, dimulai dari Pasal 4 ayat (1) dalam pengaturan mengenai Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berisi 17 pasal;
3) Wakil Presiden yang keberadaannya juga diatur dalam Pasal 4 yaitu pada ayat (2) UUD 1945. Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 itu menegaskan, "Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden";
4) Menteri dan Kementerian Negara yang diatur tersendiri dalam Bab V UUD 1945, yaitu pada Pasal17 ayat(1), (2), dan (3);
5) Menteri Luar Negeri sebagai menteri triumpirat yang dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) UUD 1945, yaitu bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan sebagai pelaksana tugas kepresidenan apabila terdapat kekosongan dalam waktu yang bersamaan dalam jabatan Presiden dan Wakil Presiden;
6) Menteri Dalam Negeri sebagai triumpirat bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945;
7) Menteri Pertahanan yang bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri ditentukan sebagai menteri triumpirat menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945. Ketiganya perlu disebut secara sendiri-sendiri, karena dapat saja terjadi konflik atau sengketa kewenangan konstitusional di antara sesama mereka, atau antara mereka dengan menteri lain atau lembaga negara lainnya;
8) Dewan Pertimbangan Presiden yang diatur dalam Pasal 16 Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berbunyi, "Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang";
9) Duta seperti diatur dalam Pasal13 ayat (1) dan (2);
10) Konsul seperti yang diatur dalam Pasal13 ayat (1);
11) Pemerintahan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945;
12) Gubemur Kepala Pemerintah Daerah seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945;
13) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, seperti yang diatur dalam Pasal18 ayat 3 UUD 1945;
14) Pemerintahan Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945;
15) Bupati Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten seperti yang diatur dalam Pasal18 ayat (4) UUD 1945;
16) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten seperti yang diatur dalam Pasal18 ayat (3) UUD 1945;
17) Pemerintahan Daerah Kota sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945;
18) Walikota Kepala Pemerintah Daerah Kota seperti yang diatur dalam Pasal18 ayat (4) UUD 1945;
19) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota seperti yang diatur oleh Pasal 18 ayat (3) UUD 1945;
20) Satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau istimewa seperti dimaksud oleh Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, diatur dengan undang-undang. Karena kedudukannya yang khusus dan diistimewakan, satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa ini diatur tersendiri oleh UUD 1945. Misalnya, status Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintahan Daerah Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua, serta Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Ketentuan mengenai kekhususan atau keistimewaannya itu diatur dengan undang-undang. Oleh karena itu, pemerintahan daerah yang demikian ini perlu disebut secara tersendiri sebagai lembaga atau organ yang keberadaannya diakui dan dihormati oleh negara.
21) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diatur dalam Bab VII UUD 1945 yang berisi Pasal 19 sampai dengan Pasal 22B;
22) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang diatur dalam Bab VIIA yang terdiri atas Pasal 22C dan Pasal 220;
23) Komisi Penyelenggaran Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang menentukan bahwa pemilihan umum harus diselenggarakan oleh suatu komisi yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Nama "Komisi Pemilihan Umum" bukanlah nama yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh Undang-Undang;
24) Bank sentral yang disebut eksplisit oleh Pasal 230, yaitu "Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang". Seperti halnya dengan Komisi Pemilihan Umum, UUD 1945 belum menentukan nama bank sentral yang dimaksud. Memang benar, nama bank sentral sekarang adalah Bank Indonesia. Tetapi, nama Bank Indonesia bukan nama yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh undang-undang berdasarkan kenyataan yang diwarisi dari sejarah di masa lalu.
25) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diatur tersendiri dalam Bab VIIIA dengan judul "Badan Pemeriksa Keuangan", dan terdiri atas 3 pasal, yaitu Pasal 23E (3 ayat), Pasal 23F (2 ayat), dan Pasal 23G (2 ayat);
26) Mahkamah Agung (MA) yang keberadaannya diatur dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945;
27) Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga diatur keberadaannya dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945;
28) Komisi Yudisial yang juga diatur dalam Bab IX, Pasal 24B UUD 1945 sebagai auxiliary organ terhadap Mahkamah Agung yang diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945;
29) Tentara Nasional Indonesia (TNI) diatur tersendiri dalam UUD 1945, yaitu dalam Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, pada Pasal 30 UUD 1945;
30) Angkatan Darat (TNI AD) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
31) Angkatan Laut (TNI AL) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
32) Angkatan Udara (TNI AU) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
33) Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) yang juga diatur dalam Bab XII Pasal 30 UUD 1945;
34) Badan-badan lain yang fungsinya terkait dengan kehakiman seperti kejaksaan diatur dalam undang-undang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, "Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang".

Jika diuraikan lebih rinci lagi, apa yang ditentukan dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 tersebut dapat pula membuka pintu bagi lembaga-lembaga negara lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945. Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menentukan, "Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang". Artinya, selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, serta Komisi Yudisial dan kepolisian negara yang sudah diatur dalam UUD 1945, masih ada badan-badan lainnya yang jumlahnya lebih dari satu yang mempunyai fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Badan-badan lain yang dimaksud itu antara lain adalah Kejaksaan Agung yang semula dalam rancangan Perubahan UUD 1945 tercantum sebagai salah satu lembaga yang diusulkan diatur dalam Bab tentang Kekuasaan Kehakiman, tetapi tidak mendapat kesepakatan, sehingga pengaturannya dalam UUD 1945 ditiadakan.
Namun, karena yang disebut dalam Pasal 24 ayat (3) tersebut di atas adalah badan-badan, berarti jumlahnya lebih dari satu. Artinya, selain Kejaksaan Agung, masih ada lagi lembaga lain yang fungsinya juga berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yaitu yang menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan. Lembaga-lembaga dimaksud misalnya adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), dan sebagainya. Lembaga-lembaga ini, seperti halnya Kejaksaan Agung, meskipun tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945, tetapi sama-sama memiliki constitutional importance dalam sistem konstitusional berdasarkan UUD 1945.
Misalnya, mengenai keberadaan Komnas Hak Asasi Manusia. Materi perlindungan konstitusional hak asasi manusia merupakan materi utama setiap konstitusi tertulis di dunia. Untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak asasi manusia itu, dengan sengaja negara membentuk satu komisi yang bernama Komnasham (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Artinya, keberadaan lembaga negara bernama Komnas Hak Asasi Manusia itu sendiri sangat penting bagi negara demokrasi konstitusional. Karena itu, meskipun pengaturan dan pembentukannya hanya didasarkan atas undang¬-undang, tidak ditentukan sendiri dalam UUD, tetapi keberadaannya sebagai lembaga negara mempunyai apa yang disebut sebagai constitutional importance yang sama dengan lembaga-lembaga negara lainnya yang disebutkan eksplisit dalam UUD 1945.
Sama halnya dengan keberadaan Kejaksaan Agung dan kepolisian negara dalam setiap sistem negara demokrasi konstitusional ataupun negara hukum yang demokratis. Keduanya mempunyai derajat kepentingan (importance) yang sama. Namun, dalam UUD 1945, yang ditentukan kewenangannya hanya kepolisian negara yaitu dalam Pasal 30, sedangkan Kejaksaan Agung sama sekali tidak disebut. Hal tidak disebutnya Kejaksaan Agung yang dibandingkan dengan disebutnya Kepolisian dalam UUD 1945, tidak dapat dijadikan alasan untuk menilai bahwa kepolisian negara itu lebih penting daripada Kejaksaan Agung. Kedua-duanya sama-sama penting atau memiliki constitutional importance yang sama. Setiap yang mengaku menganut prinsip demokrasi konstitusional atau negara hukum yang demokratis, haruslah memiliki perangkat kelembagaan kepolisian negara dan kejaksaan sebagai lembaga-lembaga penegak hukum yang efektif.

3. Pembedaan Dari Segi Fungsi dan Hierarki
Dari segi fungsinya, ke-34 lembaga tersebut, ada yang bersifat utama atau primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary). Sedangkan dari segi hirarkinya, ke-30 lembaga itu dapat dibedakan ke dalam tiga lapis. Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara. Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja, sedangkan organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah. Memang benar sekarang tidak ada lagi sebutan lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara. Namun, untuk memudahkan pengertian, organ-organ konstitusi pada lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara, yaitu:
1) Presiden dan Wakil Presiden;
2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
3) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
4) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
5) Mahkamah Konstitusi (MK);
6) Mahkamah Agung (MA);
7) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Organ lapis kedua dapat disebut lembaga negara saja. Ada yang mendapatkan kewenangannya dari UUD, dan ada pula yang mendapatkan kewenangannya dari undang-undang. Yang mendapatkan kewenangan dari UUD, misalnya, adalah Komisi Yudisial, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara; sedangkan lembaga yang sumber kewenangannya adalah undang-undang, misalnya, adalah Komnas HAM, Komisi Penyiaran Indonesia, dan sebagainya. Kedudukan kedua jenis lembaga negara tersebut dapat disebandingkan satu sama lain. Hanya saja, kedudukannya meskipun tidak lebih tinggi, tetapi jauh lebih kuat. Keberadaannya disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang, sehingga tidak dapat ditiadakan atau dibubarkan hanya karena kebijakan pembentukan undang¬undang. Lembaga-lembaga negara sebagai organ konstitusi lapis kedua itu adalah:
1) Menteri Negara;
2) Tentara Nasional lndonesia;
3) Kepolisian Negara;
4) Komisi Yudisial;
5) Komisi pemilihan umum;
6) Bank sentral.

Dari keenam lembaga atau organ negara tersebut di atas, yang secara tegas ditentukan nama dan kewenangannya dalam UUD 1945 adalah Menteri Negara, Tentara Nasional lndonesia, Kepolisian Negara, dan Komisi Yudisial. Komisi Pemilihan Umum hanya disebutkan kewenangan pokoknya, yaitu sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum (pemilu). Akan tetapi, nama lembaganya apa, tidak secara tegas disebut, karena perkataan komisi pemilihan umum tidak disebut dengan huruf besar.
Ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 berbunyi, "Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri". Sedangkan ayat (6)-nya berbunyi, "Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang". Karena itu, dapat ditafsirkan bahwa nama resmi organ penyelenggara pemilihan umum dimaksud akan ditentukan oleh undang-undang. Undang-undang dapat saja memberi nama kepada lembaga ini bukan Komisi Pemilihan Umum, tetapi misalnya Komisi Pemilihan Nasional atau nama lainnya.
Selain itu, nama dan kewenangan bank sentral juga tidak tercantum eksplisit dalam UUD 1945. Ketentuan Pasal 23D UUD 1945 hanya menyatakan, "Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang". Bahwa bank sentral itu diberi nama seperti yang sudah dikenal seperti selama ini, yaitu "Bank Indonesia", maka hal itu adalah urusan pembentuk undang-undang yang akan menentukannya dalam undang-undang. Demikian pula dengan kewenangan bank sentral itu, menurut Pasal 23D tersebut, akan diatur dengan UU.
Dengan demikian derajat protokoler kelompok organ konstitusi pada lapis kedua tersebut di atas jelas berbeda dari kelompok organ konstitusi lapis pertama. Organ lapis kedua ini dapat disejajarkan dengan posisi lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan undang-undang, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Konsil Kedokteran Indonesia, dan lain-lain sebagainya.
Kelompok ketiga adalah organ konstitusi yang termasuk kategori lembaga negara yang sumber kewenangannya berasal dari regulator atau pembentuk peraturan di bawah undang-undang. Misalnya Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden belaka. Artinya, keberadaannya secara hukum hanya didasarkan atas kebijakan presiden (presidential policy) atau beleid presiden. Jika presiden hendak membubarkannya lagi, maka tentu presiden berwenang untuk itu. Artinya, keberadaannya sepenuhnya tergantung kepada beleid presiden.
Di samping itu, ada pula lembaga-lembaga daerah yang diatur dalam Bab VI UUD 1945 tentang Pemerintah Daerah. Dalam ketentuan tersebut diatur adanya beberapa organ jabatan yang dapat disebut sebagai organ daerah atau lembaga daerah yang merupakan lembaga negara yang terdapat di daerah. Lembaga-lembaga daerah itu adalah:
1) Pemerintahan Daerah Provinsi;
2) Gubemur;
3) DPRD provinsi;
4) Pemerintahan Daerah Kabupaten;
5) Bupati;
6) DPRD Kabupaten;
7) Pemerintahan Daerah Kota;
8) Walikota;
9) DPRD Kota

Di samping itu, dalam Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, disebut pula adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Bentuk satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa itu, dinyatakan diakui dan dihormati keberadaannya secara tegas oleh undang-undang dasar, sehingga eksistensinya sangat kuat secara konstitusional.
Oleh sebab itu, tidak dapat tidak, keberadaan unit atau satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa itu harus pula dipahami sebagai bagian dari pengertian lembaga daerah dalam arti yang lebih luas. Dengan demikian, lembaga daerah dalam pengertian di atas dapat dikatakan berjumlah sepuluh organ atau lembaga.
Di antara lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945, ada yang dapat dikategorikan sebagai organ utama atau primer (primary constitutional organs), dan ada pula yang merupakan organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs). Untuk memahami per¬bedaan di antara keduanya, lembaga-lembaga negara tersebut dapat dibedakan dalam tiga ranah (domain) (i) kekuasaan eksekutif atau pelaksana; (ii) kekuasaan legislatif dan fungsi pengawasan; (iii) kekuasaan kehakiman atau fungsi yudisial.
Dalam cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan negara ada presiden dan wakil presiden yang merupakan satu kesatuan institusi kepresidenan. Dalam bidang kekuasaan kehakiman, meskipun lembaga pelaksana atau pelaku kekuasaan kehakiman itu ada dua, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, tetapi di samping keduanya ada pula Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas martabat, kehormatan, dan perilaku hakim. Keberadaan fungsi Komisi Yudisial ini bersifat penunjang (auxiliary) terhadap cabang kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial bukanlah lembaga penegak hukum (the enforcer of the rule of law), tetapi merupakan lembaga penegak etika kehakiman (the enforcer of the rule of judicial ethics).
Sedangkan dalam fungsi pengawasan dan kekuasaan legislatif, terdapat empat organ atau lembaga, yaitu (i) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), (ii) Dewan Perwakilan Daerah (DPD), (iii) Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR), dan (iv) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sementara itu, di cabang kekuasaan judisial, dikenal adanya tiga lembaga, yaitu Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial. Yang menjalankan fungsi kehakiman hanya dua, yaitu Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung. Tetapi, dalam rangka pengawasan terhadap kinerja hakim dan sebagai lembaga pengusul pengangkatan hakim agung, dibentuk lembaga tersendiri yang bemama Komisi Yudisial. Komisi ini bersifat independen dan berada di luar kekuasaan Mahkamah Konstitusi ataupun Mahkamah Agung, dan karena itu kedudukannya bersifat independen dan tidak tunduk kepada pengaruh keduanya. Akan tetapi, fungsinya tetap bersifat penunjang (auxiliary) terhadap fungsi kehakiman yang terdapat pada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Meskipun Komisi Yudisial ditentukan kekuasaannya dalam UUD 1945, tidak berarti ia mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Sebagai perbandingan, Kejaksaan Agung tidak ditentukan kewenangannya dalam UUD 1945, sedangkan Kepolisian Negara ditentukan dalam Pasal 30 UUD 1945. Akan tetapi, pencantuman ketentuan tentang kewenangan Kepolisian itu dalam UUD 1945 tidak dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa Kepolisian lebih tinggi kedudukannya daripada Kejaksaan Agung. Dalam setiap negara hukum yang demokratis, lembaga kepolisian dan kejaksaan sama-sama memiliki constitutional importance yang serupa sebagai lembaga penegak hukum. Di pihak lain, pencantuman ketentuan mengenai kepolisian negara itu dalam UUD 1945, juga tidak dapat ditafsirkan seakan menjadikan lembaga kepolisian negara itu menjadi lembaga konstitusional yang sederajat kedudukannya dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, seperti presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, DPR, DPD, dan lain sebagainya. Artinya, hal disebut atau tidaknya atau ditentukan tidaknya kekuasaan sesuatu lembaga dalam undang-undang dasar tidak serta merta menentukan hirarki kedudukan lembaga negara yang bersangkutan dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945.
Dengan demikian, dari segi keutamaan kedudukan dan fungsinya, lembaga (tinggi) negara yang dapat dikatakan bersifat pokok atau utama adalah (i) Presiden; (ii) DPR (Dewan Perwakilan Rakyat); (iii) DPD (Dewan Perwakilan Daerah); (iv) MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat); (v) MK (Mahkamah Konstitusi); (vi) MA (Mahkamah Agung); dan (vii) BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Lembaga tersebut di atas dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara. Sedangkan lembaga-lembaga negara yang lainnya bersifat menunjang atau auxiliary belaka. Oleh karena itu, seyogyanya tata urutan protokoler ketujuh lembaga negara tersebut dapat disusun berdasarkan sifat-sifat keutamaan fungsi dan kedudukannya masing-masing sebagaimana diuraikan tersebut.
Oleh sebab itu, seperti hubungan antara KY dengan MA, maka faktor fungsi keutamaan atau fungsi penunjang menjadi penentu yang pokok. Mes¬kipun posisinya bersifat independen terhadap MA, tetapi KY tetap tidak dipandang sederajat sebagai lembaga tinggi negara. Kedudukan protokolemya tetap berbeda dengan MA. Demikian juga Komisi Pengawas Kejaksaan dan Komisi Kepolisian tetap tidak dapat disederajatkan secara struktural dengan organisasi POLRI dan Kejaksaan Agung, meskipun komisi-komisi pengawas itu bersifat independen dan atas dasar itu kedudukannya secara fungsional dipandang sederajat. Yang dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara yang utama tetaplah lembaga-lembaga tinggi negara yang mencerminkan cabang-cabang kekuasaan utama negara, yaitu legislature, executive, dan judiciary.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lembaga-lembaga negara seperti Komisi Yudisial (KY), TNI, POLRI, Menteri Negara, Dewan Pertimbangan Presiden, dan lain-lain, meskipun sama-sama ditentukan kewenangannya dalam UUD 1945 seperti Presiden/Wapres, DPR, MPR, MK, dan MA, tetapi dari segi fungsinya lembaga-lembaga tersebut bersifat auxiliary atau memang berada dalam satu ranah cabang kekuasaan. Misalnya, untuk menentukan apakah KY sederajat dengan MA dan MK, maka kriteria yang dipakai tidak hanya bahwa kewenangan KY itu seperti halnya kewenangan MA dan MK ditentukan dalam UUD 1945. Karena, kewenangan TNI dan POLRI juga ditentukan dalam Pasal 30 UUD 1945. Namun, tidak dengan begitu, kedudukan struktural TNI dan POLRI dapat disejajarkan dengan tujuh lembaga negara yang sudah diuraikan di atas. TNI dan POLRI tetap tidak dapat disejajarkan strukturnya dengan presiden dan wakil presiden, meskipun kewenangan TNI dan POLRI ditentukan tegas dalam UUD 1945.
Demikian pula, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), dan sebagainya, meskipun kewenangannya dan ketentuan mengenai kelembagaannya tidak diatur dalam UUD 1945, tetapi kedudukannya tidak dapat dikatakan berada di bawah POLRI dan TNI hanya karena kewenangan kedua lembaga terakhir ini diatur dalam UUD 1945. Kejaksaan Agung dan Bank Indonesia sebagai bank sentral juga tidak ditentukan kewe¬nangannya dalam UUD, melainkan hanya ditentukan oleh undang-undang. Tetapi kedudukan Kejaksaan Agung dan Bank Indonesia tidak dapat dikatakan lebih rendah daripada TNI dan POLRI. Oleh sebab itu, sumber normatif kewenangan lembaga-lembaga tersebut tidak otomatis menentukan status hukumnya dalam hirarkis susunan antara lembaga negara.

4. Prinsip-Prinsip Hubungan Antar Lembaga Negara
Perubahan UUD 1945 yang bersifat mendasar tentu mengakibatkan pada perubahan kelembagaan negara. Hal ini tidak saja karena adanya perubahan terhadap butir-butir ketentuan yang mengatur tentang kelembagaan negara, tetapi juga karena perubahan paradigma hukum dan ketatanegaraan. Beberapa prinsip-prinsip mendasar yang menentukan hubungan antar lembaga negara diantaranya adalah Supremasi Konstitusi, Sistem Presidentil, serta Pemisahan Kekuasaan dan Check and Balances.

Supremasi Konstitusi
Salah satu perubahan mendasar dalam UUD 1945 adalah perubahan Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." Ketentuan ini membawa implikasi bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilakukan sepenuhnya oleh MPR, tetapi dilakukan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara di atas lembaga-lembaga tinggi negara.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tersebut, UUD 1945 menjadi dasar hukum tertinggi pelaksanaan kedaulatan rakyat. Hal ini berarti kedaulatan rakyat dilakukan oleh seluruh organ konstitusional dengan masing-masing fungsi dan kewenangannya berdasarkan UUD 1945. Jika berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan kedaulatan dilakukan sepenuhnya oleh MPR dan kemudian didistribusikan kepada lembaga-lembaga tinggi negara, maka berdasarkan hasil perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 kedaulatan tetap berada di tangan rakyat dan pelaksanaannya langsung didistribusikan secara fungsional (distributed functionally) kepada organ-organ konstitusional.
Konsekuensinya, setelah Perubahan UUD 1945 tidak dikenal lagi konsepsi lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara. Lembaga-Iembaga negara yang merupakan organ konstitusional kedudukannya tidak lagi seluruhnya hierarkis di bawah MPR, tetapi sejajar dan saling berhubungan berdasarkan kewenangan masing-masing berdasarkan UUD 1945.

Sistem Presidentil
Sebelum adanya Perubahan UUD 1945, sistem pemerintahan yang dianut tidak sepenuhnya sistem presidentil. Jika dilihat hubungan antara DPR sebagai parlemen dengan Presiden yang sejajar (neben), serta adanya masa jabatan Presiden yang ditentukan (fix term) memang menunjukkan ciri sistem presidentil. Namun jika dilihat dari keberadaan MPR yang memilih, memberikan mandat, dan dapat memberhentikan Presiden, maka sistem tersebut memiliki ciri-ciri sistem parlementer. Presiden adalah mandataris MPR dan sebagai konsekuensinya Presiden bertanggungjawab kepada MPR dan MPR dapat memberhentikan Presiden.
Salah satu kesepakatan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 1999 terkait Perubahan UUD 1945 adalah "sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus menyempumakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil)." Penyempurnaan dilakukan dengan perubahan-perubahan ketentuan UUD 1945 terkait sistem kelembagaan. Perubahan mendasar pertama adalah perubahan kedudukan MPR yang mengakibatkan kedudukan MPR tidak lagi merupakan lembaga tertinggi negara, sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Perubahan selanjutnya untuk menyempurnakan sistem presidentil adalah menyeimbangkan legitimasi dan kedudukan antara lembaga eksekutif dan legislatif, dalam hal ini terutama antara DPR dan Presiden. Hal ini dilakukan dengan pengaturan mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara langsung oleh rakyat dan mekanisme pemberhentian dalam masa jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 6, 6A, 7, 7A, dan 8 UUD 1945. Karena Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, maka memiliki legitimasi kuat dan tidak dapat dengan mudah diberhentikan kecuali karena melakukan tindakan pelanggaran hukum.
Proses usulan pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden tidak lagi sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme politik, tetapi dengan mengingat dasar usulan pemberhentiannya adalah masalah pelanggaran hukum, maka proses hukum melalui Mahkamah Konstitusi harus dilalui. Di sisi yang lain, kekuasaan Presiden membuat Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum Perubahan, diganti dengan hak mengusulkan rancangan undang-undang dan diserahkan kepada DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Selain itu juga ditegaskan Presiden tidak dapat membubarkan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 7C UUD 1945.
Pemisahan Kekuasaan dan Check and Balances
Sebelum perubahan UUD 1945, sistem kelembagaan yang dianut bukan pemisahan kekuasaan (separation of power) tetapi sering disebut dengan istilah pembagian kekuasaan (distribution of power). Presiden tidak hanya memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi (eksekutif) tetapi juga memegang kekuasaan membentuk undang-undang atau kekuasaan legislatif bersama-sama dengan DPR sebagai co-legislator-nya. Sedangkan, masalah kekuasaan kehakiman (yudikatif) dalam UUD 1945 sebelum perubahan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
Dengan adanya perubahan kekuasaan pembentukan undang-undang yang semula dimiliki oleh Presiden menjadi dimiliki oleh DPR berdasarkan hasil Perubahan UUD 1945, terutama Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1), maka yang disebut sebagai lembaga legislatif (utama) adalah DPR, sedangkan lembaga eksekutif adalah Presiden. Walaupun dalam proses pembuatan suatu undang-undang dibutuhkan persetujuan Presiden, namun fungsi Presiden dalam hal ini adalah sebagai co-legislator, bukan sebagai legislator utama. Sedangkan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung (dan badan-badan peradilan di bawahnya) dan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
Hubungan antara kekuasaan eksekutif yang dilakukan oleh Presiden, kekuasaan legislatif oleh DPR dan kekuasaan yudikatif yang dilakukan oleh MA dan MK merupakan perwujudan sistem checks and balances. Sistem checks and balances dimaksudkan untuk mengimbangi pembangian kekuasaan yang dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga pemegang kekuasaan tertentu atau terjadi kebuntuan dalam hubungan antarlembaga. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan suatu kekuasaan selalu ada peran lembaga lain.
Dalam pelaksanaan kekuasaan pembuatan undang-undang misalnya, walaupun ditentukan kekuasaan membuat undang-undang dimiliki oleh DPR, namun dalam pelaksanaannya membutuhkan kerja sama dengan co-legislator, yaitu Presiden. Bahkan suatu ketentuan undang-undang yang telah mendapatkan persetujuan bersama DPR dan Presiden serta telah disahkan dan diundangkan pun dapat dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK jika dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Khusus mengenai DPD, meskipun terkait dengan kekuasaan legislatif, khususnya berkenaan dengan rancangan undang-undang tertentu, tetapi fungsinya tidak disebut sebagai fungsi legislatif. DPD hanya berfungsi terbatas memberi saran, pertimbangan atau pendapat serta melakukan pengawasan yang sifatnya tidak mengikat. Karena itu DPD bukan sepenuhnya sebagai lembaga legislatif. Keberadaannya hanya bersifat penunjang terhadap fungsi DPR.
Di sisi lain, Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahannya mendapatkan pengawasan dari DPR. Pengawasan tidak hanya dilakukan setelah suatu kegiatan dilaksanakan, tetapi juga pada saat dibuat perencanaan pembangunan dan alokasi anggarannya. Bahkan kedudukan DPR dalam hal ini cukup kuat karena memiliki fungsi anggaran secara khusus selain fungsi legislasi dan fungsi pengawasan sebagaimana diatur pada Pasal 20A UUD 1945. Namun demikian kekuasaan DPR juga terbatas, DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden dan atau Wakil Presiden kecuali karena alasan pelanggaran hukum. Usulan DPR tersebut harus melalui forum hukum di MK sebelum dapat diajukan ke MPR.


DAFTAR PUSTAKA



Alder, John. Constitutional and Administrative Law. London: Macmillan, 1989.
Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, , 1994.
-------------------------. Masa Depan Hukum Di Era Teknologi Informasi: Kebutuhan Untuk Komputerisasi Sistem Informasi Administrasi Kenegaraan Dan Pemerintahan. Disampaikan pada Program Pendidikan Lanjutan Hukum Teknologi Informasi dan Telekomunikasi. Lembaga Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Senin, 1 Mei 2000.
-------------------------. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945. Makalah Disampaikan dalam Simposium yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003.
Bennis, Warren G. “The Coming Death of Bureaucracy”. Think, Nov-Dec 1966.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Flynn, N. and S. Leach. Joint Boards and Joint Committees: An Evaluation. Birmingham: University of Birmingham, Institute of Local Government Studies, 1984.
Goldsworthy, David J. (ed.). Development and Social Change in Asia: Introductory Essays. Radio Australia-Monach Development Studies Centre, 1991.
Gough, Ian. The Political Economy of the Welfare State. London and Basingstoke: The Macmillan Press, 1979.
Hodges, Donald C. The Bureaucratization of Socialism. The University of Massachussetts Press, 1981.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. New York: Russell & Russell, 1961.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. Clean Government dan Good Government Untuk meningkatkan Kinerja Birokrasi Dan Pelayanan Publik. Jakarta, 2005.
Kusuma, RM.A.B. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.
Maurer, H. Allgemeines Verwaltungsrecht. 13th edition. Munich: Beck, 2000.
Meny, Yves and Andrew Knapp. Government and Politics in Western Europe: Britain, France, Italy, Germany. 3rd edition. Ofxord University Press, 1998.
Osborne, David and Ted Gaebler. Reinventing Government. William Bridges and Associaties, Addison Wesley Longman, 1992.
Osborne, David and Peter Plastrik. Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government. A Plume Book, 1997.
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia. cet. Keenam. Jakarta: Dian Rakyat, 1989.
Seerden, Rene dan Frits Stroink (eds.). Administrative Law of the European Union, Its Member States and the United States. Groningen: Intersentia Uitgevers Antwerpen, 2002.
Stoker, Gerry. The Politics of Local Government. 2nd edition. London: The Macmillan Press, 1991.
Selengkapnya...

TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG KE BLOG INSPIRASI HUKUM. SEMOGA BERMANFAAT

Yuk chatting :